JATIMTIMES - Ada yang berbeda dari malam itu di Desa Wisata Pujon Kidul. Langit yang biasanya sunyi, diterangi cahaya lilin dan denting karawitan yang mengalun pelan. Di tengah sawah yang luas, sekelompok orang duduk mengelilingi meja panjang dari kayu, mengenakan udeng dan selendang tradisional. Bukan pesta mewah, bukan pula pesta besar. Ini adalah Wedhangan. Sebuah acara makan malam sederhana yang diam-diam menyimpan banyak cerita.
Dibuat oleh kelompok mahasiswa ORION dari Universitas Muhammadiyah Malang bersama dengan Cafe Sawah. Wedhangan lahir bukan sekadar sebagai tugas kuliah. Ia tumbuh dari keresahan sederhana. Seperti “Mengapa yang tradisional terasa makin jauh?” Dari situ, lahirlah ide untuk menghadirkan kembali suasana Malang Tempo Dulu, bukan dalam bentuk museum, tapi lewat makanan, interaksi, dan atmosfer.
Baca Juga : Pimpin Apel Pagi,Mbak Wali Ajak Tingkatkan Mutu Layanan Pendidikan dan Kawasan Permukiman
Sore dimulai dengan sapaan ramah dari panitia. Tidak ada sambutan resmi atau seremoni panjang. Hanya undangan untuk menikmati sore bersama, berkeliling sawah dengan caddy car, dan menonton penampilan seni tari bapang dan pencak silat yang mungkin sudah lama tidak kita temui. Ditemani dengan cenil dan dawet yang dapat disantap secara prasmanan.
Namun inti dari Wedhangan sendiri bukan hanya soal sajian atau hiburan, melainkan tentang perasaan. Ketika malam turun dan lampu padam, lilin dinyalakan satu per satu, menciptakan keintiman yang jarang ditemukan di kota. Musik gamelan tidak sekadar menjadi latar, melainkan bagian dari suasana. Dan ketika makanan dari lumpia, nasi jagung, ayam bakar, sampai angsle hangat mulai disajikan, semua terasa seperti bagian dari rumah yang lama tidak dikunjungi.
Tidak ada yang terburu-buru. Makan malam di Wedhangan adalah waktu untuk diam, untuk menikmati, dan untuk mengingat. Mungkin mengingat masa kecil saat ibu memasak sayur bobor, atau sekadar mengenang aroma dapur masa lalu. Semua itu hadir kembali di satu meja makan, di tengah sawah, dengan cahaya lilin dan suara jangkrik sebagai pengiring.
Bagi panitia, Wedhangan bukan sekadar keberhasilan teknis. Ini adalah wujud cinta pada hal-hal yang sering dianggap remeh. Bahwa ternyata, makan malam sederhana bisa membawa kita kembali ke akar. Bahwa di antara gedung tinggi dan tren yang berubah cepat, ada rasa yang tetap abadi.
Baca Juga : Ini Kesalahan yang Bikin Kontur Hidung Tidak Natural
Acara diakhiri dengan kembang api kecil dan pemberian souvenir. Tapi malam itu tidak berakhir di sana. Bagi banyak yang hadir, cerita tentang Wedhangan akan tinggal lebih lama. Bukan hanya karena makanannya enak, tapi karena suasananya jujur, hangat, dan yang paling penting, membuat kita merasa dekat, pada yang pernah ada.