Pertemuan Jatisari 1755: Ketika Budaya Jawa Terbelah Dua
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Nurlayla Ratri
14 - Dec - 2024, 04:14
JATIMTIMES- Pada awal tahun 1755, satu peristiwa penting dalam sejarah politik Jawa terjadi. Peristiwa itu menggambarkan ketegangan, perundingan, dan ambisi kekuasaan yang saling bertentangan.
Perjanjian Giyanti, yang diteken pada tanggal 13 Februari 1755, tidak hanya menandai pembagian wilayah kekuasaan antara dua penguasa besar, Sultan Mangkubumi dan Susuhunan Pakubuwana III. Peristiwa ini juga menjadi tonggak penting dalam pengaruh Belanda di Jawa.
Baca Juga : Trend Positif Transaksi Penggunaan QRIS di Wilker BI Malang Oktober 2024 Bertumbuh Pesat
Di balik peristiwa besar ini, pertemuan di Jatisari, pada dua hari setelah perjanjian itu, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses penataan ulang kekuasaan tersebut. Merangkum dari berbagai sumber, berikut kilas baliknya.
Awal Perundingan di Giyanti
Perjalanan perundingan ini bermula dari keputusan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) yang berusaha meredakan ketegangan antara Mangkubumi, yang baru saja memisahkan diri dari Surakarta, dan Pakubuwana III, penguasa yang sah di mata VOC. Pada akhir Januari 1755, seorang utusan Belanda, Nicolaas Hartingh, berangkat dari Semarang menuju Giyanti, ibu kota sementara yang baru didirikan oleh Mangkubumi. Dalam perjalanan, Hartingh singgah di Surakarta, tempat Pakubuwana III menyatakan persetujuannya untuk membagi kekuasaannya dengan Mangkubumi.
VOC, yang selalu berusaha menjaga stabilitas dan kontrol di Jawa, memutuskan bahwa separuh kekuasaan Surakarta akan diserahkan kepada Mangkubumi, yang pada akhirnya akan mendirikan kesultanan baru. Sebagai bagian dari perjanjian, VOC setuju untuk memberikan 20.000 real setiap tahunnya untuk kontrol yang lebih besar terhadap kesultanan baru ini.
Namun, pada 9 Februari 1755, perundingan antara Hartingh dan Mangkubumi yang hanya dihadiri oleh beberapa orang, termasuk seorang penerjemah dan Natakusuma, Patih Mangkubumi, menjadi lebih kompleks. Mangkubumi menolak beberapa ketetapan dalam draf awal perjanjian, khususnya yang membatasi kuasanya atas para bawahannya. Terjadilah diskusi intens yang mengarah pada revisi ketentuan perjanjian, mencerminkan sikap pragmatis dan tegas Mangkubumi dalam mengelola kerajaan barunya...