free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Politik

Wacana Penundaan Pemilu 2024 Ramai Diperbincangkan, Yusril Ihza Mahendra Ungkap 3 Cara yang Bisa Dilakukan

Penulis : Desi Kris - Editor : Pipit Anggraeni

27 - Feb - 2022, 18:25

Placeholder
Yusril Ihza Mahendra (Foto: IST)

JATIMTIMES - Publik saat ini digegerkan dengan munculnya wacana menunda Pemilu 2024. Dalam hal ini, Pakar hukum tata negara sekaligus Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra pun turut buka suara. 

Yusril membeberkan ada 3 cara agar penundaan pelaksanaan Pemilu 2024 menjadi absah atau mendapatkan legitimasi.

Baca Juga : Dalam Satu Periode, DPRD Kota Malang Targetkan 6 Ranperda Inisiatif Terwujud

Wacana penundaan Pemilu 2024 belakangan kembali ramai menjadi pembicaraan. Awalnya, pernyataan itu datang dari Ketum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin dan Ketum PAN Zilkifli Hasan.

Cak Imin mengusulkan penundaan Pemilu 2024 dengan alasan pandemi Covid-19 dan perekonomian Indonesia. Ia berkata akan membawa usul itu ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Usul serupa juga pernah diutarakan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Kala itu ia mengatakan, dunia usaha menginginkan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi atas nama pemulihan pascapandemi.

Berikut 3 cara yang bisa menunda Pemilu 2024 versi Yusril Ihza Mahendra.

1. Amandemen UUD 1945

Pertama, Yusril menyatakan pemerintah bisa menempuh jalan amendemen UUD 1945 untuk menunda pemilu.

"Cara ini merupakan dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu," kata Yusril dalam keterangan resminya.

Namun, cara tersebut rupanya berisiko menimbulkan konsekuensi perpanjangan sementara masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Prosedur perubahan konstitusi sendiri sudah diatur dalam Pasal 37 UUD 45. Ada pula Pasal 24 sampai Pasal 32, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah.

Yusril menilai, amendemen UUD 1945 bisa dilakukan dengan menambahkan pasal baru terkait dengan pemilihan umum.

Pasal 22E UUD 45 bisa ditambahkan poin baru. Yakni, Pasal 22 E ayat (7) yang berisi norma berikut:

'Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka MPR berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu.'

Kemudian ayat (8) UUD 45 juga bisa ditambahkan frasa berikut:

'Semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum'.

"Dengan penambahan 2 ayat dalam pasal 22E UUD 45 itu, maka tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Para anggota dari lembaga negara seperti MPR, DPR, DPD tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu," lanjut Yusril.

2. Dekrit Presiden

Baca Juga : Misterius, Air Sungai di Jombang Mendadak Berubah Merah Darah

Untuk cara kedua, Yusril mengatakan presiden bisa mengeluarkan dekrit sebagai tindakan revolusioner untuk menunda pemilu. Dekrit tersebut, bisa diambil presiden untuk menunda pelaksanaan pemilu sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 45 harus diisi dengan pemilu.

Bagi Yusril, dekrit adalah revolusi hukum yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum. Revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat bisa menciptakan hukum yang sah. 

Namun sebaliknya, revolusi yang gagal, malah menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum.

Ia lantas mempertanyakan apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya nyali untuk mengeluarkan dekrit tersebut. Yusril menduga Jokowi tidak akan melakukan hal itu karena memiliki risiko politik yang terlalu besar.

"Sebagai tindakan revolusioner, tindakan itu jauh daripada matang. TNI dan POLRI juga belum tentu akan mendukung, meskipun keputusan itu adalah keputusan Presiden sebagai panglima tertinggi. Langkah seperti itu akan jadi boomerang bagi Presiden Jokowi sendiri," kata Yusril. 

3. Konvensi ketatanegaraan

Jalan terakhir untuk menunda Pemilu yaitu dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau 'constitutional convention'. Ia mengatakan, perubahan bukan dilakukan terhadap teks konstitusi, UUD 45, melainkan dilakukan dalam praktik penyelenggaraan negara.

Yusril kemudian merinci dalam Pasal 22E UUD 45 diatur bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD. Pasal 7 UUD 45 mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun. Sesudah itu dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan lagi.

Kedua pasal di atas tidak perlu diubah, namun dalam praktik Pemilu dilaksanakan misalnya 7 tahun sekali.

"Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD dan dengan sendirinya MPR, dalam praktiknya juga dilaksanakan selama tujuh tahun," lanjut Yusril.

Di sisi lain, Yusril menilai konvensi ketatanegaraan tentang penundaan Pemilu sulit diciptakan. Terlebih, masyarakat awam dengan mudah akan menganggapnya sebagai 'penyelewengan' terhadap UUD 1945.

"Presiden Jokowi tentu tidak dalam posisi untuk dapat menciptakan konvensi ketatanegaraan sebagaimana digagas Sjahrir dan dilaksanakan Wapres Mohammad Hatta tahun 1945 itu," cetus Yusril.


Topik

Politik



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Desi Kris

Editor

Pipit Anggraeni