Kampanye reduse, reuse, dan recycle (3R) tampaknya juga berpengaruh pada bisnis thrift atau pakaian second vintage yang saat ini sangat digandrungi anak-anak muda. Hal itu juga berimbas pada naiknya nilai ekonomi di pasar pakaian second yang memiliki merek tertentu.
Bisnis pakaian second atau sebelumnya telah digunakan sejak dulu memang sudah dikenal. Namun secara ekonomi, bisnis ini dalam kurun waktu tiga hingga empat tahun terakhir baru memiliki nilai yang cukup tinggi. Hal itu didasari oleh pengetahuan pemilik toko tentang pakaian yang memiliki merek layak jual dengan harga yang tinggi.
Baca Juga : Pemkab Banyuwangi Tunggu Laporan RUPS PT PBS atas Pengelolaan Dua Kapal
"Pebisnis (pakaian second) zaman dulu itu banyak yang memang tidak tahu merek. Waktu itu saya masih jadi penikmat. Nah penikmat kayak saya ini berpikir ternyata bisnis itu bisa menghasilkan. Saya awalnya beli di (pasar) Comboran itu, lalu saya jual online, itu tahun 2015-an. Kalau sekarang penjual tua-tua itu mulai mengerti juga yang bermerek. Nah ngertinya mereka itu ya dari kita-kita. Setelah kita beli, mereka lihat-lihat barang yang dibeli dan mulai bisa mematok harga tinggi," ungkap Tedy, Olowner Vaults Studios (In Vaults).
Bisnis thrift, menurut Tedy, untuk tahun-tahun saat ini sangatlah menjanjikan karena fashion sendiri akan selalu berkembang dan tidak akan ada habisnya. Seiring berjalannya waktu, fashion sudah sangat maju dengan berbagai inovasi.
Saat ini fashion dengan gaya oldschool sangat digandrungi oleh remaja. Kebanyakan dari mereka memilih bergaya ala tahun 90-an.
Walaupun saat ini fashion sudah modern, ada segelintir anak muda yang tetap bergaya casual ala 90-an dan terlihat ingin berbeda dengan yang lainnya. Dan mereka biasanya akan terlihat lebih nyentrik dibandingkan yang lainnya. Mereka ingin membawa kembali gaya ala tahun 90-an.
"Dan menariknya barang-barang (second) ini mungkin jarang (yang punya) ya. Ya ada yang kembar, tapi paling 1 atau 2. Sangat jarang banget. Dan yang pasti murah banget. Apalagi fashion sekarang yang kembali ke tahun 90-an. Itu menjadi salah satu jalan kenapa bisnis ini bisa dikatakan sangat menjanjikan," kata Tedy.
Menurut Tedy, membeli pakaian bekas memang harus selektif dalam memilih. Hal itu bukan hanya bagi penggemar pakaian bermerek second. Namun yang memiliki lapak juga harus memiliki selera dan pengetahuan tinggi tentang barang yang saat ini sedang digandrungi oleh remaja.
Selektif memilih, kata Tedy, sangat berpengaruh kepada harga jual yang akan dibanderol di tokonya nanti. Karena jika pembeli tahu barang tersebut memiliki merek, meski harga cukup tinggi, juga akan terbeli.
Baca Juga : Saat Pandemi, Penjual Kopi Keliling Justru Laris Karena Ini
"Buat usaha, nomor satu itu kayak kita harus kenal juragan (yang beli pakaian second banyak), rata-rata kan dari Thailand itu. Nah itu kalau sebutannya nugget ball. Satunya Rp 45 ribu tapi saya harus ambil 100 piece. Jadi, saya sortir yang bagus-bagus saja. Kalau yang KW itu bisa browsing sih," jelas Tedy.
Dulu, Tedy mengingat bahwa harga celana merek Levis 501 dibanderol dengan harga Rp 30 ribu sudah bisa didapatkan. Tapi saat ini sudah bisa mencapai Rp 250 ribu hingga Rp 350 ribu, tergantung dari kondisi barangnya seperti apa.
"Range harga, kalau saya dulu ini Rp 30 ribu sudah dapet Levis 501, kalau sekarang Rp 250 sampai Rp 350 ribuan lah dalam dua tahun ini. Kalau dijadikan bisnis sangat menjanjikan. Dulu segmented sekali, tapi sekarang sangat banyak. Tapi bisnis ini juga tergantung tokonya mengonsepnya bagaimana, dan ikut tren saat ini aja gimana," tutur Tedy.
Saking banyaknya remaja yang menggemari thrift, Tedy mengaku bisnis ini akan terus berjalan seiring kamlanye 3R digaungkan. Karena barang yang masih layak pakai sedianya bisa digunakan kembali daripada dibuang. "Felling saya sampai tahun 2022 bakal bertahan karena semakin banyak kampanye 3R mungkin akan tetap jalan. Tapi kan tergantung gimmick kita juga. Kalau kita main gimmick, ya bisa laku," tutupnya.