BLITARTIMES - Tahun Baru Hijriah selalu disambut oleh umat Muslim, khususnya masyarakat Jawa. Di Jawa banyak tradisi untuk menyambut Tahun Baru Islam atau malam Satu Suro.
Selain larung sesaji oleh masyarakat di laut selatan, ada tradisi istimewa di Keraton Kasunanan Surakarta. Tradisi itu adalah kirab pusaka.
Baca Juga : Cerita Pria dari Pelosok Desa Berangkat Pagi Tempuh Jarak 62 Km untuk Vaksin Covid-19
Ya, kirab pusaka di Keraton Surakarta selalu disambut meriah oleh masyarakat. Selain masyarakat Jawa di Surakarta atau Kota Solo, Provinsi Jawa Tengah, tradisi ini juga selalu dinanti-nantikan wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Ini karena kirab pusaka itu menampilkan iring-iringan cucuk lampah kerbau bule atau biasa disebut kebo bule. Sayangnya tradisi ini tidak ditiadakan di masa pandemi covid-19 dengan dalih pencegahan di masa pandemi.
Tradisi malam Satu Suro ini melibatkan seluruh anggota keluarga Keraton Kasunanan Surakarta. Mulai dari keluarga raja, pangeran hingga ribuan abdi dalem. Seluruh keperluan kirab disiapkan. Mulai dari ubo rampe meliputi ubi-ubian, kopi, buah-buahan, nasi, air kembang, ayam. Sesuai tradisi Jawa, di prosesi ini juga dibakar kemenyan dan dupa di depan sesaji.
Dalam tradisi ini, para abdi dalem keraton memakai busana adat Jawa berwarna hitam. Mereka tak mengenakan alas kaki untuk melakoni kirab tersebut.
Sejak Keraton Kasunanan Surakarta berdiri, kirab kebo bule selalu diawali dari halaman keraton. Di halaman keraton, kerbau-kerbau yang dikeramatkan tersebut memakan sesaji hingga meminum kopi yang dihidangkan abdi dalem.
Seusai memakan sesaji, rombongan kebo bule sebagai cucuk lampah atau pembuka kirab itu kemudian pergi. Setelah pergi, warga yang menyaksikan kemudian merengsek maju untuk memperebutkan sisa sesaji kerbau keturunan Kyai Slamet. Sesaji sisa kebo bule itu diyakini memiliki tuah.
Menurut budayawan Keraton Kasunanan Surakarta KHPG Puger, sejarah kerbau bule bermula di masa Kerajaan Demak. Pada waktu itu, di Jawa sedang terjadi wabah penyakit atau pandemi. Untuk menanggulangi pandemi tersebut, para petinggi kerajaan bersama para wali kemudian mencari solusi. Akhirnya diputuskan untuk mengorbankan kerbau.
"Ini diambil dari kisah Perang Baratayudha ketika Yudhistira diperintahkan Bathara Guru mengorbankan kuda untuk bersih-bersih. Sedangkan di Demak diputuskan kerbau," kata Puger saat dilansir BLITARTIMES dari detik.com.
Menurut Puger, mengorbankan kerbau disebut sebagai tradisi Mahesa Lawung. Tradisi tersebut terus menerus dilakukan oleh kerajaan era Demak hingga Surakarta saat ini. Sejak saat itulah kerbau dipelihara keraton secara turun-temurun.
Baca Juga : Pengabdian Dokter Covid-19 Yosephine Pratiwi, Jadi Dokter karena Pesan Sang Ayah
"Jadi, turun-temurun sejak Demak sampai Surakarta. Selain itu, kerbau ini diberi oleh bupati Ponorogo pada saat berdirinya Surakarta dan terus dipelihara sampai sekarang," imbuhnya.
Saat kirab malam Satu Duro, kerbau bule yang berwarna putih ini selalu berada di barisan paling depan. Terkait dengan ini, Puger memberikan penjelasan bahwa hal itu dilakukan juga terkait dengan sejarah masa Kerajaan Demak.
"Karena kerbau saat itu telah dikorbankan sehingga wabah berakhir, maka setiap malam 1 Sura ikut dikirab bersama pusaka. Ini berarti doa agar selalu selamat," imbuhnya.
Hingga saat ini masyarakat Jawa khususnya yang bermukim di Surakarta dan sekitarnya menganggap Kerbau keturunan Kyai Slamet sebagai kerbau keramat. Bahkan, setelah kirab malam Satu Suro pun, tidak sedikit masyarakat yang menyimpan kotoran kerbau ini untuk dibawa pulang ke rumah.
Bagi warga yang bercocok tanam, kotoran kerbau itu digunakan sebagai pupuk. Dengan pupuk dari kotoran kerbau ini, warga meyakini tanaman mereka akan tumbuh subur.