JATIMTIMES - Terlibat dalam pusaran dugaan kasus korupsi, mantan Kepala SMKN 10 Malang Dwidjo Lelono dan Wakil Kepala Sekolah Bidang Sarana dan Prasarana (Wakasarpras) SMKN 10 Malang Arief Rizqiansyah telah menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya.
Dalam agenda pembacaan tuntutan tersebut, kedua terdakwa dituntut dengan masa hukuman serta denda yang berbeda. Hal itu dikarenakan Dwidjo Lelono memiliki peran lebih dibandingkan dengan Arief Rizqiansyah.
Baca Juga : 10 Warung di Kota Malang Jual Olahan Daging Anjing, Satpol PP: Ada Sanksi Bagi Penjual
Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Malang Eko Budisusanto mengatakan bahwa tuntutan yang diajukan kepada majelis hakim kepada terdakwa Dwidjo Lelono hukuman penjara lima tahun dan denda Rp 200 juta serta subsider enam bulan kurungan penjara.
"Sementara Arief 1 tahun 6 bulan, dendanya Rp 50 juta subsider 2 bulan penjara, tuntutannya berbeda karena peran Dwidjo lebih dari pada Arief," ungkap Eko, Selasa (18/1/2022).
Pengajuan tuntutan yang berbeda tersebut juga menggunakan dasar hukum yang berbeda. Yakni Dwidjo Lelono melanggar Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain dituntut dengan lima tahun kurungan penjara, denda Rp 200 juta serta subsider enam bulan kurungan penjara, DL juga dituntut untuk mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 1,2 miliar.
Untuk terdakwa Arief Rizqiansyah melanggar Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Arief lebih rendah (tuntutannya) memang karena perannya dan untuk uang ganti rugi hanya dibebankan Dwidjo karena belum membayar kerugian negara, sementara Arief sudah membayar kerugian negara," jelas Eko.
Sementara itu, terdapat beberapa hal yang memberatkan dan meringankan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada dua terdakwa. Yakni untuk Dwidjo Lelono tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas korupsi, serta tidak berterus terang selama persidangan bahwa terdakwa telah korupsi.
Untuk hal yang meringankan tuntutan JPU kepada Dwidjo Lelono yakni terdakwa selama proses persidangan bersikap sopan dan selama masa hidupnya belum pernah menjalani hukuman atau terlibat dalam perkara hukum.
Baca Juga : DPR Resmi Sahkan RUU IKN Jadi Undang-Undang Ibu Kota Negara
Selanjutnya untuk hal yang memberatkan kepada terdakwa Arief Rizqiansyah karena terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam memberantas korupsi. Sedangkan hal yang meringankan tuntutan JPU kepada terdakwa yakni belum pernah terlibat perkara hukum, bersikap sopan serta mengembalikan kerugian negara.
Sebagai informasi, agenda persidangan akan dilanjutkan pada hari Senin (26/1/2022) di mana dalam persidangan yang bakal digelar pekan depan merupakan pembacaan pledoi dari kedua terdakwa.
Sebagai informasi, seperti yang diberitakan sebelumnya bahwa Dwidjo Lelono telah melakukan korupsi dana Biaya Penunjang Operasional Penyelanggaran Pendidikan (BPOPP) SMKN 10 Kota Malang periode tahun 2019-2020.
Menggunakan dana BPOPP Dwidjo Lelono akan melakukan proyek pembangunan dan perawatan sejumlah ruangan serta gedung yang terdapat di SMKN 10 Malang. Dalam pengerjaannya, Dwidjo bersama orang kepercayaannya mengerjakan sendiri seluruh proyek yang menggunakan dana BPOPP tersebut.
Sementara untuk Arief memiliki peranan sebagai otak untuk mencari nama rekanan dalam proyek tersebut. Terdapat 11 perusahaan rekanan yang diajak kerjasama dalam pembangunan serta perawatan dari gedung dan ruangan SMKN 10 Malang.
Namun, 11 rekanan tersebut tidak tahu menahu. Kemudian kedua terdakwa meminjam nama perusahaan rekanan dan memberikan fee sebesar 2,5 persen dari setiap proyek pembangunan. Total kerugian negara yang di korupsi oleh kedua terdakwa mencapai sekitar Rp 1,2 miliar.