Warok: Ikon Budaya Ponorogo dengan Sejarah Pemberontakan dan Tradisi Gemblak
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Nurlayla Ratri
04 - Nov - 2023, 07:07
JATIMTIMES- Ponorogo, sebuah kabupaten di Jawa Timur, terkenal dengan salah satu seni pertunjukan yang sangat khas, yaitu tarian reog. Namun, di setiap pertunjukan reog Ponorogo, seorang tokoh yang menjadi ikon muncul di antara para penari dan penonton yakni Warok.
Warok, atau sering disebut sebagai warokan, adalah karakter yang sering kali kita lihat dalam pertunjukan reog.
Baca Juga : Unik, Pasutri Pimpin Kirab Tumpeng Maulid 2 Desa di Jember
Warok memiliki penampilan yang sangat mencolok. Mereka sering mengenakan pakaian serba hitam, dengan baju potong gulon, celana panjang hitam yang lebar, dan kain bebet (batik dengan latar belakang hitam) yang membungkus kepala mereka. Salah satu ciri khas Warok yang sangat mencolok adalah tali kolor (usus-usus) yang panjang dan besar, menjulur dari pinggang hingga mencapai kaki.
Kisah Warok tidak hanya sebatas penampilan dan seni pertunjukan. Sejarah Warok dimulai pada abad ke-15, ketika wilayah yang sekarang dikenal sebagai Ponorogo masuk di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, Kademangan Wengker, yang merupakan cikal bakal Kota Ponorogo, adalah bagian dari wilayah yang diperintah oleh Majapahit di bawah penguasa agung, Prabu Brawijaya V.
Wengker dipimpin oleh seorang demang yang sangat kuat bernama Ki Ageng Suryongalam, atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Kutu karena tinggal di desa Kutu Jetis. Sebagai wilayah bawahan, Wengker diharuskan untuk membayar pajak atau upeti kepada Majapahit sebagai tanda ketaatan. Namun, Ki Demang Ageng Kutu, yang dikenal sebagai pembelot, menolak untuk membayar upeti selama beberapa tahun.
Ketidaktertiban ini membuat sang raja Majapahit geram, dan ia memerintahkan putranya, Pangeran Lembu Kanigoro, untuk menemui Ki Demang Ageng Kutu dan memaksa agar upeti dibayar. Pangeran Lembu Kanigoro memulai perjalanannya ke Wengker. Selama perjalanan, ia singgah ke rumah kakaknya, Raden Patah, yang juga dikenal sebagai Sultan Demak.
Di sana, Pangeran Lembu Kanigoro belajar berbagai ilmu, termasuk taktik perang dan agama Islam. Lebih dari itu, ia memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Bethoro Katong atau Raden Katong. Setelah menyelesaikan tahap pendidikan ini, Raden Katong melanjutkan perjalanannya ke Wengker dengan seorang abdi setianya yang bernama Selo Aji.
Setelah tiba di Wengker, Raden Katong bertemu dengan seorang Muslim taat bernama Ki Ageng Mirah. Raden Katong menyusun strategi untuk bertemu dengan Ki Ageng Kutu secara damai...