JATIMTIMES - Sidang perkara dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang melibatkan tiga terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Malang kembali memanas. Dalam sidang lanjutan yang digelar Senin (14/7/2025), Jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan saksi ahli hukum pidana dan perwakilan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur yang memberikan keterangan mengejutkan.
Tak hanya itu. JPU juga menghadirkan dua saksi fakta penting, yakni Rayik Purwadi (suami terdakwa Hermin) dan Ida Pramono (rekan dari salah satu calon pekerja migran Indonesia/CPMI bernama Hanifah).
Baca Juga : Mayat Pria Berkaus Bantengan Ditemukan Tertimbun Sampah di Sungai Sumberpakel
Menurut JPU Mohamad Heryanto, semua saksi memberikan keterangan yang memperkuat dakwaan terhadap terdakwa Hermin, Dian Permana, dan Alti alias Ade. Salah satu poin krusial, izin operasional PT NSP Cabang Malang baru efektif berlaku pada 15 November 2024.
“Artinya, perekrutan CPMI sebelum tanggal tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sah,” terang Heryanto kepada awak media usai persidangan.
Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Noor Rahayu Agustinawati, perwakilan Disnaker Jatim, yang menegaskan pentingnya legalitas bagi perusahaan pengelola tenaga kerja migran. “Kalau belum mengantongi izin, otomatis semua aktivitas rekrutmen bertentangan dengan hukum,” ujarnya.
Sementara itu, saksi ahli pidana dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dr Lucky Endrawati menjelaskan bahwa pelanggaran administratif yang mengakibatkan kerugian terhadap calon pekerja migran bisa masuk dalam unsur TPPO. Apalagi jika ditemukan unsur perekrutan, penampungan, hingga penempatan tanpa mekanisme resmi.
“Kalau ada unsur perekrutan dan pemindahan CPMI secara tidak sah, apalagi sampai tidak diberi makan atau disalurkan ke PT lain, itu bisa dianggap sebagai bentuk eksploitasi terselubung,” tegas Lucky.
Persidangan juga terus dikawal ketat oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Perwakilan SBMI, Dina Nuryati, menyebut bahwa substansi TPPO tidak bisa dianggap remeh. “Ini bukan hanya soal izin administrasi, tapi menyangkut harga diri manusia. Kalau mereka direkrut lalu dipindahkan tanpa perlindungan, itu bentuk nyata eksploitasi,” tandasnya.
Dina menegaskan bahwa praktik semacam ini bisa menghancurkan masa depan para CPMI. “Kalau mau benahi sistem, jangan hanya legalitas yang dibahas. Buat pelatihan yang manusiawi, satu nyawa CPMI itu sangat berharga,” imbuhnya.
Baca Juga : BSU Batch 4 Kapan Cair? Ini Update Jadwalnya
Di sisi lain, kuasa hukum para terdakwa, Amri Abdi Bahtiar Putra, tetap bersikukuh bahwa kliennya hanya menjalankan tugas sebagai tenaga pemasaran dan seluruh proses dilakukan berdasarkan job order dari kantor pusat PT NSP.
“Tidak ada niatan untuk mengeksploitasi. Klien kami hanya menjalankan perintah perusahaan,” ujarnya membela.
Untuk diketahui, ketiga terdakwa saat ini dijerat Pasal 2, Pasal 4, dan/atau Pasal 10 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, serta Pasal 81 jo Pasal 69 dan/atau Pasal 85 jo Pasal 71 UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Total 40 saksi lebih direncanakan akan dihadirkan selama proses persidangan.
Sidang lanjutan akan kembali digelar pada Senin (21/7/2025) dengan agenda pemeriksaan tambahan saksi dan ahli.