free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Peristiwa Besar yang Terjadi di Bulan Ramadan (22)

Fathan Mubina, Pertempuran Sengit Cikal Bakal Lahirnya Kota Jakarta

Penulis : Desi Kris - Editor : Yunan Helmy

05 - May - 2021, 00:40

Placeholder
Pelabuhan Sunda Kelapa (Foto: Miss Nidy)

INDONESIATIMES - Salah satu peristiwa bersejarah di bulan Ramadan adalah penaklukan Sunda Kelapa yang dilakukan Fatahillah. Peristiwa itu terjadi pada 22 Juni 1527 M atau pada 22 Ramadan 933 H. 

Pada momen itu, Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa dari penjajah Portugis. Keberhasilan Fatahillah merebut Sunda Kelapa ini kemudian disebut sebagai Fathan Mubina atau kemenangan yang nyata.

Baca Juga : 30 Nominasi Kompetisi TikTok Piala Wali Kota Bersama JatimTIMES.com Masuk Tahap Penjurian

Kata-kata itu dalam bahasa Sansekerta disebut Jayakarta. Oleh karena itu, Kota Sunda Kelapa diganti oleh Fatahillah menjadi Kota Jayakarta atau Jakarta.

Sejarah Perebutan Pelabuhan Sunda Kelapa 

Sejarah perebutan Pelabuhan Sunda Kelapa berawal saat pelabuhan tersebut dikuasi  Kerajaan Sunda (Pajajaran). Kala itu pertumbuhan ekonomi di Pelabuhan Sunda Kelapa berkembang begitu pesat. 

Banyak pedagang dari luar negeri seperti Portugis, Arab, India, China yang singgah di Pelabuhan Sunda Kelapa. Bangsa Portugis yang kala itu memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Sunda diizinkan mendirikan kantor dagang di dekat Pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalan, bangsa Portugis akan memberikan barang-barang yang diperlukan  Kerajaan Sunda. 

Kesultanan Demak  menganggap langkah Portugis itu sebagai sebuah ancaman. Hingga akhirnya, Sultan Trenggana menugaskan Panglima Fatahillah  untuk mengusir Portugis dari Sunda Kelapa sekaligus merebut kota itu pada 22 Ramadan 933 H atau bertepatan dengan 22 Juni 1527 M. Bahkan, peristiwa ini dirayakan sebagai hari ulang tahun Kota Jakarta seiring bergantinya nama Sunda Kelapa  menjadi Jayakarta dan selanjutnya menjadi Jakarta.

Perebutan Sunda Kelapa ini bukan hanya didasari motif ekonomi dan politik, tetapi juga untuk syiar agama Islam. Di bawah pengaruh Kesultanan Demak, Islam di Jakarta saat itu berkembang pesat. Apalagi banyak pedagang dari Gujarat (India) dan China yang ikut menyebarkan agama Islam di tengah misi berdagang mereka.  

Aksi Fatahillah Menaklukan Sunda Kelapa

Sunda Kelapa memang berada di wilayah Kerajaan Pajajaran. Kerajaan tersebut mengundang Portugis demi mengamankan eksistensinya atas apriori terhadap perkembangan Islam di Pulau Jawa. 

Sedangkan dalam sudut pandang Fatahillah, kehadiran Portugis di Sunda Kelapa adalah ancaman regional terhadap seluruh kerajaan di Nusantara, khususnya Pulau Jawa. Hal itu yang menyebabkan Fatahillah mengerahkan armada perangnya untuk merebut Sunda Kelapa. 

Sebelum menuju Sunda Kelapa, Fatahillah yang berangkat dengan armada perang Demak terlebih dulu menuju ke Kesultanan Cirebon untuk menggabungkan kekuatan (aspek maritim). Setelah itu, armada Fatahillah menuju Banten, yang telah bergolak melawan Pajajaran.

Tumbangnya Banten dari Pajajaran dan sebagian besar pemberontak di sana semakin menambah besar daya pukul kekuatan (fire power) armada Fatahillah. 

Pada 1526, Alfonso d'Albuquerque mengirim 6 kapal perang di bawah pimpinan Francisco de Sa menuju Sunda Kelapa. Kapal yang dikirim adalah jenis galleon yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam. Armada itu diperkirakan membawa prajurit bersenjata lengkap sebanyak 600 orang.

Pada tahun yang sama, Sultan Trenggana di Demak mengirimkan 20 kapal perang bersama 1.500 prajurit di bawah pimpinan Fatahillah menuju Sunda Kelapa. Armada perang Demak terdiri dari kapal tradisional jenis lancaran dan pangajawa yang ukurannya lebih kecil daripada galleon.

Hingga akhirnya pada awal 1527, Fatahillah menggerakkan armadanya ke Sunda Kelapa. Sementara, pasukan Banten secara bertahap menduduki wilayah demi wilayah Pajajaran dari arah barat. Sedangkan pasukan Cirebon bergerak menguasai wilayah Pajajaran bagian timur Jawa Barat. 

Baca Juga : Cara Guru Besar UIN Malang Berjuang Lawan Plagiasi yang Dilakukan Calon Rektor UIN Malang

Dalam kondisi itu, Sunda Kelapa telah dipertahankan oleh Kerajaan Pajajaran secara kuat, baik di darat maupun laut.

Namun, setelah melalui pertempuran sengit, pada 22 Juni 1527, armada perang yang dipimpin Fatahillah akhirnya berhasil menaklukkan pasukan Portugis. Pasca-kemenangan tersebut, Fatahillah didaulat menjadi gubernur di Sunda Kelapa. Dia mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang merupakan cikal bakal lahirnya Kota Jakarta.

Sosok Fatahillah

Banyak teks sejarah yang menyebutkan bahwa Fatahillah adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, salah satu anggota Wali Songo. Artinya, teks sejarah itu ingin menyampaikan bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati merupakan sosok yang sama.

Padahal, Fatahillah atau juga disebut Faletehan dan Syarif Hidayatullah merupakan sosok yang berbeda.

Syarif Hidayatullah adalah putra Nyi Rara Santang atau Syarifah Muda'im, putri Prabu Siliwangi, yang menikah dengan Maulana Ishaq Syarif Abdillah, penguasa Kota Isma'illiyah di Arab Saudi. Mereka mempunyai dua putra, yakni Syarif Nurullah yang melanjutkan kedudukan ayahnya sebagai amir (penguasa) dan Syarif Hidayatullah. 

Syarif Hidayatullah  bersama ibunya kemudian kembali ke tanah Jawa sepeninggal Maulana Ishaq Syarif Abdillah. Oleh Pangeran Cakrabuana yang menjadi penguasa Caruban (Cirebon), Syarif Hidayatullah diperkenankan tinggal di daerah pertamanan Gunung Sembung sambil mengajarkan agama Islam. 

Hingga akhirnya, Pangeran Cakrabuana menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Karena usianya yang sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana tahun 1479 menyerahkan kekuasaan kepada Syarif Hidayatullah. Sejak saat itulah, Islam melalui Syarif Hidayatullah mulai berkembang pesat.

Sedangkan Fatahillah yang biasa disebut Faletehan atau Kiai Fathullah adalah seorang ulama dari Pasai, Aceh, yang hijrah ke Demak setelah sebelumnya pergi ke Makkah. Fatahillah kemudian diangkat Raden Patah (ayah Raden Surya/Adipati Unus/Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana)  sebagai panglima pasukan Demak.

Setelah wafatnya Sultan Trenggana, Ratu Ayu yang merupakan putri Syarif Hidayatullah menikah dengan Fatahillah. Jadi, bisa dikatakan Fatahillah merupakan menantu Syarif Hidayatullah.

Bukti lainnya adalah makam Fatahillah yang terletak di kompleks makam Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah wafat tahun 1568. Sedangkan Fatahillah wafat dua tahun setelahnya.


Topik

Serba Serbi



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Desi Kris

Editor

Yunan Helmy