JATIMTIMES - Meskipun berada jauh dari tanah air, bulan Ramadan tetap terasa khusyuk bagi umat Muslim Indonesia yang berada di luar negeri. Salah satunya bagi Prof Suyoto, seorang dosen asal Indonesia yang mengajar di Kanda University of International Studies, Jepang.
Menurut Prof Suyoto, meski suasana Ramadan di Jepang tidak semeriah di Indonesia, komunitas Muslim di sana tetap merasakan keberkahan bulan suci ini melalui berbagai kegiatan sosial dan keagamaan yang terjalin erat antarumat Muslim.
Baca Juga : Momentum Ramadan, KAI Daop 8 Surabaya Ubah Tampilan Gerbong dengan Livery Artistik
Prof Suyoto menjelaskan bahwa suasana Ramadan di Jepang jauh berbeda dengan di Indonesia. Di Indonesia, hampir setiap waktu terdengar lantunan ayat-ayat Al-Quran dan panggilan azan dari pengeras suara luar ruangan. Namun, di Jepang, ada peraturan yang membatasi penggunaan pengeras suara luar ruangan untuk azan atau pengumuman keagamaan lainnya. Meskipun demikian, suasana Ramadan tetap terasa bagi komunitas Muslim yang tinggal di Jepang, terutama di Kota Chiba tempat Prof Suyoto tinggal.
Di Chiba, tersedia takjil gratis setiap hari untuk berbuka puasa yang disediakan oleh Komunitas Masyarakat Islam Indonesia (KMII). Meski begitu, untuk memastikan jumlah porsi takjil yang sesuai dengan kapasitas donasi, masyarakat diwajibkan melakukan pendaftaran terlebih dahulu. “Setiap hari ada sekitar 200 porsi takjil gratis. Yang penting, kita mendaftar terlebih dahulu karena ada kuota yang harus disesuaikan,” ujar Prof Suyoto saat ditemui di STIE Malangkucecwara, Selasa, (11/3/2025).
Lebih lanjut, Prof Suyoto juga menjelaskan, keberadaan masjid di Jepang juga terus berkembang. Hal ini berkat kolaborasi antara berbagai organisasi Muslim, termasuk Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Prof Suyoto menyebutkan bahwa komunitas Muslim Indonesia di Jepang semakin solid dengan membentuk KMII yang memungkinkan penggunaan masjid secara bersama-sama tanpa adanya klaim organisasi tertentu.
“Kami bersyukur karena semakin banyak masjid yang berdiri di Jepang. Komunitas Muslim Indonesia, baik dari Muhammadiyah maupun NU, bersatu untuk mengembangkan syiar Islam di sana,” ujarnya.
Selain itu, pendidikan Islam mulai berkembang pesat. Salah satu contohnya inisiatif pendirian lembaga pendidikan Islam yang dimotori oleh Ustaz Adi Hidayat. Bahkan, komunitas Muslim Indonesia berencana membangun pondok pesantren pertama di Jepang yang berlokasi di Ibaraki, sebuah langkah besar dalam memperkenalkan pendidikan Islam di Jepang.
Seiring berjalannya waktu, dijelaskan Suyoto, komunitas Muslim di Jepang semakin diterima oleh masyarakat setempat. Restoran dan perusahaan kini mulai membuka diri terhadap pekerja Muslim, termasuk mereka yang mengenakan jilbab.
Baca Juga : Lengkapi Data Sosial Ekonomi Warga Kota Kediri, Puluhan Petugas Terjun Lapangan Lakukan Ground Check
“Sekarang tidak ada lagi kendala. Masyarakat Jepang semakin welcome terhadap komunitas Muslim. Beberapa perusahaan dan restoran bahkan sudah bisa menerima pekerja yang berhijab,” ungkap Prof Suyoto.
Salah satu pencapaian penting yang tak kalah menarik adalah pendirian pemakaman khusus Muslim di Ibaraki, Jepang. Pemakaman ini mampu menampung hingga 680 makam, yang merupakan terobosan besar bagi komunitas Muslim di Jepang. Mengingat budaya pemakaman di Jepang umumnya adalah kremasi, pendirian pemakaman ini memberikan kenyamanan bagi umat Muslim yang ingin dimakamkan sesuai dengan syariat Islam.
Pemakaman khusus Muslim ini dikelola oleh komunitas Muslim Jepang dan dikordinasikan oleh Ustaz Sugimoto, seorang mualaf asal Jepang. Proyek ini muncul sebagai solusi atas mahalnya biaya pengiriman jenazah ke Indonesia dan prosedur administrasi yang rumit.
“Ibaraki dipilih karena harga tanahnya lebih murah dibandingkan Tokyo. Kini, jika ada Muslim yang meninggal dunia di Jepang, mereka bisa dimakamkan di sini,” pungkas Prof Suyoto.