Kopi menjadi salah satu komoditas pasar yang masih menjadi primadona hingga hari ini. Di Jawa Timur, utamanya Malang, dikenal ada banyak jenis kopi yang telah mendunia.
Salah satunya kopi lereng Gunung Bromo atau lebih dikenal sebagai kopi Taji. Kualitas kopi yang bagus dihasilkan oleh petani di Desa Taji itu menjadikan kopi khas Malang dikenal dalam skala internasional.
Baca Juga : BLT Subsidi Gaji Gelombang 2 Mulai Cair, Ada Peserta yang Dicoret
Namun sayangnya, belum semua petani di Desa Taji merasakan manisnya harga kopi yang dijual di pasaran nasional dan internasional itu. Sebab, sebagian masih memilih menjual kopi glondongan yang belum diolah sama sekali.
Berangkat dari kondisi itu, Ir Sukardi MP dan Sri Winarsih STP MP yang merupakan dosen di Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian dan Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), memilih untuk mengenalkan teknologi pasca-panen kepada para petani. Upaya itu sebagai salah bentuk untuk turut serta melakukan pengabdian kepada masyarakat.
Sukardi menyampaikan, Fakultas Pertanian Peternakan UMM selalu mendorong semua dosen yang bernaung di setiap program studi untuk turun ke masyarakat. Terutama untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi masyarakat, kemudian turut serta menawarkan solusi dari permasalahan yang ada. "Hal ini sebagai pengejawantahan jargon dari Muhammadiyah untuk Bangsa," katanya.
Fakultas Pertanian Peternakan UMM telah memberikan hibah blockgrant pengabdian kepada masyarakat guna memfasilitasi dosen dalam implementasi tugas Tridharma Perguruan Tinggi yang diembannya. "Dan kali ini kami memilih mengenalkan teknologi tepat guna untuk diterapkan masyarakat Desa Taji," terangnya.
Dipilihnya Desa Taji lantaran sebagian besar warga di sana merupakan petani kopi. Kopi menjadi produk pertanian yang dominan, mencapai 50 persen dari total hasil pertanian. Apel menduduki persentase kedua, yaitu sebesar 20 persen. Ssanya adalah umbi-umbian dan sayuran.
Sayur yang dibudidayakan antara antara lain kubis, wortel, buncis, cabai besar, cabai rawit, tomat, bawang merah, dan daun bawang. Kopi yang banyak dibudidayakan oleh warga adalah kopi robusta, kopi arabika dan liberika sangat sedikit. Kopi dipanen setiap 6 bulan sekali.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani kopi, tambah Sri Winarsih, diketahui kopi yang dipanen dijual segar tanpa pengolahan. Kopi yang masih utuh strukturnya, yaitu kopi yang diselimuti kulit ari, kulit tanduk, lendir dan kulit terluar.
Kopi ini dikenal sebagai kopi glondong. Harganya berkisar antara Rp 3.000 sampai dengan Rp 5.000 per kilogram. Dari hasil penjualan tersebut, petani belum merasakan manisnya kopi. Padahal dengan pengolahan kopi glondong menjadi kopi beras, harganya bisa meningkat berlipat-lipat.
"Menurut Pak Wagio, salah satu petani kopi menyebutkan bahwa harga kopi beras berkisar antara Rp 45.000 sampai dengan Rp 120.000 per kilogram. Harga bergantung dari kualitas kopi beras," jelasnya.
Kopi beras sendiri adalah kopi yang siap untuk disangrai. Kopi beras adalah kopi glondong telah mengalami pengolahan baik dengan cara kering maupun basah. Jika proses pengolahan dilanjutkan ke proses penyangraian dan pengecilan ukuran, harga jual mencapai Rp 260.000 per kilogram.
"Petani belum bisa menikmati manisnya harga kopi yang dipanennya. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pengolahan kopi pasca panen," tambahnya.
Melihat permasalahan ini, dosen Teknologi Pangan UMM ititu bergerak untuk ikut serta memberdayakan masyarakat desa dengan cara mengenalkan teknologi tepat guna yang bisa diterapkan masyarakat untuk mengolah kopi glondong menjadi kopi beras dan sangrai guna meningkatkan harga jualnya. Metode yang dipakai adalah penyuluhan.
Pemerintah telah berupaya untuk mendorong masyarakat dapat menerapkan teknologi tepat guna. Hal ini dibuktikan dengan adanya Inpres No 3 Tahun 2001 tentang penerapan dan pengembangan teknologi tepat guna dalam rangka mendorong, menumbuhkan, meningkatkan dan mengembangkan perekonomian masyarakat, memeratakan pembangunan, mengentaskan kemiskinan dan mengembangkan wilayah.
Baca Juga : Gerakan "Not For Sale" Berbuah Hasil, Harga Ikan di Tulungagung Naik Signifikan
Pemerintahan era Presiden Joko Widodo juga memperkuat dengan adanya Permen Nomor 23 Tahun 2017 tentang Pengembangan dan Penerapan Teknologi Tepat Guna dalam Pengelolaan Sumber Alam Desa.
Teknologi tepat guna penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan, dapat menjawab permasalahan, tidak merusak lingkungan serta mudah dimanfaatkan oleh masyarakat.
Teknologi tepat guna yang dikenalkan kepada masyarakat adalah dua jenis mesin pengupas kulit buah kopi. Yaitu mesin sortasi basah kopi glondong, mesin pengupas kulit terluar kopi yaitu vis pulper dan raung pulper, mesin pencuci biji kopi, mesin huller dan mesin penggiling kopi.
Mesin penggiling kopi yang telah didesain berdaya listrik rendah, yang masih bisa digunakan oleh masyarakat. Teknologi tepat guna (TTG) dikenalkan untuk mempermudah pekerjaan karena teknologi ini merupakan jembatan antara teknologi tradisional dan teknologi maju yang hemat sumber daya.
Penerapannya diharapkan mampu menghasilkan nilai tambah bagi produk kopi secara ekonomi. Selain itu, dapat menginduksi tumbuhnya agroindustri kopi, sehingga tersedia lapangan kerja baru yang akan menyerap tenaga kerja di sekitarnya.
Pada masa pandemi covid-19 yang telah berlangsung selama hampir satu tahun ini sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat yang berprofesi sebagai petani maupun non petani yaitu karyawan swasta, banyak tenaga kerja yang dirumahkan.
Banyak perusahaan tidak mampu membayar gaji karyawannya. Per 2 juni 2020 sebanyak 3,05 juta karyawan telah PHK dan jumlah pengangguran diperkirakan mencapai 5,23 juta.
Setiap daerah dengan keberagaman sumber pangan lokal pastinya membutuhkan TTG yang sesuai agar bisa diterapkan dan dikembangkan dalam rangka menunda kerusakan bahan hasil pertanian, perikanan dan peternakan maupun meningkatkan nilai ekonominya.
"Mari petakan potensi pangan yang ada di sekitar kita dan bersama-sama bergandengan tangan antara pemerintah, masyarakat, akademisi menerapkan dan mengembangkan TTG demi menjaga ketersediaan pangan kita dan anak cucu kita di masa sekarang maupun masa mendatang," pungkas Sukardi dan Sri Winarsih.