free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Menengok Kembali Novel Masterpiece Buya Hamka ketika Kapal Van Der Wijck Dikabarkan Ditemukan 

Penulis : Desi Kris - Editor : Yunan Helmy

25 - Oct - 2021, 15:29

Placeholder
Kapal Van Der Wijck (Foto: ZAMANe.id)

JATIMTIMES - Tenggelam pada tahun 1936, Kapal Van Der Wijck kini dikabarkan ditemukan. Hal tersebut disampaikan melalui hasil eksplorasi yang juga nelibatkan Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim.

Arkeolog BPCB Jatim Wicaksono Dwi Nugroho bersama tim meyakini bahwa bangkai kapal yang ada di perairan Lamongan itu adalah Kapal Van Der Wijck. Keyakinan itu berdasarkan berbagai bukti dan cerita tutur yang ada di masyarakat.

Baca Juga : Deretan Buah Surga yang Tercatat di Al-Quran

"Secara pribadi saya meyakini 75 persen dari berbagai bukti yang ada bahwa kapal yang kami eksplorasi ini adalah Kapal Van Der Wijck," ujar Wicaksono saat presentasi hasil eksplorasi pada Kamis (21/10/2021) lalu.

BPCB Jatim  juga mendokumentasikan bangkai kapal berupa foto maupun video. Foto dan video tersebut menunjukkan bagian belakang kapal, cerobong, tiang, dan tangga kapal. Tim juga melihat penampakan muatan-muatan yang masih ada di dalam bangkai kapal. "Yang paling kentara adalah penampakan tangga kapal," jelas Wicaksono.

Meski begitu, proses identifikasi Kapal Van Der Wijck ini masih akan terus dilakukan. Ke depan, tim akan bekerja sama dengan semua pihak, termasuk dengan jajaran TNI AL, agar hasil temuan semakin mendapatkan gambaran.

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka

Di sisi lain, tokoh ulama almarhum Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah)  juga pernah membuat novel masterpiece berdasarkan tragedi tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Novel tersebut berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” dan sangat laris tempo dulu.

Tenggelamnya kapal Van Der Wijck merupakan salah satu novel legendaris karya  Buya Hamka. Novel tersebut terbit pada 1939 yang menceritakan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau serta perbedaan latar belakang sosial.  Perbedaan itu lantas menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian. 

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck berawal dari cerita bersambung yang dimuat dalam suatu surat kabar.  Namun, karena banyak masyarakat yang suka pada cerita itu, Hamka pun mengambil keputusan untuk menjadikannya sebuah novel.

Karena novel itu sangat digemari, banyak  kritikus serta sastrawan yang menyebut novel tersebut adalah karya terbaik serta masterpiece Buya Hamka, yang juga salah satu tokoh Muhammadiyah. 

Sayangnya, keberhasilan novel itu justru memperoleh cobaan. Novel tersebut sempat dituding plagiat dari novel luar negeri berjudul Sous les Tilleuls (1932) karya Jean-Baptiste Alphonse Karr. 

Namun kabar itu segera hilang dan dibantah oleh Buya Hamka. Hamka menulis bovel itu berdasarkan kisah  mengenai Kapal Van Der Wijck yang berlayar dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. 

Kapal itu lalu tenggelam di Laut Jawa, di perairan Lamongan, pada 21 Oktober 1936. Diukur jarak dari Tanjung Perak di Surabaya dengan perairan Lamongan yang tidak terlalu jauh, tragedi tenggelamnya kapal  yang namanya diambil dari pemimpin Hindia Belanda itu terjadi tak lama setelah membuang jangkar di Tanjung Perak.

Peristiwa itu juga lantas diabadikan dalam sebuah monumen bernama Monumen Van Der Wijck yang berlokasi di Desa Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan. Museum dibangun sebagai tanda terima kasih masyarakat Belanda kepada para nelayan yang sudah banyak membantu saat kapal yang disebut Titanic-nya Indonesia  itu tenggelam.

 Meski itu adalah kisah nyata, tetap saja novel yang ditulis Hamka adalah fiksi belaka, seperti pada umumnya karya sastra lain yang dibangun di atas serpihan kejadian nyata. Hamka pun mengolah tragedi yang memilukan itu dalam cerita fiksi dengan plot yang apik sehingga imajinasi pembaca  seperti mempunyai pijakan di dunia faktual. 

Karakter uatama dari novel tersebut adalah Zainuddin, Hjayati, dan Aziz.  Zainuddin merupakan anak Pendekar Sutan. Pendekar Sultan diasingkan ke Cilacap karena membunuh ibunya dalam suatu perselisihan harta warisan. Sesudah bebas, Pendekar Sutan itu pergi ke Makassar dan di kota itulah ia menikah dengan Daeng Habibah. 

Baca Juga : Apa Makna Ndomblong di Lagu Kucingku Telu, Ini Jawaban Remaja Zaman Now di Tulungagung

Dari pernikahan itu, lahir Zainuddin. Setelah orang tuanya meninggal, Zainuddin pergi ke Batipuh, Padang Panjang, yang disebut kampung halaman sang ayah. 

Sayangnya di sana ia tidak diperlakukan baik karena dianggap bukanlah anak Minang. Kendati demikian, Zainuddin menjalin kasih dengan Hayati, gadis Minang yang prihatin terhadap nasibnya. Zainuddin sering mencurahkan kesedihan hatinya kepada Hayati. 

Sebagai gadis keturunan bangsawan,  keluarga Hayati menentang hubungan mereka. Keluarga Hayati lantas memilih Aziz, pria asli Minang serta keturunan keluarga terpandang, untuk menjadi calon suami Hayati. 

Hayati pun harus tunduk pada kesepakatan keluarganya itu. Zainuddin pun beranggapan Hayati sudah berkhianat. 

Akhirnya, Zainuddin pergi ke Jakarta, lalu pindah ke Surabaya.  Sementara Hayati dan Aziz sudah menikah dan pergi ke Surabaya untuk tinggal di sana karena alasan pekerjaan. 

Tanpa sengaja, dalam sebuah acara, Hayati dan Aziz bertemu dengan Zainuddin yang sudah menjadi orang berhasil. Sedangkan kehidupan ekonomi Aziz serta Hayati semakin lama makin memburuk. 

Aziz jatuh miskin, sampai dia dan Hayati menumpang di rumah Zainuddin. Tak tahan dengan penderitaan, Aziz pun bunuh diri dan meninggalkan pesan agar Zainuddin menjaga dan melindungi Hayati. 

Zainuddin yang pernah dikhianati Hayati merasa susah untuk menerima mantan kekasihnya itu. Bahkan, Zainuddin sempat meminta Hayati untuk kembali ke kampung halamannya. 

Hayati lalu pulang dengan menumpang Kapal Van Der Wijck dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Namun nasib malang menimpanya. Kapal tersebut tenggelam di Laut Jawa.

Zainuddin yang mendengar kabar itu segera menuju rumah sakit di Tuban. Sayang, nyawa Hayati tidak bisa diselamatkan. Sejak itulah, Zainuddin sering mengalami sakit hingga akhirnya ia meninggal dan dimakamkan di samping makam Hayati. 

Dari cerita itu, lantas novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dijadikan sebuah karya film dan berhasil menarik perhatian penonton.  Film tersebut diproduksi oleh Soraya Intercine Films pada tahun 2012 dengan judul yang sama. 


Topik

Serba Serbi



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Desi Kris

Editor

Yunan Helmy