JATIMTIMES - Dengan adanya larangan ekspor nikel membuat World Trade Organization (WTO) menyatakan Indonesia kalah.
Meskipun kalah karena larangan tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) enggan untuk mencabut larangan tersebut.
Baca Juga : Menyerah, FIFA Akhirnya Izinkan Bendera LGBT Berkibar di Piala Dunia 2022 Qatar
"Saat kita setop ekspor bahan mentah nikel, kita dibawa ke WTO, baru dua bulan lalu kita kalah. Tapi keberanian kita hilirisasi bahan-bahan mentah itulah yang terus kita lanjutkan meskipun kita kalah di WTO," kata Jokowi dalam acara Nusantara Bersatu, dikutip dari laman YouTube 2045 TV, Sabtu (26/11/2022).
Hilirisasi sendiri di Indonesia memang tengah digencarkan. Karena pada tahun 2045 mendatang, Indonesia menargetkan GDP bisa mencapai US$ 7 triliun.
Gencaranya hilirisasi ini memang sangat berdampak bagi negara, dampak tersebut berupa nilai tambah negara, penyerapan negara kerja, dan mendorong industri akhir pemakai mineral nikel.
Sementara, hasil keputusan akhir WTO menyatakan Indonesia telah melanggar ketentuan WTO dengan mengadakan kebijakan larangan eskpor nikel.
"Keputusan final panel WTO di atas perkara larangan ekspor Indonesia yang disebut dalam sengketa DS 192 WTO memutuskan bahwa kebijakan pelarangan ekspor dan kewajiban dan pengolahan pemurnian mineral di dalam negeri terbukti melanggar ketentuan WTO," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif, saat rapat dengan Komisi VII di DPR RI.
Dalam paparannya, tertulis bahwa final panel report dari WTO sudah keluar per 17 Oktober 2022. Hasilnya kebijakan Indonesia itu telah melanggar Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) XX (d) GATT 1994.
Baca Juga : 96 Perempuan Ikuti Pelatihan Menjahit, Bupati Sidoarjo: Bisa Tekan Angka Pengangguran
Adanya putusan tersebut, Arifin menilai bahwa Indonesia masih memiliki kesempatan untuk banding dengan WTO terkait larangan ekspor nikel.
Namun, pemerintah Indonesia beranggapan tidak perlu ada perubahan aturan ataupun mencabut kebijakan yang sudah ditetapkan, yang dianggap tidak sesuai sebelum adanya putusan sengketa diadopsi Dispute Settlement Body (DSB).
"Pemerintah berpandangan bahwa keputusan panel belum memiliki keputusan hukum yang tetap, sehingga masih terdapat peluang untuk banding," ucap Arifin.