JATIMTIMES- Pemerintah Kota Blitar segera merealisasikan pembangunan Museum Pemberontakan PETA di kawasan Monumen PETA di Jalan Shodanco Supriyadi, Kota Blitar. Untuk melengkapi museum, rencananya pemkot juga akan membeli rumah milik keluarga Pahlawan PETA Shodanco Supriyadi yang lokasinya tak jauh dari kawasan Monumen PETA.
Ya, masih jarang diketahui masyarakat tentang rumah Pahlawan PETA Shodanco Supriyadi. Rumah tersebut berada di tengah-tengah kota tepatnya di Jalan Shodanco Supriyadi nomor 46, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar. Rumah tersebut saat ini ditinggali oleh Suroto yang merupakan adik kandung dari Pahlawan PETA Supriyadi. Belakangan rumah tersebut lebih dikenal dengan sebutan Wisma Darmadi.
Baca Juga : Kantongi 39 Suara, Fattah Jasin Terpilih Jadi Wakil Bupati Pamekasan
Tampak depan bangunan, berciri khas model bangunan kolonial Belanda yang masih belum mendapat renovasi. Sekitar halaman terlihat berdebu dan ada ranting-ranting pohon. Pada tahun 1933 ayah Supriyadi yakni Raden Darmadi bertugas di wilayah Nganjuk. Sedang Supriyadi kecil pada waktu itu ikut Darmadi dan sekolah di daerah bapaknya berdinas.
‘’Wisma Darmadi merupakan kediaman keluarga tokoh pahlawan Indonesia, yang tak lain adalah Soedhanco Supriyadi, kepala pasukan PETA pemrakarsa perlawanan memperjuangkan hak- hak rakyat dari belenggu Kependudukan Jepang di Indonesia, terutama di Blitar,’’ kata Sejarawan Ferry Riyandika kepada JATIMTIMES, Senin (28/3/2022).
Dijelaskan Ferry, Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) merupakan pasukan militer bentukan Jepang pra Proklamasi Indonesia. Adapun fungsi dari Pasukan PETA sebagai salah satu upaya membantu Jepang melawan Sekutu dalam kancah Perang Asia Pasifik. Di Blitar, markas PETA berada di lokasi yang saat ini dijadikan sebagai Monumen PETA.
‘’Markas pasukan ini terletak yang kita kenal sebagai Monumen PETA. Sekaligus berdekatan di sisi barat rumah atau Wisma Darmadi berada,’’ terangnya.
Sama seperti rumah bersejarahnya yang jarang diketahui orang, kiprah Raden Darmadi dalam perjuangan melawan Belanda juga kurang begitu dikenal. Dijelaskan Ferry, pasca peristiwa di Blitar, Raden Darmadi yang menjabat sebagai Patih Nganjuk ditahan di Kantor Kopetai Blitar (Museum PETA). Raden Darmadi kemudian diangkat menjadi Bupati Blitar pada tanggal 23 Oktober 1945. Raden Darmadi menjabat bupati selama kurang lebih dua tahun hingga tahun 1947.
Ketika Sekutu dan Belanda mendarat di Surabaya, terjadi peristiwa 10 November 1945, Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk RI berpindah-pindah tempat hingga menuju Kota Blitar setelah aksi Militer Belada I (Agresi Militer Belanda I) berhasil membumihanguskan Kota Malang pada Bulan Juli 1947. Ibu Kota Jawa Timur di Kota Blitar dapat diduduki Belanda pada tanggal 21 Desember 1948 yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II. Ibukota Jawa Timur kemudian berpindah lagi ke area Gunung Wilis.
‘’Pada waktu Agresi Militer I Blitar sempat dijadikan sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Timur. Saat Agresi Militer Belanda II ibukota kemudian dipindahkan ke area Gunung Wilis,’’ imbuh Ferry.
Melihat situasi yang berkembang, Raden Darmadi kemudian melakukan perjuangan melawan Belanda di selatan Sungai Brantas di Blitar Selatan yang berpusat di Lodoyo dengan membentuk pasukan bersenjata. Mengetahui hal tersebut Gubernur Militer Jawa Timur, Sungkono memberikan tugas kepada Wakil Gubernur Jawa Timur, Samandikun yang juga merupakan Bupati Blitar sebelumnya untuk bersama-sama dengan Raden Darmadi melakukan perlawanan terhadap serangan Belanda yang sedang berlangsung dengan cara begerilya.
Menarik untuk dibahas adalah peristiwa perjalanan "Banteng Blorok" sebuah meriam yang akan dipindahkan menuju ke markas Komando Utama TRIP/Jawa Timur dari Desa Dawuhan Kabupaten Trenggalek menuju Perkebunan Pijiombo, Desa Ngadirenggo, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar. Menurut Ferry, Perjalanan meriam ini di lakukan oleh para Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Sesampai di Sutojayan (Lodoyo) terjadi pertempuran antara pasukan RI di Lodoyo melawan Belanda. Meriam Ki Banteng Blorok dapat diselamatkan oleh para pejuang TRIP menyeberangi Sungai Brantas di Dusun Papringan, Kaulon, menuju daerah Wlingi melewati Sumberagung.
Baca Juga : Terungkap, Makam Bercahaya yang Viral di Medsos Ternyata Buatan Pengusaha Onix di Tulungagung
Bersamaan dengan itu, pada tanggal 15 Maret 1949, Wakil Gubernur Samandikun yang berkedudukan di Blitar Selatan mendapat perintah dari Menteri Dalam Negeri Pemerintah Darurat RI yang terletak di Pacitan untuk mengadakan "long march" berkeliling Jawa Timur selama dua bulan untuk mengetahui laporan dari para residen di seluruh Jawa Timur ditemani oleh pasukan TRIP berjumlah dua orang saja.
Beberapa saat kemudian setelah Konfrensi Meja Bundar, pada tanggal 27 Desember 1949, Jawa Timur dikembalikan oleh Belanda kepada Pemerintah RI. Raden Darmadi menjabat kembali sebagai Bupati Blitar.
Satu tahun memerintah, Darmadi telah ada gejolak kesalah pahaman TRIP dengan TNI. Disinilah rumah disekitar Museum PETA (Jl. Soedanco Soeprijadi) ke timur dikosongkan, termasuk "Wisma Darmadi". Peristiwa tersebut akhirnya dapat di selesaikan dengan baik
‘’Melihat perjuangan bekas Wedana Gorang, Gareng, Magetan, Raden Darmadi sebagai Bupati Blitar perlu di apresiasikan perjuangannya sebagai salah satu tokoh penting dalam Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di daerah, yaitu Blitar dari Agresi Militer Belanda. Bahkan ketika Blitar dan daerah Lodoyo dijadikan Ibukota Provinsi Jawa Timur, Raden Darmadi bersama Wakil Gubernur Jawa Timur saat itu, Raden Samadikun tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda,’’ tegas Ferry.
Lebih dalam Ferry menandaskan, untuk mengenang perjuangan ayah Shodanco Supriyadi, Wisma Darmadi tempat tinggal Raden Darmadi setelah menjabat sebagai Bupati Blitar dapat dijadikan Museum yang menceritakan kesejarahan beliau. Apalagi di sebelah baratnya tepatnya di Museum PETA merupakan museum yang nantinya dikhususkan kepada perjuangan putranya yakni Supriyadi.
‘’Disinilah kita dapat mengerti akan perjuangan mempertahankan kemerdekaan pendahulu kita di Blitar Raya sekaligus memberikan pemahaman sejarah di berbagai lingkungan di Blitar tercinta ini. Berawal dari tiga pilar atau segitiga sejarah Blitar, Soekarno-Seoprijadi-Darmadi, dapat memperkaya khasanah pembedaharaan sejarah khususnya di Blitar Raya,’’ pungkasnya.