INDONESIATIMES - Cuitan 'mati Corona ala Madura' sempat viral di jagat maya. Terkait hal itu, Kemenkes RI akhirnya memberi tanggapan. Kemenkes RI menilai sudah sepatutnya menjadi tugas Satgas Covid-19 daerah untuk memberikan edukasi terhadap warga Madura.
"Tentunya menjadi tugas satgas provinsi dan kabupaten/kota untuk meningkatkan edukasi dan sosialisasi termasuk penerapan prokes yang ketat. 3T dan vaksinasi sebagai upaya bersama dalam penanganan Covid-19," jelas Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi.
Baca Juga : Kasus Kematian Akibat Covid-19 di Kabupaten Blitar Tertinggi se-Jawa Timur
Menurut Nadia, banyak masyarakat yang perlu diedukasi karena masih menganggap Covid-19 adalah hoax. "Ini penting jangan kita menjadi bahaya sebagai sumber penularan untuk orang lain atau warga lain yang sudah berusaha mencegah tertular dari Covid-19" tutupnya.
Sebelumnya, Satgas Covid-19 Jatim juga sudah memberi pernyataan terkait cuitan mati corona ala Madura yang viral di media sosial itu. Menurut Satgas Covid-19 Jatim, cuitan tersebut menggambarkan jika edukasi Covid-19 terhadap warga Madura sangat diperlukan.
"Apa yang ditulis mas Firman adalah gambaran dari betapa luar biasanya effort yang dibutuhkan untuk edukasi Covid-19. Khususnya pada masyarakat Madura yang mengalami pandemic fatique," ujar Jubir Satgas Covid-19 Jatim Dr Makhyan Jibril.
Ia juga mengatakan, kondisi ini seringkali terjadi action bias. Contoh, berfikir dengan tidak menyebut Covid-19 akan menghindarkan dirinya dari virus ini.
Makhyan juga mengatakan, tulisan tersebut mengingatkan kita semua selain melawan pandemi, juga harus bekerja sama turun untuk melawan infodemi dan kurangnya literasi Covid-19 di Madura.
Ia juga berkaca pada sejarah dan jurnal di population studies. Sebab, disebutkan bahwa diprediksi saat Spanish Flu tahun 1918-1919, 23,71% populasi Madura meninggal saat pagebluk. Di sisi lain, pakar epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr dr Windhu Purnomo menilai jika hal ini berhubungan dengan kultur.
"Memang Madura ini rupanya kulturnya, ya kultur yang memang sedikit perlu penanganan khusus karena sejarah menunjukkan hal yang sama," ujarnya.
Ia mengatakan, terbentuknya kultur ini karena sejumlah faktor. Salah satunya yakni terkait pendidikan. Windhu lantas mencontohkan perusakan posko penyekatan yang dilakukan oleh orang-orang Madura beberapa hari ke belakang. Sebagian yang merusak adalah mahasiswa.
"Mahasiswa kan bukan orang sembarangan. Mahasiswa orang yang berpendidikan cukup, nyatanya persepsinya rendah. Jadi ada soal kultur menurut saya memang harus didekati secara sosiologis dan kultural," kata Windhu.
Selain itu, menurut Windhu, peran ulama sangat penting untuk menyadarkan pentingnya protokol kesehatan di Madura.
"Makanya didekati para ulama. Saya pernah ngobrol dengan beberapa ulama di sana di dalam sebuah webinar. Ada yang bagus para ulamanya, tapi itu hanya beberapa saja, yang lain itu ya sama dengan masyarakatnya," jelasnya lagi.
Cuitan 'Mati Corona Ala Madura'
Cuitan tersebut berisi tulisan dari Firman Syah Ali yang menceritakan kondisi Pamekasan tampak normal dalam status PPKM level 3, padahal pandemi Covid-19 tengah melonjak saat ini.
Dalam cuitannya, Firman menjelaskan warga Pamekasan tetap menjalankan aktivitas normal selama PPKM level 3-4. Menurutnya, banyak hajatan yang justru digelar warga di Pamekasan.
"Paling banyak itu hajatan luar biasa, ndak ada itu prokes juga, dan ya herannya gak ditegur. Meski begitu, warga itu sebenarnya percaya Corona, tapi gak mau sampai selalu dipikir," terangnya.
Firman yang juga diketahui keponakan dari Menko Polhukam Mahfud Md ini menyebut akhir-akhir ini ada imbauan dari Ketua DPRD Pamekasan agar tidak mengumumkan kematian warga melalui Toa masjid. Hal ini untuk menjaga kondisi psikis warga.
Baca Juga : Inspirasi Korean Outfit nan Kekinian, Fresh dan Stylish untuk Ditiru Nih!
Ia menambahkan, warga Madura juga belakangan ini teringat thaun. Yakni sebuah kepercayaan warga lokal, jika ada seseorang yang mengetuk pintu tengah malam, dan warga itu menjawab, maka ajal akan menjemput.
Berikut cuitan lengkap yang ditulis Firman:
Akhir-akhir ini banyak sekali orang meninggal dunia di Madura, diantara mereka ada saudara, tetangga, teman sekolah bahkan mantan saya. Berita-berita kematian itu sebagian saya dengar sendiri secara langsung melalui pengeras suara masjid, sebagian melalui cerita tamu selama saya menjalani Isolasi Mandiri, namun sebagian besar saya baca di media sosial.
Selama saya menjalani isolasi mandiri, saya sama sekali tidak keluar rumah, saya berada di kompleks tanean lanjang Bani Hasyim Dusun Seccang, Desa Plakpak, Kecamatan Pegantenan, Kab Pamekasan. Begitu saya selesai Isolasi Mandiri barulah saya keluar rumah.
Begitu keluar rumah saya kaget melihat aktivitas warga normal seperti biasa, padahal berita duka terus bertalu-talu dari ujung ke ujung. Pasar Blumbungan tetap ramai bahkan macet, orang-orang santai ceria tanpa masker, tukang amal masjid teriak-teriak dengan kalimat-kalimat yang lucu.
Belok kiri ke arah Aeng Pennay saya jumpai banyak rombongan mantenan tanpa masker, sebagian diantaranya naik pick up bak terbuka penuh sesak juga tanpa masker, bergembira ria dalam rombongan mantenan sanak saudaranya itu. Saya main ke rumah sepupu, dia baru datang dari tahlilan.
Saya bertanya "sakit apa yang kamu tahlili itu?", dengan santai dia jawab "yaa sakit yang sekarang ini".
Buahahaha istilahnya bukan corona kalau di Madura, tapi "penyakit yang sekarang ini".
Mereka ya tidak dilaporkan ke puskesmas, dimandikan biasa, disalati dan ditahlili biasa, sehingga tidak masuk data resmi korban Corona di Kabupaten setempat. Begitu usai tahlilan biasanya beberapa tetangga dan keluarga almarhum menyusul meninggal dunia, namun tetap saja tidak disebut corona, mereka disebut mati kena penyakit yang sekarang ini.
Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi, disebut mati sesak nafas, mati capo' cap (influenza) dan banyak lagi istilah lainnya, yang intinya orang madura menghindari istilah Corona yang dengan sendirinya menghindari protokol Covid-19 terhadap jenazah keluarga/tetangganya.
Bahkan yang terbaru di Pamekasan muncul tradisi baru, yaitu menghentikan siaran berita duka melalui pengeras suara. Bahkan di beberapa grup WA masyarakat Madura saya dimusuhi dan dimarahi ramai-ramai gara-gara selalu posting berita duka, padahal orang yang saya posting berita dukanya itu merupakan orang-orang yang mereka kenal juga.
Akhirnya saya berpikiran jangan-jangan ini cara orang madura untuk melindungi dirinya dari serangan pembunuh imun. Mereka tidak mau imun mereka runtuh terkapar gara-gara dengar nama corona, protokol kesehatan dan berita duka. Mereka ingin anggap itu semua tidak ada. Atau ini mungkin cara mencapai Herd Immunity alami ala Madura? Wallahu a'lam.
Ya seperti dalam semua peristiwa lainnya, orang madura selalu punya cara sendiri. Saat saya menulis artikel ini, saya sedang duduk santai di rumah sepupu sambil mendengarkan musik dangdut dari tetangganya yang sedang hajatan mantenan.
Undangannya banyak sekali, satupun tidak ada yang mengenakan masker dan jaga jarak. Padahal baru saja tetangga shohibul hajat meninggal dunia akibat "penyakit sesak nafas" atau "panyaket se sateyah. Dan itu terjadi dimana-mana bukan hanya di dekat rumah sepupu saya ini.