JATIMTIMES - Muktamar ke 34 Nadhlatul Ulama (NU) sempat diwarnai dengan sengkarut waktu pelaksanaan muktamar. Bahkan, terkait hal itu, dua pihak yakni dari Rais Aam PBNU dan Ketua Umum PBNU sampai melakukan rapat di lokasi yang berbeda.
Adanya polarisasi dalam tubuh NU tersebut jelang muktamar, dipandang Pengasuh Pondok Pesantren Metal Moeslim Al Hidayat di Desa Rejoso Lor, Pasuruan, Jawa Timur, KH Nurkholis Almaulani, sarat kepentingan kelompok, khususnya di dalam NU.
Baca Juga : Peduli Korban Erupsi Gunung Semeru, Muspika Bersama AKD dan Ponpes Albadru Alaina Ngantru Kirim Bantuan
"Memilih pemimpin tidak atas dasar kekuasaan, politik uang atau kepentingan individu dan kelompok. Ini bahaya sekali, tidak memikirkan gerbong di belakang," tuturnya.
Pihaknya melihat, hal ini tergambar dalam proses jelang berlangsungnya muktamar, dengan berbagai pergerakan yang ada.
"Sangat melihat saya (kepentingan individu dan kelompok) dalam polarisasi (dua kubu besar tokoh NU)," tuturnya.
Lebih lanjut pihaknya mengatakan, bukan berati dua tokoh yang ada (KH Said Aqil Siradj dan KH Yahya Qholil Staquf) bukan berarti tak bagus. Menurutnya, dua tokoh tersebut merupakan tokoh yang istimewa.
"Hanya saja kita membutuhkan tokoh yang bisa menyatukan semua dan terbebas dari itu, adanya kepentingan politik, kepentingan kekuasaan, kepentingan golongan," jelasnya.
Baca Juga : Doa Kesembuhan Penyakit untuk Diri Sendiri dan Orang Lain, Lengkap dengan Artinya
Pihaknya juga menyayangkan adanya surat dari sekretaris PWNU yang harus mencalonkan Ahwa, mencalonkan Rais Aam nya siapa, mencalonkan dan lainnya, termasuk juga adanya kelompok-kelompok yang difasilitasi,
"Yang menulis nama Ahwa, nama Rais Tanfidziyah difasilitasi dan juga mereka yang tidak difasilitasi. Ini kan diskriminasi. Ini bukan ahlak NU, ini sudah partai politik, mendingan saja bikin partai politik," tegasnya.