free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hukum dan Kriminalitas

Pakar Hukum soal Omnibus Law: Prosesnya Cacat, akan Timbulkan Perbudakan Manusia

Penulis : Imarotul Izzah - Editor : A Yahya

11 - Oct - 2020, 04:17

Placeholder
Salah satu potret unjuk rasa tolak omnibus law di kota Malang. (Foto: Ima/MalangTIMES)

Unjuk rasa tolak Omnibus law Cipta Kerja pecah di berbagai daerah di Indonesia, Kamis (8/10/2020). Sebagian besar unjuk rasa tersebut diwarnai ketegangan dan kericuhan. Akumulasi kekecewaan masyarakat menjelma menjadi tindakan anarkistis hingga beberapa fasilitas publik menjadi sasaran vandalisme. 

Aksi pembakaran maupun perusakan yang mereka lakukan bisa jadi adalah cara mereka menyampaikan aspirasi dan unek-unek bahwa mereka sedang tidak baik-baik saja.

Baca Juga : Polisi Tetapkan 4 Tersangka Perusakan Pos Polisi Saat Aksi Tolak UU Cipta Kerja di Yogyakarta

Pakar Hukum Universitas Brawijaya (UB) Dr Rachmat Safa'at SH MSi pun turut menyoroti Omnibus law tersebut. Ia menyampaikan, terdapat kelemahan pada Law-Making Process perumusan undang-undang ini.

"Proses perumusan perundang-undangannya salah. Tidak memenuhi ketentuan yang ada di dalam undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang tata cara penyusunan satu perundang-undangan," ucapnya saat dihubungi melalui telepon belum lama ini.

Rachmat mengungkapkan, tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan cukup panjang. Hanya saja, dipangkas oleh DPR. "Itu tahapannya panjang, tapi di-bypass, dalam situasi covid tiba-tiba disahkan," ungkapnya.

Tahapan pertama, harus ada naskah akademik. Sementara, naskah akademik Omnibus law tersebut tidak jelas. Tidak pernah ada sosialisasi mengenai siapa yang menyusunnya. Selain itu juga tidak ada proses dialog publik. Padahal, undang-undang untuk kepentingan publik harusnya didialogkan dengan stakeholder yang terkait. "Kalau itu menyangkut buruh ya harus dilakukan dengan buruh secara intens, tetapi proses ini nggak dilalui," timpalnya.

Tidak adanya naskah akademik dan dialog publik serta disahkan di situasi masyarakat dalam keadaan menghadapi pandemi covid-19 membuat undang-undang ini cacat dari sisi proses pembuatannya. "Sehingga sudah cacat dari sisi Law-Making prosesnya, proses pembuatan undang-undangnya sudah cacat," imbuhnya.

Ditegaskan Rachmat, seharusnya pemerintah justru menerbitkan undang-undang yang membahagiakan dan menyejahterakan rakyatnya. Bukan malah memunculkan undang-undang yang tidak menimbulkan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat.

Seperti yang diketahui, tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyejahterakan kehidupan rakyat. Nah, dikatakan Rachmat, undang-undang cipta kerja ini tidak menyejahterakan rakyat. Malah, akan menimbulkan perbudakan manusia. "Dengan undang-undang ini ada proses perbudakan manusia karena hak atas pekerjaan dan hak-hak yang melekat atas hak buruh itu banyak tergradasi," ungkapnya.

Contohnya yakni Job Security atau hak untuk bekerja yang tidak dilindungi oleh undang-undang ini. Berbeda dengan di Eropa, terdapat Social Clause di mana hak pekerja tidak boleh diabaikan. Artinya, jika mereka sudah direktur, maka tidak boleh di-PHK (putus hubungan kerja) semena-mena. "Nah undang-undang cipta karya ini memberikan ruang untuk mem-PHK semena-mena," timpalnya.

Baca Juga : Sedang Cari Rumput, Warga Trenggalek Justru Temukan Kerangka Manusia

Apabila suatu perusahaan sampai mem-PHK, maka perusahaan tersebut harus menggaji atau menghidupi keluarga buruh yang di-PHK tadi sampai dia mendapat pekerjaan lagi.

Di luar negeri, posisi majikan dan buruh memang dianggap setara. Salah satu alasannya lantaran serikat buruh di sana begitu kuat. Sementara, posisi tawar majikan dan buruh di Indonesia tidak seimbang. "Di Indonesia serikat buruhnya nggak begitu kuat untuk menyeimbangkan posisi," katanya.

Sehingga setiap May Day, terdapat aksi untuk menuntut hak buruh, salah satunya menuntut tidak adanya Outsourcing. "Nah, Outsourcing yang ada di dalam undang-undang cipta karya sekarang ini justru dilegalkan karena orang boleh dikontrak dalam waktu tidak tertentu, terus aja dikontrak, di-Outsourcing terus menerus, pegawai tetap dikurangi," paparnya.

Persoalan lain dalam UU Cipta Kerja yakni mengenai upah. Di sana, upah sektoral tidak disinggung, yang ada adalah upah provinsi. "Padahal sektor membedakan itu, tingkat ekonomi orang Surabaya dengan Trenggalek beda tapi disamakan. Hal-hal semacam ini nampaknya menggradasi makna upah itu sendiri," jelasnya.

Ya, apabila dicermati, masih banyak kekurangan Undang-Undang Cipta Kerja ini. Akan tetapi, Rachmat menegaskan, secara umum UU Cipta Kerja mengubah status buruh yang sudah susah menjadi lebih susah lagi. "Ada banyak muatan lain yang justru menggradasi beberapa hal yang sudah bagus di Undang-Undang Tenaga Kerja," pungkasnya.


Topik

Hukum dan Kriminalitas



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Imarotul Izzah

Editor

A Yahya