Sejarah Imlek, Perayaan Tahun Baru China yang Istilahnya Hanya Ada di Indonesia
Reporter
Binti Nikmatur
Editor
Nurlayla Ratri
28 - Jan - 2025, 08:13
JATIMTIMES - Tahukah kamu, istilah "Imlek" yang digunakan untuk merujuk pada Tahun Baru China ternyata hanya ada di Indonesia? Di China sendiri, perayaan ini memiliki sebutan lain dan tidak dikenal sebagai Imlek. Bagaimana bisa istilah ini hanya ada di Indonesia? Jawabannya ternyata melibatkan sejarah, budaya, hingga politik.
Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, segala hal yang berbau China—termasuk budaya, bahasa, hingga perayaan Tahun Baru China—dilarang keras. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh sikap antikomunis Soeharto yang melihat kebebasan budaya Tionghoa sebagai ancaman terhadap ideologi Pancasila.
Larangan tersebut dituangkan dalam Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Aturan ini membatasi ruang ekspresi budaya Tionghoa, mulai dari penggunaan bahasa Mandarin, lagu-lagu, hingga perayaan besar seperti Tahun Baru China.
Seiring waktu, pemerintah Orde Baru mengganti nama perayaan Tahun Baru China menjadi "Imlek." Istilah ini berasal dari dialek Hokkien, dengan kata im (阴) yang berarti bulan, dan lek (历) yang berarti kalender. Secara harfiah, Imlek dapat diartikan sebagai "kalender bulan." Istilah ini akhirnya melekat sebagai sebutan khas di Indonesia.
Selama masa Orde Baru, masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak dapat merayakan Tahun Baru China secara bebas. Jika ingin tetap memperingatinya, mereka harus melakukannya secara diam-diam dan tanpa fasilitas hari libur seperti sekarang. Diskriminasi ini membuat ruang ekspresi budaya Tionghoa sangat terbatas.
Seperti yang dijelaskan oleh Siew-Min Sai dan Chang-Yau Hoon dalam buku Chinese Indonesians Reassessed (2013), perayaan ini di China dikenal dengan istilah Sin Cia, yang diambil dari bahasa Mandarin. Namun, karena kebijakan pemerintah saat itu, istilah Sin Cia digantikan dengan Imlek, yang lebih netral dan diterima dalam konteks budaya Indonesia.
Segala bentuk diskriminasi terhadap etnis Tionghoa akhirnya mulai dicabut setelah runtuhnya Orde Baru. Pada masa awal reformasi, Presiden B.J. Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menghapus aturan-aturan diskriminatif tersebut.
Gus Dur, khususnya, berperan besar dalam mengembalikan kebebasan masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan budaya mereka. Perayaan Imlek kembali dirayakan secara terbuka dan bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Meski aturan diskriminasi sudah dihapus, dampaknya tidak hilang begitu saja. Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia masih terasa hingga kini, baik dalam bentuk stereotip maupun perlakuan tertentu. Namun, istilah "Imlek" tetap menjadi simbol unik dari sejarah panjang perjalanan etnis Tionghoa di Indonesia...