JATIMTIMES - Masyarakat indonesia utamanya warga Madura mungkin tidak akan asing dengan jagung. Jagung merupakan sumber perekonomian utama penduduk Madura selain padi dan tembakau.
Maka tidak heran jika jagung menjadi makanan pokok penduduk di Pulau Garam. Jagung mulai ditanam para petani pada awal musim penghujan. Maklum tanah Madura tadah hujan.
Baca Juga : Berjalan 5 Bulan, Kasus Pembacokan di Galis Tak Kunjung Terungkap
Warga akan bercocok tanam bila musim penghujan saja. Bila setelah jagung tumbuh hujan tak kunjung datang para petani dilanda kegelisahan akan matinya tanaman mereka. Bersyukur hujan selalu cukup untuk menyiram jagung hingga menguning dan siap dipanen.
Jagung yang telah dipanen dikeringkan dengan kelobotnya (kulitnya) di halaman rumah yang luas. Setelah benar-benar kering kemudian di taruh dalam jurung-jurung (lumbung padi/jagung) atau penyimpanan khusus.
Ini merupakan kebiasaan masyarakat madura yang berbeda dengan masyarakat jawa. Hasil panen jagung atau padi tidak kemudian dijual melainkan disimpan untuk dimakan selama setahun.
Mereka (masyarakat Madura) akan mengambil sedikit demi sedikit sesuai dengan kebutuhan yang ada, sehingga mereka tidak terlalu khawatir gejolak harga beras karena mereka memiliki stok yang cukup di penyimpanan.
Jenis jagung yang biasa ditanam warga madura lebih kecil bila dibandingkan dengan jagung jenis lainnya. Warna jagung merah pekat atau lebih tua. Bagian putihnya yang menjadi tepung lebih sedikit sehingga dipercaya tahan kutu.
Menariknya di sini, sebelum dimasak menjadi nasi, jagung terlebih dahulu digiling. Alat penggilingannya terbuat dari dua keping batu gunung yang menangkup. Masyarakat madura khususnya Kabupaten Sumenep menyebut alat ini gilis.
Batu Gilis atau batu giling dalam bahasa Indonesianya adalah batu yang terdiri dari dua buah batu pipih yang berbentuk lingkaran. Batu ini di gunakan untuk menggiling jagung agar hancur menjadi buliran-buliran kecil sebelum di masak.
Dulu, ketika masuk musim panen jagung. Biasanya, petani menjemur jagung-jagung yang sudah di panen dari sawah. Jagung-jagung yang sudah kering tersebut kemudian di keluarkan dari pelepahnya, lalu di giling terlebih dulu pada batu gilis sebelum di tanak atau masak.
Di atas batu gilis juga terdapat lubang kecil. Konon, lubang kecil di bagian atasnya itu dibuat sebagai tempat di mana biji-biji jagung dimasukkan. Pada batu yang sebelah atas di bagian sampingnya terpasang kayu berbentuk huruf L yang salah satu ujungnya ditanam ke dalam batu sebagai pegangan untuk menarik atau mendorong agar gilingan berputar-putar dan menghancurkan biji-biji jagung.
Baca Juga : Mensos Risma Kembali Jadi Sorotan, Kali Ini Soal Aksinya yang Jadi "Pawang" Badai Angin di Surabaya
Selanjutnya, batu gilis lalu diputar dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri akan memasukkan jagung sedikit demi sedikit. Di samping menjadi peralatan utama dalam rumah tangga, dahulu batu gilis menjadi perlengkapan berlayar.
Di mana batu gilis dibawa sebagai salah satu alat perlengkapan untuk menggiling jagung-jagung yang mereka bawa selama pelayaran. Hal ini karena bekal lebih sering dibawa dalam bentuk jagung yang utuh agar tidak mudah rusak.
Saat ini, peran Gilis sudah digantikan mesin penggiling, seiring dengan fungsi jagung yang sedikit bergeser dari makanan manusia menjadi makanan ternak. Bahktan gilis saat ini sulit dijumpai keberadaannya. Pengrajinnya pun mungkin juga sudah tidak ada.
Gilis di Madura kini terancam hanya menjadi cerita. Anak-anak Madura yang katanya milenial tidak lagi menyaksikannya. Hanya tinggal cerita, itupun bila ada yang mau bercerita.
Namun, sepekan ini di Kabupaten Sumenep gilis mulai ramai dijumpai di media sosial Facebook maupun aplikasi perpesanan WhatsApp. Hal ini berkat inisiasi Padepokan Seni Madura (PSM) menggandeng Gerakan Anak Muda Mantajun (Gendam) membuat kegiatan pameran seni instalasi gilis.
Dengan tekad dan semangat yang luar biasa, para pemuda ini sukses mementaskan pameran instalasi gilis yang bertempat di Desa Mantajun, Kecamatan Dasuk, Kabupaten Sumenep.
Tentunya, mereka berharap dengan adanya pameran instalasi gilis tersebut bisa menjaga, melestarikan dan mengenalkan warisan leluhur pada dunia.