Masjid Agung Kota Blitar merupakan sebuah bangunan kuno penyimpan sejarah panjang syiar Islam dan perkembangan masyarakat Kota Blitar. Secara administratif saat ini masjid ini terletak di pusat Kota Blitar, tepatnya di sebelah barat Alun-alun Kota Blitar.
Untuk mengungkap sejarah berdirinya Masjid Agung Kota Blitar, BLITARTIMES berhasil menemui salah seorang penjaga kantor Yayasan Masjid Agung Kota Blitar, Izul (28). Dari data dan berbagai sumber yang diperoleh, menurut sejarah, dulunya sebutan Kabupaten Blitar masih bernama Kabupaten Srengat. Pada waktu itu yang bertindak sebagai penghulu atau hakim agama Kabupaten Srengat adalah KY.R. Mohammad Kasiman.
Setelah nama Kabupaten Srengat berubah menjadi Kabupaten Blitar pada tahun 1820, yang menjadi penghulu pertamanya ialah KY.R. Imam Besari, di sana pula awal mula peletakan batu pertama Masjid Agung Blitar. Awalnya, bangunan masjid ini terdiri dari bangunan gebyog dan beratap sirap (dinding dana tap terbuat dari kayu jati) dan berdiri kokoh di sisi utara jembatan kali Lahar Kelurahan Pakunden, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar.
“Memang jarang yang tau sejarahnya masjid ini, menurut sejarah memang awalnya berada di wilayah pakunden. Namun karena berbagai pertimbangan mungkin ya, akhirnya dipindahkan kesini ini,” ungkap Izul kepada BlitarTimes, Selasa (29/01/2018)
Meski berbentuk sederhana dan berbahan dasar kayu jati, masjid ini mampu bertahan cukup lama menghadapi berbagai bencana alam yang menimpa. Letaknya yang berada di pinggiran kali lahar memang membuat masjid tersebut rentan terjangan banjir lahar dingin dari Gunung Kelud. Tercatat tiga kali lahar dingin menerjang masjid tersebut yaitu pada 1826, 1835 dan 1848.
Pada terjangan banjir yang ke tiga, tepatnya 1848, masjid mengalami kerusakan yang cukup parah. Bencana yang disebabkan meletusnya Gunung Kelud tersebut tidak hanya merusak masjid tetapi juga mempengaruhi pemikiran tentang kelayakan Srengat sebagai ibukota Blitar. Karena banjir lahar yang kerap terjadi membuat jalannya pemerintahan terganggu. Apalagi kemudian, banjir juga menghantam rumah kediaman bupati.
“Menurut para sesepuh Ta’mir Masjid Agung ini, dulunya masih di wilayah Pakunden, mungkin karena dulunya sana sering dilewati banjir lahar dingin Gunung Kelud akhirnya dipindahkan,” terang Izul.
Akhirnya, pasca bencana tahun itu, pusat pemerintahan Kabupaten Blitar, dan juga Masjid Agung, dipindahkan ke tempat sekarang ini. Saat itu, Bupati Blitar dijabat oleh Raden Mas Aryo Ronggo Hadinegoro, sedang yang menjabat sebagai penghulu dan merangkap ketua masjid yaitu KY.R. Kamaludin, keturunan dari KY.R. Kasiman, penghulu Kabupaten Srengat, yang menggantikan Penghulu III KY.R. Kasan Soehodo yang diangkat sejak tanggal 31 Maret 1946 hingga tahun 1848.
Ketika itu, bupati menunjuk tanah bagian timur sebagai Bumi Kanjengan (Batas sebelah barat Jl. Masjid, sebelah timur Sungai Urung – Urung, sebelah selatan Jl. Merdeka – Jl. A. Yani, sebelah Utara Jl. Anjasmoro – Jl. Pahlawan bila dilihat ujud sekarang). Untuk tempat kediaman Kanjeng Bupati dan kegiatan dinas sehari-hari dibangun rumah dinas bupati lama (sekarang komplek pertokoan sebelah timur Gedung Dipayana yang pernah dipakai sebagai kantor CPM).
Sedangkan tanah sebelah barat bumi Kanjengan hingga Sungai Lahar, diserahkan pengaturannya kepada penghulu Blitar untuk bangunan masjid dan menempatkan etnis Arab di sebelah utara Masjid kearah barat. Dulu dikenal dengan nama Kampung Arab, selanjutnya setelah mengalami perkembangan menjadi nama Kauman. Melalui kegotongroyongan dan bantuan dana dari beberapa pihak, masjid dapat dibangun pada tahun itu juga (1848) dengan bahan kayu. Bahkan hingga sekarang sebagian besar bagian dalam masjid hingga kini masih mempertahankan bangunan aslinya.
“Menurut para sesepuh di sini, bangunan dalam yang kayu itu masih asli peninggalan jaman dulu. Pesennya para pendahulu katanya untuk tetep mempertahankan keaslian bangunan, terutama pilar-pilar kayu dan atapnya itu insyaallah masih asli, mungkin warnanya saja yang berubah, diplitur, dicat dan sebagainya,” jelas Izul.
Pada tahun 1890, Penghulu Blitar, yang saat itu dijabat oleh Ky. Imam Boerhan, mempunyai prakarsa untuk bangunan masjid yang berbahan kayu tersebut dengan bahan bata. Dengan persetujuan Bupati Blitar yang kala itu dijabat oleh R. Adipati Warso Koesoemo maka dimulailah tahap ke tiga pembangunan Masjid Agung Blitar. Pembangunan saat itu dilakukan secara bergotong royong. Umat Islam dari berbagai tempat di Blitar, baik di desa maupun di kota, setiap hari berdatangan untuk memberikan daya upayanya, baik moril maupun materi. Menurut catatan Penghulu Imam Boerhan, pembangunan tersebut dimulai pada hari Kamis Kliwon 12 Oktober 1890 M atau 20 Muharram 1303 H..
Pasca pembangunan 1890 masjid pernah mengalami beberapa renovasi dan penambahan unsur-unsurnya. Pada 1927 dibuat gapura dan setahun kemudian, 1928, dibangun menara di sebelah kanan (selatan) masjid. Dan pada 1933 masjid diperluas dengan penambahan serambi di kanan dan kirinya yang diarsiteki oleh KH. Muchsin Dawuhan yang masih kerabat Penghulu Imam Boerhan. Desain tersebut masih bertahan hingga kini, yang sekarang menjadi bagian dalam masjid. Tetapi gapura dan menaranya telah runtuh akibat gempa bumi yang terjadi di Blitar pada 20 Oktober 1958.
Selanjutnya pada tahun 1966 timbul pemikiran dari H. M. Bachri Pakunden, salah satu keturunan Ky. Imam Boerhan, untuk membangun kembali menara yang rusak. Keinginan tersebut baru dapat direalisasikan mulai 10 Agustus 1967 dengan pembentukan Biro Pembangunan Masjid Besar Kodya/Kabupaten Blitar dengan ketuanya Wali Kota Blitar R. Prawirokoesoemo.
Dalam pelaksanaannya, menara dibangun tidak lagi di tempat semula, tetapi di sebelah utara. Kemudian untuk memperluas daya tampung jamaah yang semakin meningkat sejak peristiwa 1965, dibangun pula serambi bertingkat yang diperkirakan akan dapat menampung hingga 5000 jamaah. Proses pembangunan tersebut dapat diselesaikan pada akhir 1971.
Hingga kini Masjid Agung kota Blitar ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya yang menyimpan sejarah peradaban Islam di kota dan Kabupaten Blitar. Beberapa kegiatan syiar Islam masih tetap terjaga hingga sekarang, diantaranya pengajian kuliah subuh tiap ba’dha salat subuh, pengajian Ahad Wage dan Ahad Kliwon tetap berlangsung hingga kini.(*)