JATIMTIMES - Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi yang ditetapkan pada 31 Agustus 2021 terus berpolemik di kalangan masyarakat.
Polemik yang muncul, dikarenakan dengan adanya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 dikhawatirkan dapat berpotensi legalkan kegiatan seks bebas di lingkungan perguruan tinggi.
Baca Juga : Polemik Permendikbud 30/2021, PDM Kota Malang: Selama Bertentangan dengan Agama, Pasti Ditolak
Khususnya pada pasal 5 ayat 2. Di mana pada ayat 2 huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l dan huruf m, memuat unsur-unsur pelarangan tindakan pelecehan seksual dan terdapat frasa "tanpa persetujuan korban". Frasa tersebut yang menyebabkan polemik di kalangan masyarakatan, utamanya organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam.
Menanggapi polemik tersebut, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Malang Dr Isroqunnajah MAg menegaskan, bahwa pihaknya bersepakat atas sikap yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Secara kelembagaan kita belum membahas, tetapi kita minta seperti yang dilakukan oleh MUI. Saya kira yang dilakukan MUI itu suatu hal yang tepat," ungkap pria yang akrab disapa Gus Is kepada JatimTIMES.com, Minggu (14/11/2021).
Di mana dalam sikap MUI tersebut meminta agar Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi dibatalkan atau dilakukan revisi khususnya Pasal 5 ayat 2 dan ayat 3.
Selain penggunaan frasa "tanpa persetujuan korban" yang menjadi alasan utama penolakan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tersebut, MUI juga menilai adanya prosedur pembentukan peraturan yang dianggap tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019.
Lebih lanjut, materi muatan dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tersebut bertentangan dengan syariat, Pancasila, UUD 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, serta nilai-nilai yang terkandung dalam budaya bangsa Indonesia.
"Harus ada revisi. Kalau perlu kita nanti akan bersurat sendiri, karena ini persoalan makna, persoalan tafsir. Masa ada orang yang di bully, diperkosa dia setuju itu loh, kan persoalannya disitu," kata Gus Is.
Namun, untuk mengambil sikap selanjutnya, pihaknya pada hari Minggu (14/11/2021) akan menggelar rapat pengurus. Di mana dalam pembahasan rapat tersebut, salah satunya akan dibahas mengenai polemik Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 ini.
"Kita ambil substansinya, mungkin keinginannya itu baik, tetapi implementasinya (Permendikbudristek 30/2021) ini bisa salah tafsir. Karena itu harus ada visi yang jelas dan tegas, sehingga bahasa hukum itu kan nggak boleh multitafsir," jelas Gus Is.
Baca Juga : Operasi Zebra Dimulai Hari ini, Protokol Kesehatan Menjadi Sasaran Prioritas
Sementara itu, untuk mengantisipasi kejadian kekerasan maupun pelecehan seksual terjadi di dalam kampus, Gus Is yang juga merupakan Wakil Rektor 4 Bidang Kerja Sama dan Pengembangan Lembaga Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang ini mengimbau agar semua pihak terlibat untuk mencegah adanya pelecehan seksual.
"Kita harus melakukan sosialisasi, bahwa yang dimaksud sebenarnya begini begini. Saya kira harus ada informasi yang masif, harus ada gerakan moral dari masyarakat untuk bersama-sama mengawasi," kata Gus Is.
Gus Is pun mencontohkan di Kota Malang yang saat ini merupakan kota yang memiliki berbagai macam perguruan tinggi dan berisi mahasiswa dari seluruh Indonesia. Alhasil mayoritas mahasiswa di Kota Malang yang tinggal tanpa pengawasan orang tua secara langsung.
"Maka kembali lagi ke masing-masing orang. Kalau masing-masing orang memiliki pengetahuan dan pemahaman agama yang kuat, saya kira dia bisa menahan diri, bisa memproteksi diri," jelasnya.
Pihaknya pun berharap, agar masing-masing orang dapat memahami Permendiknudristek Nomor 30 Tahun 2021 secara komprehensif dan mendalam. Karena menurutnya, saat ini pihaknya tidak mengetahui kemauan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
"Kedua jelas kalau kita hanya membaca teks, itu akan memungkinkan multitafsir. Ketiga harus ada gerakan moral. Gerakan moral itu ya mohon maaf, membatasi di luar jam kuliah, sesungguhnya mereka harus melakukan kegiatan privasi ataupun individu," pungkas Gus Is (Bersambung).