Tradisi tiban sudah menjadi kegiatan rutinan bagi beberapa daerah di Tulungagung. Terutama pada musim kemarau panjang seperti saat ini, warga RT 01 RW 01, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbergempol , Kabupaten Tulungagung, mengelar tradisi kesenian tradisional Tiban, Minggu (24/11) siang.
Tiban merupakan tradisi atau ritual rakyat yang turun-temurun menjadi bagian kebudayaan masyarakat Jawa Timur, terutama di Kota Marmer bahkan di kota seperti Kediri, Trenggalek dan Blitar, budaya tiban masih menjadi pertunjukan mental terbuka di tengah masyarakat.
Bahkan di Tambakrejo ini, tiban juga di ikuti oleh peserta wanita sebanyak dua orang dan anak-anak empat peserta.
"Hari ini di ikuti sekitar seratusan peserta yang datang dari berbagai daerah seperti Wajak, Tiudan, Demuk, Sendanh, Kates, Bandung, Blitar dan daerah lain yang secara sukarela masuk gelanggang arena ikut memeriahkan," kata Nanang (37) salah satu panitia yang tampak sibuk membagikan es bagi peserta.
Selain merupakan tradisi budaya Tiban yang melibatkan dua orang pendekar yang beradu ketangkasan bela diri layaknya petinju di atas ring.
Namun cara bertarungnya menggunakan cambuk yang terbuat dari ujung atau pecut yang terbuat dari lidi aren atau lidi daun kelapa.
Cara mencambuknya bergantian, masing-masing petarung mendapatkan giliran tiga kali mencambuk lawan.
"Ini adalah bentuk melestarikan budaya, kebetulan masyarakat percaya jika pada zaman dulu tiban merupakan ritual untuk mendatangkan hujan. Apalagi ini kemarau panjang, siapa tau harapan masyarakat dapat terkabul hingga kekeringan yang sudah cukup lama ini bisa teratasi dengan datangnya hujan," terang Nanang yang didampingi sesepuh desa Tambakrejo Muaji (62) di tengah acara.
Kata tiban sendiri berdasarkan kepercayaan masyarakat diambil tembung sanepa dari kata 'tiba' yang berarti jatuh.
Tiban mengandung arti timbulnya sesuatu yang tidak diduga sebelumnya.
Dalam konteksnya dengan peristiwa tersebut, maka tiban di sini menunjuk kepada hujan yang jatuh dengan mendadak terjatuh dari langit.
Oleh karena itu, Tiban ini selalu digelar saat musim kemarau panjang.
Tradisi ini menjadi sebuah permohonan kepada Yang Maha Kuasa berharap untuk diturunkannya hujan.
Dalam tradisi ini juga bukan unsur kekerasan yang ditonjolkan, melainkan nilai-nilai luhur atau sebuah pesan untuk menjaga keseimbangan alam.
"Ini hiburan rakyat, untuk menonton juga gratis tidak ditarik biaya. Paling hanya bayar parkir agar kendaraan aman," ungkapnya.
Lanjut Nanang, jika tidak ada halangan kegiatan serupa akan digelar pada Minggu depan. Namun, rencana tersebut masih akan dibicarakan oleh panitia.
"Rencananya minggu depan akan ada kegiatan seperti ini, namun ini masih perlu dibicarakan," jelasnya.
Dengan ritual tiban ini, Nanang berharap agar suatu pertunjukan yang mengarah ke pertandingan dapat dilaksanakan di panggung dengan sportif.
Bukan keroyokan di jalanan yang mengakibatkan citra Tulungagung menjadi tidak aman.
"Jika di panggung begini setelah bertanding salaman dan makan bareng, tidak ada dendam dan juga setiap orang akan senang melihatnya," paparnya.
Beberapa peserta tampak mengeluarkan darah karena terkena sabetan lawan, namun meski demikian tidak ada teriakan kesakitan yang tampak dan justru menjadi semacam kebanggaan karena telah ikut serta dalam tradisi yang cukup unik ini.