JATIMTIMES - Dalam sejarah Islam di Nusantara, dakwah Wali Songo menjadi bagian dari transformasi besar yang mengubah struktur sosial dan keagamaan masyarakat Jawa pada akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Di antara para wali tersebut, nama Raden Ja’far Shadiq—lebih dikenal sebagai Sunan Kudus—menyimpan jejak dakwah yang khas, memadukan kearifan lokal dengan ajaran Islam secara harmonis.
Dakwah Sunan Kudus tidak hanya mencakup penyebaran ajaran Islam melalui lisan, melainkan juga melalui kebudayaan, seni, teknologi, dan bahkan hukum. Ia dikenal sebagai wali yang memiliki keahlian dalam bidang pertukangan serta pembentukan tatanan sosial yang lebih sistematis.
Baca Juga : 5 Makanan Sahur yang Bikin Kenyang Lebih Lama Saat Puasa
Tak hanya itu. Keterlibatannya dalam dinamika politik Kesultanan Demak menempatkannya sebagai sosok yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan Islam di Jawa.
Artikel ini akan mengupas metode dakwah Sunan Kudus, dari pendekatan budaya hingga peran strategisnya dalam peristiwa-peristiwa politik penting pada masanya.
Dakwah dengan Kearifan Lokal: Sinkretisme dalam Arsitektur dan Tradisi
Seperti halnya para wali lainnya, Sunan Kudus menerapkan prinsip dakwah yang sesuai dengan firman Allah dalam Surah An-Nahl ayat 125:
"Hendaknya engkau mengajak orang ke jalan Allah dengan hikmah, dengan peringatan yang ramah-tamah serta bertukar pikiran dengan mereka melalui cara yang sebaik-baiknya."
Pendekatan ini diwujudkan dalam metode yang akomodatif terhadap budaya lokal. Salah satu jejak dakwah Sunan Kudus yang masih dapat disaksikan hingga kini adalah arsitektur Masjid Menara Kudus. Masjid ini, dengan menaranya yang menyerupai candi, merupakan bukti nyata asimilasi antara unsur Islam dan budaya Hindu-Jawa.
Bangunan tersebut menunjukkan adanya pemahaman mendalam Sunan Kudus terhadap psikologi masyarakat Jawa yang kala itu masih kuat dalam tradisi Hindu-Buddha. Dengan merangkul unsur budaya lokal, Islam dapat diterima tanpa menimbulkan resistensi yang berarti. Menara Masjid Kudus konon dibangun menggunakan batu bata merah dengan teknik sambungan tanpa semen, mirip dengan konstruksi candi pada masa Majapahit.
Selain masjid, rumah-rumah adat Kudus yang memiliki ornamen dan pola konstruksi khas juga diduga kuat mendapat pengaruh dari inovasi teknologi yang dikembangkan Sunan Kudus. Ia dikenal sebagai sosok yang menyempurnakan alat-alat pertukangan, seperti perkakas pandai besi dan pembuatan keris, serta menerapkan aturan hukum yang lebih sistematis bagi masyarakat Jawa kala itu.
Pelarangan Penyembelihan Sapi: Taktik Dakwah yang Cerdas
Salah satu kebijakan dakwah Sunan Kudus yang paling terkenal adalah larangan menyembelih sapi di wilayah Kudus. Larangan ini bukan sekadar mitos, melainkan strategi dakwah yang penuh kebijaksanaan.
Kudus pada masa itu dihuni oleh banyak penganut Hindu yang memuliakan sapi sebagai hewan suci. Sunan Kudus, dalam rangka membangun hubungan harmonis dengan masyarakat setempat, memutuskan untuk tidak mengorbankan sapi dalam perayaan Idul Adha. Sebagai gantinya, ia menganjurkan masyarakat untuk menyembelih kerbau.
Legenda setempat menyebutkan bahwa Sunan Kudus pernah tersesat di hutan hingga akhirnya menemukan jalan keluar setelah mengikuti kawanan sapi. Sebagai bentuk terima kasih, ia kemudian mengajarkan masyarakat untuk menghormati hewan tersebut. Hingga kini, larangan menyembelih sapi masih berlaku di Kudus, menjadi bukti kuat bagaimana strategi dakwah Sunan Kudus mampu meninggalkan jejak panjang dalam kehidupan masyarakat.
Sunan Kudus dalam Dinamika Politik Islam di Jawa
Baca Juga : Di MAN 2 Kota Malang, Dirjen Pendis Dorong Madrasah Perkuat Branding
Dakwah Sunan Kudus tidak hanya berlangsung dalam ranah kebudayaan dan sosial, tetapi juga merambah ke dalam dinamika politik kerajaan Islam di Jawa. Ia terlibat dalam sejumlah peristiwa besar yang menentukan arah perkembangan Islam, terutama dalam hubungannya dengan Kesultanan Demak.
Sebagai putra Sunan Ngudung, panglima perang Demak yang gugur dalam pertempuran melawan sisa kekuatan Majapahit di Kediri, Sunan Kudus mewarisi semangat perjuangan ayahnya. Ia turut serta dalam ekspedisi militer yang dipimpin Sultan Trenggana untuk menumpas sisa-sisa perlawanan Majapahit. Kemenangan Demak dalam ekspedisi ini memperkuat pengaruh Islam di wilayah yang sebelumnya dikuasai Majapahit. Keterlibatan Sunan Kudus dalam pertempuran ini menunjukkan bahwa dakwah Islam pada masa itu tidak hanya dilakukan secara damai, tetapi juga melalui jalur militer ketika dianggap perlu.
Selain keterlibatannya dalam ekspansi militer, Sunan Kudus juga terlibat dalam salah satu peristiwa paling kontroversial dalam sejarah Islam di Jawa, yaitu eksekusi Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar merupakan seorang tokoh sufi yang ajarannya dianggap bertentangan dengan doktrin Islam yang diajarkan Wali Songo. Sunan Kudus disebut-sebut sebagai salah satu wali yang mendukung keputusan eksekusi terhadap Syekh Siti Jenar karena ajarannya dinilai dapat menggoyahkan otoritas ulama dan kesultanan.
Selain itu, ia juga berperan dalam penumpasan pemberontakan Ki Ageng Pengging, murid Syekh Siti Jenar yang dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas Kesultanan Demak. Peran ini menegaskan bahwa Sunan Kudus tidak hanya berperan sebagai ulama, tetapi juga sebagai penjaga kestabilan politik Islam di Jawa.
Setelah wafatnya Sultan Trenggana, perebutan kekuasaan di Demak semakin memanas. Konflik terjadi antara Pangeran Seda Ing Lepen, adik Sultan Trenggana, dan Arya Penangsang, adipati Jipang yang juga merupakan murid setia Sunan Kudus. Sunan Kudus dikisahkan berpihak kepada Arya Penangsang dalam persaingan ini. Konflik tersebut mencapai puncaknya ketika Pangeran Seda Ing Lepen terbunuh, memicu peperangan antara Arya Penangsang dan Jaka Tingkir (Hadiwijaya), penguasa Pajang. Kekalahan Arya Penangsang menandai berakhirnya pengaruh Sunan Kudus dalam politik Demak dan membuka jalan bagi Pajang sebagai penerus kekuasaan Islam di Jawa.
Warisan Sunan Kudus dalam Islam Nusantara
Sunan Kudus bukan sekadar seorang wali yang menyebarkan Islam melalui dakwah lisan. Ia adalah seorang inovator, negarawan, dan peletak dasar bagi harmoni antara Islam dan budaya lokal. Keahliannya dalam teknologi pertukangan memperkaya kehidupan masyarakat Kudus, sementara kebijakan hukumnya memberikan fondasi bagi tatanan sosial yang lebih sistematis.
Strategi dakwahnya yang cerdas, seperti larangan penyembelihan sapi, mencerminkan pemahaman mendalam terhadap kultur setempat, sehingga Islam dapat diterima tanpa perlawanan. Sementara itu, keterlibatannya dalam politik Islam di Jawa menunjukkan bahwa peran para wali tidak hanya terbatas pada aspek spiritual, tetapi juga dalam menjaga kestabilan sosial dan politik.
Hingga kini, jejak dakwah Sunan Kudus tetap hidup dalam arsitektur, tradisi, dan budaya masyarakat Kudus. Kisahnya menjadi bukti bahwa penyebaran Islam di Nusantara tidak terjadi melalui paksaan, melainkan dengan pendekatan yang penuh kebijaksanaan dan akulturasi budaya.
Sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam di Jawa, Sunan Kudus meninggalkan warisan yang terus dikenang, baik dalam bentuk fisik seperti Masjid Menara Kudus maupun dalam tradisi yang masih dijaga oleh masyarakat hingga hari ini.