Sultan Hamengkubuwono VI: Pemimpin Berwibawa di Tengah Gempa Sejarah
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Dede Nana
09 - Oct - 2024, 03:50
JATIMTIMES - Pada tahun 2024, Kota Yogyakarta merayakan usianya yang ke-268 tahun. Kota ini lahir dari perjalanan panjang sejarah, yang ditandai dengan pendirian pada tahun 1756 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I setelah Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini tidak hanya membelah Mataram Islam menjadi dua, tetapi juga membentuk Kesultanan Yogyakarta yang kemudian menjadi pusat kebudayaan Jawa.
Pada tanggal 7 Oktober, Yogyakarta memperingati ulang tahunnya dengan penuh kebanggaan, mengingat setiap Sultan yang pernah memimpin. Salah satu sosok penting dalam sejarah kerajaan ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono VI, pemimpin yang menghadapi tantangan besar dan memberikan warisan berharga bagi keraton dan rakyat Yogyakarta.
Baca Juga : Baim Wong Gugat Cerai Paula Verhoeven, Buya Yahya Ungkap Cara Berpisah yang Baik dalam Islam
Sri Sultan Hamengkubuwono VI dilahirkan pada tanggal 10 Agustus 1821 dengan nama Gusti Raden Mas (GRM) Mustojo, putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono IV dan permaisurinya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kencono. Sejak kecil, GRM Mustojo telah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin. Ketika berusia 18 tahun, pada tahun 1839, ia berganti nama menjadi Pangeran Adipati Mangkubumi, mengikuti jejak leluhurnya yang termasyhur.
Pada tahun 1839 pula, ia memperoleh pangkat Letnan Kolonel dari pemerintah Hindia Belanda, sebagai tanda pengakuan atas posisinya yang penting di dalam kerajaan. Namun, di balik pemberian pangkat tersebut, tersirat kepentingan Belanda untuk mempertahankan pengaruhnya di Kesultanan Yogyakarta. Karier militernya berkembang pesat, dan pada tahun 1847 ia memperoleh kenaikan pangkat menjadi Kolonel, memperkuat posisinya sebagai salah satu pemimpin terdepan di Yogyakarta.
Setelah kematian kakaknya, Sri Sultan Hamengkubuwono V, yang wafat tanpa meninggalkan putra pewaris, Pangeran Adipati Mangkubumi diangkat sebagai Sultan. Penobatan beliau sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VI terjadi pada tanggal 5 Juli 1855. Penobatan ini menandai dimulainya pemerintahan yang penuh dinamika di bawah sosok pemimpin yang dikenal kuat dalam berstrategi dan diplomasi.
Menginjak usia 27 tahun, Sultan menikah dengan Gusti Kanjeng Ratu Kencono, putri dari Susuhunan Paku Buwono VIII dari Surakarta. Pernikahan ini memiliki makna penting bagi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, dua kerajaan yang kerap bersaing sejak terjadinya Perjanjian Giyanti...