JATIMTIMES- Dengan sumber daya alamnya yang melimpah Kabupaten Tulungagung dikenal sebagai penghasil marmer terbaik di Indonesia. Namun demikian, sejatinya bicara mengenai Tulungagung bukan hanya bicara ekonomi. Jika ditelisik secara historis, Tulungagung faktanya juga kaya dengan keragaman budaya dan sejarah.
Salah satu peninggalan sejarah di Kabupaten Tulungagung adalah Masjid Al Mimbar di Desa Majan, Kecamatan Kedungwaru. Masjid Al-Mimbar merupakan masjid tertua dan saksi sejarah penyebaran agama Islam di Kabupaten Tulungagung.
Baca Juga : Total Hadiah Lomba Konten Kreator Rp 44 Juta, Berikut Daftar Penghasilan Konten Kreator
Catatan sejarah menyebutkan, Masjid ini didirikan oleh KH Hasan Mimbar pada tahun 1790. Masjid ini unik, berbentuk limasan dengan menara dan memiliki gapura dengan gaya arsitektur Kasultanan Mataram. Masjid ini menjadi maskot wisata religi di Tulungagung dan masih digunakan untuk beribadah bagi masyarakat di Desa Majan.
Di belakang Masjid Al Mimbar atau tepatnya di bagian barat masjid terdapat makam-makam para leluhur dan tokoh-tokoh besar Tulungagung. Diantaranya makam KH Hasan Mimbar yang merupakan pendiri dan penyebar ajaran Islam di pardikan Majan, Kanjeng Pangeran Haryo Kusumoyudho (Patih Jogja ke-3), Raden Mas Tumenggung Pringgodiningrat Bupati Ngrowo (sekarang Tulungagung) ke-4, Raden Mas Tumenggung Adipati Joyodiningrat (Bupati Ngrowo ke-5) dan Raden Mas Tumenggung Pringgokusumo (Bupati Ngrowo ke 10).
Keunikan-keunikan inilah yang membuat Masjid Al Mimbar hingga kini tidak pernah sepi pengunjung. Saat berkunjung ke Masjid Al Mimbar dan ziarah ke Makam Sentono, ada satu makam yang menarik bagi pewarta JATIMTIMES.
Makam tersebut berukuran salah satu yang paling besar di cungkup sisi utara. Makam tersebut dilapisi marmer berkilau, lantainya bersih dan terlihat sangat terawat. Di kijingan makam tertulis nama RMT Pringgodiningrat yang tak lain merupakan Bupati Ngrowo paling dihormati dalam sejarah.
Berdasarkan catatan sejarah, RMT Pringgodiningrat adalah Bupati Ngrowo yang memerintah pada tahun 1824-1830. Menantu Sri Sultan Hamengkubuwono II ini adalah sosok yang membawa pusaka Tombak Kanjeng Kyai Upas dari Mataram ke Ngrowo yang pada waktu itu masuk dalam wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Tombak Kanjeng Kyai Upas merupakan pusaka peninggalan masa Kerajaan Mataram Islam dan saat ini sudah ditetapkan sebagai pusaka daerah Kabupaten Tulungagung. Keberadaan pusaka ini diyakini memperkuat spirit dan mental masyarakat Tulungagung saat masa perlawanan terhadap penjajah dari masa ke masa.
RMT Pringgodiningrat adalah putra Pangeran Notokoesoemo yang menjadi menantu Sri Sultan Hamengkubuwono II. Saat Pringgodiningrat diangkat sebagai Bupati Ngrowo pada tahun 1824, dirinya membawa pusaka Tombak Kyai Upas dari Mataram ke daerah Ngrowo tempat dia berkuasa.
Disamping pusaka itu ada kelengkapannya yang dalam istilah Jawa disebut “pangiring” berwujud 1 pragi gamelan pelok slendro yang diberi nama “Kyai Jinggo Pengasih” beserta 1 kotak wayang purwo lengkap dengan kelirnya.
Kyai Upas adalah sebuah pusaka berbentuk tombak dengan panjang bilah sekitar 35 cm dengan ditopang landhean (kayu pegangannya) sepanjang 4 meter. Pada bilah bagian bawah terdapat hiasan berbentuk huruf Arab dengan lafal Allah dan Muhammad.
Masyarakat Tulungagung percaya hingga hari ini Tombak Kyai Upas masih memiliki daya magis dan bertuah. Dikisahkan pada masa penjajahan Belanda, keberadaan pusaka tersebut mampu menolak musuh (penjajah) sehingga tidak bisa masuk ke wilayah Kabupaten Tulungagung.
Pusaka Kanjeng Kyai Upas pada akhirnya mendapat perhatian dari masyarakat Tulungagung dalam bentuk Upacara Adat Ritual Jamasan Pusaka Kanjeng Kyai Upas yang dilaksanakan satu tahun sekali yaitu pada hari Jumat setelah tanggal 10 bulan Sura (Jawa).
Legenda tombak Pusaka Kanjeng Kyai Upas berawal pada akhir pemerintahan Kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh, banyak punggawa kerajaan yang keluar dari pusat pemerintahan Majapahit, salah satunya Ki Wonoboyo yang membuka hutan di dekat Rawa Pening Ambarawa atau Ambahrawa.
Pada suatu hari Ki Wonoboyo bermaksud mengadakan acara bersih desa. Banyak juru masak dan warga yang membantu dalam kegiatan tersebut. Ada salah satu juru masak perempuan yang menghadap Ki Wonoboyo dengan maksud untuk meminjam pisau.
Ki Wonoboyo tidak berkeberatan untuk meminjamkan pisaunya dengan pesan agar tidak diletakkan di pangkuannya. Sudah takdir Sang Kuasa, perempuan juru masak tadi lupa akan pesan Ki Wonoboyo hingga meletakkan pisau tersebut di pangkuannya. Saat itulah terjadi kejaiban, pisau yang diletakkan di atas pangkuannya hilang dan masuk ke dalam perut perempuan itu hingga kemudian menyebabkan hamil.
Baca Juga : Special Screening Film Tegar, Pemain dan Sutradara Sapa Penonton di Malang
Mengetahui kejadian tersebut, Ki Wonoboyo dalam hati merasa sedih dan malu karena juru masak tersebut hamil tanpa ada suami. Untuk mengurangi rasa sedih dan malu itu, akhirnya Ki Wonoboyo melakukan semedi di Puncak Gunung Merapi. Sampai akhirnya waktu kelahiran tiba, namun yang lahir bukan bayi manusia, melainkan seekor ular yang selanjutnya diberi nama Baru Klinthing.
Hari terus berjalan dan Baru Klinthing tumbuh menjadi dewasa, hingga ingin menyusul ayahnya (Ki Wonoboyo, sesuai pesan beliau sebelum meninggalkan desa, jika anak juru masak nantinya menanyakan siapa ayahnya maka agar menyuruhnya untuk menjari Ki Wonoboyo di puncak Merapi dengan membawa lidi dari Ki Wonoboyo sebagai tandanya).
Dalam perjalanannya, lidi tersebut hilang dan sampai akhirnya Baru Klinthing bertemu dengan Ki Wonoboyo di puncak Merapi. Karena Baru Klinthing tidak bisa menunjukkan lidi peninggalan Ki Wonoboyo, maka Ki Wonoboyo tidak mau mengakui Baru Klinthing. Namun Baru Klinthing tetap memaksa dan memohon untuk diakui sebagai putranya.
Akhirnya Ki Wonoboyo mau mengakui Baru Klinthing sebagai anaknya dengan syarat Baru Klinthing harus bisa melingkari puncak Merapi. Berkali-kali Baru Klinthing berusaha, namun tetap saja kurang sedikit. Akhirnya Baru Klinthing menyiasati dengan menjulurkan lidahnya. Mengetahui hal tersebut Ki Wonoboyo lantas memutus lidah Baru Klinthing dan seketika lidahnya jatuh ke tanah dan berubah menjadi Pusaka Tombak.
Baru Klinthing kemudian melarikan diri dan terjun ke laut Selatan. Keajaiban kembali terjadi, begitu Baru Klinthing terjun ke laut, hilang musnah bentuknya lalu muncullah sebatang kayu yang langsung dipakai oleh Ki Wonoboyo untuk tempat tombak yang kemudian diberi nama Tombak Kanjeng Kyai Upas.
Setelah Ki Wonoboyo wafat, pusaka Tombak Kanjeng Kyai Upas diwariskan kepada putranya yang bernama Ki Ageng Mangir. Merasa memiliki pusaka yang ampuh, dia tidak mau tunduk kepada pemerintahan Kasultanan Mataram yang dipimpin Panembahan Senopati. Tak hilang akal, Panembahan Senopati kemudian memerintahkan Putri Pembayun yang tak lain putri sulungnya untuk mencari kelemahan Ki Ageng Mangir dengan menjadi penari keliling.
Skenario Panembahan Senopati berjalan sesuai rencana, Ki Ageng Mangir jatuh cinta kepada Putri Pembayun dan akhirnya menikah. Meski sudah sah menjadi isteri Ki Ageng Mangir, Putri Pembayun tetap ingat akan tugasnya. Ia berhasil membawa Ki Ageng Mangir untuk menghadap Raja Mataram Panembahan Senopati yang tak lain adalah mertuanya.
Ki Ageng Mangir dengan hati was-was datang ke Karaton Mataram di Kotagede dengan membawa pusaka Tombak Kyai Upas. Namun karena menghadap raja, maka pusaka tidak boleh dibawa masuk keraton. Saat Ki Ageng Mangir sungkem di hadapan Raja Mataram, Panembahan Senopati langsung membenturkan kepala Ki Ageng Mangir pada dhampar raja yang terbuat dari batu hingga meninggal dunia.
Setelah Ki Ageng Mangir meninggal dunia, pusaka Tombak Kyai Upas disimpan di Karaton Mataram. Namun, keberadaan pusaka tersebut rupanya membawa bencana/musibah di kerajaan Mataram. Untuk membuang sial, pusaka tersebut dikemudian hari diserahkan kepada salah satu putra Mataram yang menjadi Adipati di Ngrowo.
Dalam perkembanganya, Tombak Kyai Upas menjadi pusaka piyandel Bupati Tulungagung secara turun temurun hingga saat ini. Dalam perjalanan sejarahnya, Tombak Kanjeng Kyai Upas berhasil menyelamatkan Kabupaten Tulungagung dari serangan penjajah Belanda. Bahkan tentara Belanda dibuat kerepotan dan tidak bisa memasuki Kabupaten Tulungagung.
Hingga kini, Pusaka Tombak Kyai Upas terus diuri-uri oleh masyarakat dan Pemerintah Daerah Tulungagung. Keberadaan pusaka ini dianggap membawa berkah bagi Kota Marmer. Catatan sejarah menyebutkan, pada tahun 1942 Kabupaten Tulungagung tertimpa bahaya banjir yang luar biasa. Pada waktu itu pusaka Tombak Kyai Upas tidak berada di Tulungagung lantaran dibawa ke Surabaya untuk pengayoman dengan tujuan bilamana tentara masuk ke Kota Surabaya janganlah sampai timbul pertumpahan darah dan keadaanya lekas menjadi aman.
Banjir tak kunjung surut, Timbullah suatu rabaan dari RPA Sosrodiningrat (Bupati Tulungagung ke-13) untuk menangani banjir di Tulungagung. Tanpa menunggu waktu, RPA Sosrodiningrat segera pergi ke Surabaya untuk mengambil pusaka Tombak Kyai Upas. Pusaka itu ditaruhnya didalam mobil, namun mengingat penjangnya landean terpaksa sampai mengorbankan memecah kaca mobil bagian depan dan belakang. Sasmito yang diterima RPA Sosrodiningrat benar-benar terjadi, setelah pusaka kembali ke Tulungagung, banjirpun surut.