TULUNGAGUNGTIMES - Jika malam tiba, anak-anak di pedesaan Tulungagung begitu riang. Setelah salat di masjid dan musala sekaligus mengaji, mereka bersama-sama pergi ke sebuah tempat yang dikelilingi gedek (papan bambu dianyam) dan menghadap ke layar putih yang terpajang membentang sekitar 7 x 3 meter.
Dengan membayar Rp 200, ratusan anak, remaja hingga dewasa asyik menikmati kisah di film yang mereka tonton selama hampir dua jam lamanya.
Baca Juga : Tips Menanam Aglonema Tumbuh Subur dan Segera Bertunas
"Membawa tikar atau hanya beralas sarung," kata Budiono (44) warga di salah satu desa di Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung.
Budi mengaku sangat senang berkumpul bersama, karena selain menikmati kisah di film juga menghasilkan kehangatan di tengah dinginnya malam. Tahun itu disebut sekitar tahun 1990-an.
"Padahal hanya menggunakan pengeras berupa loudspeaker, kita sudah sangat terhibur," ujarnya.
Disebut Budi, saat itu komposisi warna dan suara yang sederhana sudah dapat memanjakan mata dan telinga untuk fokus kepada film yang disuguhkan.
"Ada film laga, percintaan hingga humor," ungkap Budi.
Budi masih ingat, untuk satu film saja panjang pita gulungan mencapai 100 meter. Cukup panjang untuk mengitari tanah lapang tempat menonton layar tancap.
"Itupun di break dua hingga tiga kali, ganti gulungan," jelasnya.
Baca Juga : Serupa tapi Tak Sama, di Jogja Nasi Kucing dan di Tulungagung Nasi Bantingan
Saat itu, film menggunakan alat atau mesin proyektor. Siang hari sebelum malamnya tayang, kendaraan roda dua dengan speaker keliling desa (ledang) untuk mengumumkan judul film yang akan diputar malam harinya.
"Selain bioskop misbar (gerimis bubar) film layar tancap kala itu juga untuk acara nikahan, sunatan dan acara ulang tahun," imbuh Budi.
Kini, di Tulungagung untuk mencari siapa yang masih punya usaha layar tancap ini sudah kesulitan. Bahkan, bioskop yang dulu pernah populer di wilayah kota sudah tidak ada yang buka lagi.