JATIMTIMES - Program Studi (Prodi) S3 Sosiologi FISIP UB bersama Pusat Kajian Media, Literasi, dan Kebudayaan (Puska Melek), dan Centre for Policy Studies and Data Analysis (CYDA) melakukan riset tingkat toleransi di Jawa Timur. Hasil riset mengungkap, jika tingkat toleransi mengalami penurunan dengan besaran presentase 22 persen.
Ketua Prodi Sosiologi Universitas Brawijaya, Dr Lukman Hakim menjelaskan, dari hasil riset yang dilakukan di 38 kabupaten dan kota di Jawa Timur, terjadi penurunan index toleransi dibandingkan pada tahun sebelumnya.
Riset yang dilakukan dengan melibatkan 400 responden dengan tingkat kesalahan sebesar 5 persen. Hasilnya, terdapat kemerosotan yang signifikan tingkat toleransi sebanyak 22 persen di 2021.
Baca Juga : Bupati Gresik Minta Dishub Serius Kawal Program e-Parkir
"Kita melakukan riset tiga tahun berturut-turut, pada 2019 terjadi penurunan 10 persen, kemudian 2020 10 persen dan pada 2021 22 persen," tuturnya, Jumat (26/11/2021).
Faktor yang mempengaruhi adanya penurunan index toleransi ini, dijelaskan Lukman, dipengaruhi oleh dimensi lingkungan dan dimensi sosial. Dalam dimensi sosial juga terdapat solidaritas yang itu dari hasil riset kini menurun.
Adanya kemerosotan index toleransi ini, menurutnya sangat mengkhawatirkan. Sebab, hal ini bisa menjadi bom waktu, dimana tingkat toleransi masyarakat semakin menurun hingga nantinya berpotensi adanya perpecahan.
"Riset kami adalah untuk mengantisipasi sekaligus memberikan warning kepada pemerintah serius menangani dimensi ini," jelasnya.
Catatan riset di lapangan mengenai kondisi toleransi di Jawa Timur memberikan gambaran mengapa tindak kekerasan berlatar agama masih terus muncul dan berkembang selama ini. Toleransi menjadi bagian penting dalam pencegahan terorisme.
Meskipun penurunan indeks toleransi terjadi pada saat Covid, Tapi kami belum bisa membuktikan apakah penurunan ini karena pandemi, dimana masyarakat memikirkan urusan perutnya sendiri. Apakah kaitannya dengan itu masih belum kita bisa buktikan.
“Penurunan terbanyak ada di Kabupaten Pasuruan,” ungkapnya, Jumat (26/11/2021).
Sementara itu, CYDA mengungkap terjadinya penurunan toleransi dalam 3 tahun terakhir di Kabupaten Pasuruan. Hasil riset tersebut menunjukkan penurunan angka toleransi sebesar 7 persen, dari sebelumnya 7,1 di 2019 menjadi 6,6 persen di 2021.
Sikap pada kegiatan agama lain dan pembangunan tempat ibadah di lingkungan sekitar adalah dua hal yang menjadi catatan bagi CYDA. Selama tiga tahun terakhir, kedua aspek ini secara konsisten mengalami penurunan. Tingkat persetujuan masyarakat pada kegiatan ibadah di lingkungan sekitar mengalami penurunan dari yang sebelumnya mencapai 58,5 persen di 2019, 55,5 persen di 2020, kemudian turun menjadi 41,6 persen pada 2021.
Sedangkan tingkat persetujuan terhadap pembangunan rumah ibadah di lingkungan sekitar, mengalami penurunan lebih jauh, dimana pada tahun 2019 nilainya sebesar 51 persen, turun menjadi 41,88 persen di 2020 dan anjlok menjadi 29,78 persen pada 2021.
Toleransi menjadi salah satu variabel Indeks Kesalehan Sosial yang memotret masyarakat Kabupaten Pasuruan dengan melibatkan 1109 responden yang tersebar di 42 desa dengan tingkat kesalahan 3 persen. Secara umum, IKS Kabupaten Pasuruan mengalami peningkatan sepanjang tiga tahun berturut-turut, yaitu 72,2 pada 2019, 76,6 2020, dan 78,0 pada 2021.
Baca Juga : 2 Pos Pantau Disiapkan Jelang Perayaan Nataru di Kota Malang
Sedangkan Pusat Kajian Media, Literasi, dan Kebudayaan juga menyampaikan, banyak kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, penghayat kepercayaan Agama Baha’I, dan non muslim kerap menjadi sasaran kekerasan, baik fisik maupun verbal.
Melalui survey dan FGD pada mahasiswa dan tokoh masyarakat di Kota Malang, Puska Melek menyebutkan bahwa tindak kekerasan ternyata tidak hanya berlangsung pada kelompok luar yang memiliki keyakinan berbeda. Juga pada kelompok yang memiliki keyakinan sama.
Saling tuding dan salah menyalahkan tak hanya terjadi dalam satu kelompok berbeda, namun juga pada internal kelompok tersebut. Data di lapangan menyebutkan, sebanyak 46 persen non muslim pernah dipanggil secara langsung dengan sebutan kafir dan 25 persen muslim juga pernah mendapat panggilan yang sama. Meski demikian, kata tersebut digunakan oleh mayoritas responden dalam konteks joke.
Tiga catatan riset di lapangan ini memberikan gambaran bagaimana toleransi bekerja secara berbeda di masing-masing situasi. Secara umum, Catatan penelitian tersebut sebagai modal bagus yang dapat menjaga masyarakat agar tidak terpancing melakukan tindak kekerasan berlatar agama.
Namun, pada indikator sikap/keyakinan pada penganut agama lain, mendirikan rumah ibadah dan persetujuan pada kegiatan agama lain, menjadi pekerjaan rumah besar bagi para pemangku kepentingan, terutama pemerintah.
Pemerintah harus terus memberikan edukasi, sosialisasi, dan menjalankan program yang melibatkan lintas penganut keyakinan. Menurut Puska Melek, Dimensi keyakinan merupakan dimensi yang sulit untuk diubah sehingga membutuhkan perlakuan Tindakan yang cukup lama.
Hal senada disampaikan Abdul Wahid, Peneliti dari Pusat Kajian Media, Literasi, dan Kebudayaan FISIP Universitas Brawijaya. Menurutnya, intoleransi merupakan gejala global yang menyempitkan kesadaran tentang kerukunan di masyarakat.
“Intoleransi merupakan salah satu bagian dari radikalisme yang dapat meminggirkan kelompok minoritas. Tanpa memahami konteks politik, sebagian besar masyarakat dapat terbawa semangat agama sempit untuk mendegradasikan kelompok lain,” pungkasnya.