Pembelaan terhadap sikap polisi yang memukul mundur demonstran saat mulai berbuat anarkis di depan Gedung DPRD Kota Malang, Kamis (8/10/2020) disuarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Good Governance Activator Alliance (GGAA).
Penilaian demonstran terhadap sikap polisi yang terlalu agresif saat pengamanan massa, menurut GGAA tidaklah benar. Sebaliknya GGAA menilai tindakan aparat kepolisian sudah tepat.
Baca Juga : Foto Vulgarnya Dijadikan Status, Bidan di Jember Lapor Polisi
Direktur GGAA, Sudarno menilai jika tindakan yang telah dilakukan oleh pihak kepolisian telah sesuai dengan Peraturan Kapolri (Perkap) nomer 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
Di dalam Perkap tersebut, terdapat enam prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Prinsip tersebut yakni, legalitas yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Kemudian nesesitas, di mana bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi.
Proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respons anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian, korban. Selanjutnya, kewajiban umum. Di sini anggota Polri diberi kewenangan untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum.
Selanjutnya, preventif, bahwa tindakan kepolisian mengutamakan pencegahan. Dan terakhir prinsip masuk akal. Prinsip tersebut berarti bahwa tindakan kepolisian diambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat.
Kemudian, lebih lanjut dijelaskan Darno, jika dalam penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, juga mempunyai enam tahapan. Yakni mulai dari kekuatan yang memiliki dampak pencegahan, perintah lisan, kendali tangan kosong lunak, kendali tangan kosong keras, kendali senjata tumpul, senjata kimia dan terakhir kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain.
"Saya waktu itu ada di lokasi, langkah yang dilakukan kepolisian dari pengamatan saya sesuai dengan Peraturan Kapolri. Mereka tidak langsung serta merta memukul mundur atau menghalau demonstrasi yang saat itu memicu kerusuhan.Saat itu polisi memberikan semacam ruang untuk negoisasi melalui pengumuman lewat speaker walaupun lemparan batu telah dilakukan oleh demonstran kali itu," jelasnya, Senin, (12/10/2020).
Ketika saat itu suasana sudah memulai tak terkendali, mengarah ke arah anarkis lebih luas dan aset-aset negara mulai terancam serta pembakaran kecil sudah mulai dilakukan, barulah kepolisian mulai melakukan tindakan untuk meredam aksi anarkis dari para demonstran semakin parah.
"Di situlah karena situasi tak kondusif, kebakaran kecil telah diciptakan demonstran, petugas kemudian baru menembakkan gas air mata untuk menghalau demonstran agar menjauh dari lokasi aksi yang mereka lakukan," ungkapnya.
Baca Juga : Aliansi Mahasiswa Probolinggo Ancam Demo Susulan Tolak UU Cipta Kerja, Ingatkan Presiden Bisa Jadi Korban
Dalam melangkah dan bersikap pada saat pengamanan aksi demonstrasi itu, utamanya dalam upaya tidak melanggar hak asasi manusia dalam menyampaikan pendapat di muka umum, juga patut diapresiasi. Sebab saat itu, sesuai pengamatannya, tidak terdapat adanya intimidasi atau pembungkaman oleh pihak kepolisian.
Hal itu juga telah sesuai dengan Perkapolri nomer 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. "Saat hanya berorasi, sepengetahuan saya dan pengamatan di lapangan tidak ada intimidasi atau apapun yang menghambat proses itu. Artinya ruang dialog ruang menyampaikan publik masyarakat dijaga baik oleh petugas," terangnya.
Sementara itu, pihaknya sendiri juga mendukung adanya aksi menuntut perubahan kebijakan dengan cara demonstrasi, selain audiensi dan lainnya. Namun perlu digarisbawahi jika tentunya aksi yang diharapkan adalah aksi yang damai jauh dari tindakan anarkisme.
"Karena bagaimanapun juga ketika anarkisme terjadi yang dirugikan adalah masyarakat. Kami sangat menyayangkan apabila ada aksi yang harus mengorbankan fasilitas publik, tempat publik yang hancur karena dirusak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab," paparnya.
Pihaknya juga menyampaikan kritikan terhadap aksi beberapa waktu lalu. Seharusnya, dalam aksi demonstrasi lalu, tim aksi atau korlap tentunya juga bisa memantau apakah ada penyusup dalam kerumunan masa yang hadir. Meskipun hal itu cukup sulit, namun pengondisian masa itu atau tindakan preventif juga menjadi upaya keamanan dari kawan-kawan yang akan melakukan aksi guna menghindari aksi provokatif yang memicu kerusuhan.