Suksesi Berdarah di Pajang: Naiknya Arya Pangiri ke Takhta
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Nurlayla Ratri
29 - Jun - 2025, 08:17
JATIMTIMES - Kematian Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir), pendiri Kesultanan Pajang, membuka babak baru dalam sejarah politik Jawa abad ke-16. Sebuah babak yang tak hanya penuh intrik dan pertarungan kekuasaan, tetapi juga menandai titik balik pergeseran sentralitas kekuasaan dari pesisir ke pedalaman.
Ketika istana Pajang berduka, gejolak kekuasaan justru menggelegak di balik tembok-tembok keraton. Di tengah kepungan ambisi dan wasiat yang dibelokkan, seorang menantu Sultan, Adipati Demak yang bernama Arya Pangiri, merebut takhta. Namun, kemenangan itu dibayar mahal: dengan darah, pengkhianatan, dan kehancuran legitimasi.
Baca Juga : Musim Pancaroba Tiba, Yuk Kuatkan Imun Tubuh Agar Tidak Mudah Sakit
Artikel ini adalah upaya rekonstruksi historiografis atas proses naiknya Arya Pangiri ke tampuk kekuasaan Kesultanan Pajang pasca wafatnya Sultan Hadiwijaya, dengan membandingkan sumber-sumber klasik seperti Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha, serta menelaahnya dengan pisau analisis tajam ala Peter Carey: intertekstual, kritis terhadap sumber, dan meletakkan narasi dalam kerangka sosial-politik zamannya.
Wafat Sultan dan Pecahnya Konsensus Istana
Kabar duka menyelimuti Pajang ketika Sultan Hadiwijaya wafat dan dimakamkan di Butuh, Sragen. Wafatnya sang raja memaksa para bupati, bangsawan, dan pemuka agama untuk berkumpul dan menentukan siapa penerus takhta.
Dalam forum istana yang rapuh oleh ambisi, dua kandidat utama mengemuka: Pangeran Benawa, putra kandung Sultan, dan Adipati Demak, menantu Sultan yang tak lain adalah Arya Pangiri, anak dari Sunan Prawata yang dibunuh oleh Arya Penangsang pada 1549.
Babad Tanah Djawi (Meinsma, hlm. 93–94) melaporkan bahwa sebagian besar elite lokal mendukung Benawa, namun suara keras datang dari tokoh agama kharismatik: Sunan Kudus. Mengabaikan suara kolektif, Sunan Kudus menetapkan Arya Pangiri sebagai Raja Pajang dan memberikan Jipang kepada Benawa.
Keputusan ini menandai dominasi sementara kelompok pesisir yang masih menyimpan ambisi untuk mengembalikan kejayaan Demak melalui jalur pernikahan politik.
Serat Kandha mempertegas posisi hegemonik Sunan Kudus yang bertindak unilateral atas nama kekuasaan spiritual. Ia mengumumkan keputusannya di hadapan rakyat, lalu menghilang ke Kudus, menciptakan kekosongan institusional dan meninggalkan konflik laten...