Punya Anak Autis Dorong Seorang Ibu Dirikan Sekolah Inklusi
Reporter
Moh. Ali Mahrus
Editor
Yunan Helmy
05 - Mar - 2021, 03:25
JEMBERTIMES – Banyak ibu yang mendambakan memiliki buah hati dengan kondisi normal dan cerdas. Hal ini pula yang diinginkan Adenovita Bantilan, perempuan kelahiran Yogyakarta yang tinggal di Jalan Letjend Suprapto CVIII No .4 Kelurahan Kebonsari, Sumbersari, Jember. Dia merasa bahagia saat dikaruniai anak perempuan yang cantik dan imut pada tahun 2008 atau 13 tahun silam.
Namun ujian datang ketika anak perempuannya berusia 18 bulan. Sang bayi didiagnosis menyandang autisme. Perasaan bingung dan tak menentu menghantui Adenovita.
Baca Juga : Bupati Baddrut Tamam Ingin Muncul Anak-Anak Muda Hebat di Pamekasan
“Saya sempat bingung dan hampir putus asa melihat kenyataan ini. Namun saya bertekad dan memiliki keyakinan bahwa anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga dan terpenuhi hak-haknya,” kata Bunda Ade panggilan Adenovita Bantilan.
Ia yang kala itu baru diangkat jadi PNS dengan gaji 600 ribu bertekad dan berinisiatif mendatangkan terapis lulusan Okupasi Terapi dan Fidioterapi Politeknik Solo. “Saat itu di Jember masih belum ada sekolah khusus anak autis (inklusi) sehingga kami mendatangkan terapis menggunakan modal sendiri dan dukungan orang tua,” tuturnya.
Saat itulah, Ade mulai berpikir bagaimana dengan orang tua yang senasib dengan dirinya dan memiliki anak autis tapi terkendala biaya? Perempuan lulusan magister manajemen Universitas Islam Indoniesia (UII) Yogyakarta ini pun bertekad mengabdikan hidupnya untuk membantu orang tua yang bernasib sama dengan dirinya.
Sehingga pada saat anaknya berusia 7 tahun atau tepatnya tahun 2015, Ade bertekad mendirikan Yayasan Matahariku. Yayasan itu menaungi lembaga pendidikan inklusi yang diberi nama Star Kids untuk menampung anak-anak berkebutuhan khusus di rumahnya.
Saat awal Star Kids berdiri, jumlah siswanya masih belum begitu banyak. Namun tidak butuh waktu lama, pendidikan inklusi yang didirikan pun berkembang dan memiliki 40 murid berkebutuhan khusus dengan didampingi 25 guru yang teruji. "Satu guru menangani dua murid,” bebernya.
Mengenai biaya operasional, Ade pun menerapkan sistem subsidi silang. Warga yang tidak mampu digratiskan dan warga yang mampu dikenakan biaya SPP bulanan. “Untuk biaya operasional, kami menggunakan subsidi silang. Yang tidak mampu kami gratiskan dan yang mampu kami kenakan SPP,” ujarnya.
Tidak sampai di sini. Tekad dan semangat Bunda Ade untuk berbagi dan peduli terhadap sesama terus berkobar...