JATIMTIMES - Mungkin tidak ada yang tidak tahu rokok Djie Sam Soe 234. Merek rokok legendaris itu diiinisiasi Liem Seeng Tee, seorang perantau dari China.
Pada usia yang masih 7 tahun, Liem Seeng Tee meninggalkan Hokien, China, dan naik kapal ke Hindia Belanda. Ia lantas tiba di Surabaya bersama sang ayah.
Baca Juga : Gencarkan Pendidikan Politik bagi Pemilih Pemula, PAN Lamongan Luncurkan Program Diskusi Cantik
Namun sebelum Liem Seeng Tee berusia 13 tahun, ayahnya meninggal karena malaria dan kolera. Liem Seeng Tee kemudian berdagang keliling di atas kereta Surabaya-Jakarta.
Pada usia 13 tahun dengan penuh perjuangan, Liem Seeng Tee berhasil membeli sepeda untuk berdagang. Pada 1912, Seeng Tee lalu menikahi kekasihnya bernama Siem Tjiang Nio.
Siem Tjiang Nio cukup memengaruhi hidupnya. Istrinya itu kemudian mendesaknya menjadi peracik dan pelinting rokok di sebuah pabrik rokok kecil di Lamongan.
Enam bulan setelah menikah, Seeng Tee menyewa warung untuk berjualan barang kelontong dan tembakau. Usahanya kala itu cukup maju.
Hingga tahun 1913, Handel Maatschappij Leim Seeng Tee berdiri. Pada tahun-tahun berikutnya, perusahaan itu berganti nama menjadi Handel Maatschappij Sampoerna.
Seperti diketahui, produk andalan Sampoerna adalah Djie Sam Soe, yang disebut Gatra edisi khusus 2000 (2000:16:17) sejak sekitar 1914 hingga 2000 kemasannya tidak berubah.
Selain Djie Sam Soe 234, rokok kretek yang pernah dibuat HM Sampoerna adalah merek dengan nomor 123, 720, 678. Pabrikan Sampoerna awalnya juga merilis merek Sampoerna Star, Summer Palace, Statue of Liberty.
Sampoerna Star kemudian dianggap sebagai rokok berfilter pertama di Indonesia. Filosofi bisnis keluarga ini cukup terpengaruh numerologi China.
Angka 2, 3 dan 4 dalam bungkus rokok merupakan simbol kesempurnaan. Seluruh angka itu jika dijumlahkan hasilnya 9.
Tak heran jika ejaan Sampoerna terus dipakai. Jumlah huruf dalam Sampoerna ada 9 dan jika diganti dengan Sampurna, maka hanya 8.
Tak disangka, bisnis rokok keluarga itu semakin maju. Pada tahun 1940, kretek buatan mesin dan tangan dari Sampoerna berhasil produksi mencapai 3 juta per minggu.
Namun setelah tentara Jepang menguasai Indonesia, bisnis rokok keluarga ini terganggu. Pendudukan Jepang adalah mimpi buruk bagi orang Tionghoa di Indonesia.
Tak hanya harta yang disikat fasis Jepang. Seeng Tee juga ditawan oleh militer Jepang. Bahkan, ia pernah disuruh kerja paksa ke Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Usai Perang Pasifik, pada 1945, Liem Seeng Tee baru bisa berkumpul lagi dengan keluarganya. Kala itu, Seeng Tee sudah berusia 52 tahun.
Ia kemudian berhasil bangkit lagi dan menjual kembali Djie Sam Soe 234. Usahanya pulih pada 1949, dengan jumlah karyawan yang meningkat dan produknya kembali merajai pasaran.
Lalu pada tahun 1950-an, pengaruh komunis di kalangan karyawan ikut mengganggu bisnis kreteknya. Seeng Tee akhirnya tutup usia pada tahun 10 Agustus 1956, menyusul Siem Tjiang Nio yang meninggal pada Februari 1955.
Anak-anak perempuan mereka, dengan dibantu para suami, tetap berjuang menyelamatkan bisnis rokok legendaris itu meski sulit.
Saat kritis karena gejolak karyawan yang terpengaruh komunis tak bisa diharapkan, anak-anaknya malah membangun pabrik rokok putih dengan memakai sebagian lahan yang tersisa dari Djie Sam Soe. Namun usaha itu gagal dan pada 1959 pabrik Djie Sam Soe pailit.
Anak laki-laki Seeng Tee, Liem Sie Hwa akhirnya pulang setelah lama sekolah di Amerika. Ia melihat pabrik yang manajemennya kacau dan menyurati adiknya, Liem Swie Ling, yang sudah punya pabrik rokok di Surabaya dan Bali.
Baca Juga : Viral, Mirip Gaya Belanja Nagita Slavina, Seorang Wanita "Nyaris Borong" Baju Satu Toko
Swie Ling mengatakan bahwa dirinya ingin ikut menghidupkan lagi Djie Sam Soe. Kali ini, perlahan pasti bisnis keluarga Sampoerna kembali bangkit dan ikut merajai pasar rokok.
Saat bisnis rokoknya melegenda dan termasuk penguasa rokok di Indonesia, Sampoerna dijual sahamnya ke Philips Morris pada 2005. Kelompok bisnis keluarga Sampoerna kemudian terjun ke agroindustri, perbankan dan bidang-bidang lainnya.
Tak kalah dari Djie Sam Soe, rokok merek Bentoel sempat merajai pasaran. Awalnya, Bentoel dulu pernah punya band yang kondang di era 1970-an. Di antara mantan personel band Bentoel yang sohor ialah Ian Antono, yang dianggap salah satu dewa gitar Indonesia.
Bentoel sendiri sedari awal hingga kini adalah produsen rokok dari Malang. Meski berbasis di Malang, pendiri Bentoel ternyata tidak berasal dari Malang. Ong Hok Liong lahir di Desa Karang Pacar, Bojonegoro, 12 Agustus 1893.
Sejak era 1930-an, Ong Hok Liong bersama Tjoa Sioe Bian mendirikan pabrik rokok di Malang. "Awalnya, perusahaan ini bernama Strootjes-Fabriek Ong Hok Liong. Kemudian nama itu diubah menjadi Hien An Kongsie," tulis Rudy Badil dalam Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya (2011:107). Pabrik itu mulanya memproduksi rokok tjap Burung, tjap Klabang, dan Djeroek Manis.
Ong Hok Liong merupakan seorang yang suka berziarah. George Quinn dalam Bandit Saints of Java (2019) menyebut tahun 1954 Ong Hok Liong pernah berziarah ke makam keramat Mbah Djugo di sekitar Gunung Kawi.
Saat berziarah, Ong Hok Liong lalu tertidur di dekat makam dan bermimpi melihat ubi talas. Setelah bangun, ia bertanya kepada juru kunci makna tentang mimpinya.
Kemudian juru makam itu berkata bahwa Ong Hok Liong mendapatkan petunjuk dari Mbah Djugo agar mengganti nama pabriknya. Kala itu merek rokok yang dibuatnya dirasa masih kurang laku.
Pabriknya kemudian mengganti merek rokok. Nama yang dipilih adalah sebutan Jawa untuk ubi talas, yakni bentul, yang sebelum ada ejaan yang disempurnakan (1973) masih sering ditulis sebagai Bentoel.
Kemudian nama perusahaan yang sejak 1951 adalah NV Pertjetakan Liem An itu, pada 1954 berubah menjadi PT Perusahaan Rokok Tjap Bentoel. Setelahnya berganti nama itu, usaha rokok Ong Hok Liong semakin berkembang.
Sebelum 1960, karyawannya mencapai 3.000 orang. Bentoel pun tak ragu berpromosi. Dalam iklannya, tertulis: memang betul merokok tjap Bentoel.
"Ketika dia meninggal pada tahun 1967, dia adalah seorang multijutawan dan Bentoel telah tumbuh menjadi rokok pribumi terbesar kedua di Indonesia," tulis George Quinn dalam Bandit Saints of Java (2019).
Setelah Ong Hok Liong meninggal, anak-anaknya menggantikannya untuk meneruskan bisnis rokok tersebut. Budhiwijaya Kusumanegara, anak sang pendiri, menjadi presiden direktur Bentoel.
Pada 1970-an Bentoel termasuk pemain besar nomor 3 dalam pasar rokok Indonesia. Sayangnya setelah 1980-an, PT Perusahaan Rokok Tjap Bentoel tidak mampu membayar pinjamannya ke BRI dan Bank Bumi Daya senilai US$ 170 juta.
Utang Bentoel dengan kreditor asing bahkan menggelembung menjadi US$ 350 juta. Akhirnya 70% saham keluarga Ong Hok Liong dilego.
Hutomo Mandala Putra gagal membelinya hingga Bentoel dipegang oleh Peter Sondakh dan Rajawali Wira Bhakti Utama. Pada tahun 1997, aset Bentoel diserahkan kepada perusahaan baru bernama PT Bentoel Prima dan PT Perusahaan Rokok Tjap Bentoel bubar.
Bentoel Prima pada tahun 2000 kemudian berganti nama menjadi PT Bentoel Internasional Investama Tbk. Belakangan saham perusahaan itu dipegang oleh British American Tobacco, sebagai pemegang saham 92,48% dan sisa saham lain dipegang oleh masyarakat.