JATIMTIMES- Pada malam bersejarah, 14 Februari 2025, ribuan warga Blitar memenuhi Halaman Plaza Museum PETA. Dari berbagai penjuru, mereka datang, bukan sekadar untuk menyaksikan pertunjukan, tetapi untuk menyelami kembali jejak sejarah yang telah tertulis dengan darah dan pengorbanan.
Di bawah langit yang pekat, suara genderang perang menggelegar, mengiringi para aktor yang memainkan lakon tentang pemberontakan PETA, sebuah momen heroik yang mengawali babak akhir kekuasaan Jepang di tanah Jawa.
Baca Juga : Jangan Lewatkan, Halal Center UIN Malang Gelar Pelatihan dan Open Rekrutmen PPH Batch II
Ini bukan sekadar pementasan, melainkan sebuah upaya menghidupkan kembali perlawanan yang dikobarkan oleh Sudanco Supriyadi dan pasukannya. Kota Blitar, tempat di mana sejarah itu terukir, kini menjadi panggung besar yang membangkitkan ingatan kolektif bangsa.
14 Februari: Meneguhkan Sejarah sebagai Hari Cinta Tanah Air
Tahun ini, Pemerintah Kota Blitar tidak sekadar menghadirkan drama kolosal. Wali Kota Blitar, Santoso, bersama jajaran Forkopimda menandatangani deklarasi yang menetapkan 14 Februari sebagai Hari Cinta Tanah Air.
"Drama kolosal ini bukan hanya peringatan, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap perjuangan PETA yang seharusnya tidak tenggelam dalam gelombang zaman. Kami telah mengusulkan kepada pemerintah pusat agar tanggal 14 Februari tidak lagi hanya dipandang sebagai Valentine’s Day, tetapi sebagai Hari Cinta Tanah Air," ujar Santoso dalam sambutannya.
Deklarasi ini menjadi pernyataan tegas bahwa sejarah tidak boleh dilupakan. PETA Blitar bukan sekadar legenda, tetapi sebuah kenyataan pahit yang menggugah kesadaran akan pentingnya patriotisme dan nasionalisme.
Pemberontakan PETA Blitar: Api Perlawanan yang Membakar Zaman
Sejarah mencatat, pada 14 Februari 1945, 500 tentara PETA di Blitar mengangkat senjata melawan kekuasaan Jepang. Dipimpin oleh Sudanco Supriyadi, mereka merancang pemberontakan sebagai bentuk perlawanan atas eksploitasi dan penindasan yang dilakukan tentara pendudukan.
Sejak dibentuk pada tahun 1943, PETA seharusnya menjadi alat pertahanan bagi Jepang di Nusantara. Namun, di bawah tekanan kerja paksa (romusha), penyiksaan, dan kelaparan, para prajurit PETA menyadari bahwa mereka hanya dijadikan alat untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Kesadaran itu menumbuhkan api perlawanan di dada para pemuda Blitar.
Supriyadi, pemuda kelahiran Trenggalek yang dikenal cerdas dan penuh strategi, menjadi sosok sentral dalam pemberontakan ini. Dengan taktik gerilya dan pemanfaatan medan yang unggul, pasukannya sempat merebut beberapa pos pertahanan Jepang sebelum akhirnya ditumpas. Namun, yang lebih misterius adalah nasib Supriyadi setelah pemberontakan.
"Ada beberapa versi tentang keberadaannya. Sebagian orang meyakini ia moksa, menghilang tanpa jejak seperti mitos-mitos besar Nusantara. Ada pula yang percaya bahwa ia dieksekusi oleh Jepang dalam sebuah operasi rahasia," ujar Santoso.
Misteri Supriyadi tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Meskipun secara resmi ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1975, keberadaannya tetap diselimuti tanda tanya.
Dahana Cikal Kamardikaning Negara: Narasi Perjuangan yang Kembali Dihidupkan
Tahun ini, drama kolosal PETA Blitar mengangkat tema "Dahana Cikal Kamardikaning Negara", yang berarti Api Semangat Awal Kemerdekaan Bangsa.
Pertunjukan ini tidak hanya menampilkan pemberontakan PETA, tetapi juga menggambarkan bagaimana semangat itu terus menyala hingga kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Blitar, Edy Wasono menegaskan bahwa ada beberapa inovasi dalam pementasan tahun ini. Selain narasi yang diperluas, iringan musik juga lebih megah dengan kehadiran grup marching band Bung Karno Kota Blitar.
"Kita ingin menyampaikan bahwa perjuangan ini tidak hanya berhenti di Blitar. Apa yang dilakukan Supriyadi dan kawan-kawan menjadi bara yang menyulut kobaran kemerdekaan Indonesia," jelasnya.
Baca Juga : Menguak Misteri Sumber Air di Balik Bukit Widodaren, Pemandian Para Bidadari?
Adegan-adegan dramatis mengisi panggung malam itu. Supriyadi berdiri tegak di atas bukit, melihat pasukannya bersiap.
Letusan senapan pertama membelah malam, diikuti seruan perang yang menggema di seluruh Blitar.
Adegan pengkhianatan, di mana rencana pemberontakan bocor dan Jepang melakukan operasi besar untuk menangkap para pelaku.
Pemberontakan yang akhirnya ditumpas dengan kejam, namun meninggalkan pesan bahwa perlawanan belum selesai.
Suara gemuruh penonton pecah saat adegan klimaks tiba—Supriyadi menghilang, tubuhnya seakan lenyap dalam kabut malam, meninggalkan mitos yang akan terus hidup dalam ingatan bangsa.
Diorama Perjuangan dan Museum PETA: Upaya Melestarikan Sejarah
Sebagai bagian dari upaya menjaga warisan sejarah, Pemerintah Kota Blitar berencana membangun Museum PETA lengkap dengan diorama perjuangan Supriyadi dan rekan-rekannya. Museum ini akan menggambarkan perjalanan hidup Supriyadi, dari masa kecilnya, keterlibatannya dalam PETA, hingga peristiwa 14 Februari 1945 yang menentukan nasib bangsa.
"Kami ingin generasi muda tidak hanya mengenal Supriyadi sebagai nama jalan atau monumen. Mereka harus memahami bagaimana perjuangan itu terjadi, bagaimana darah tertumpah demi kemerdekaan," kata Santoso.
Rencana ini mendapat dukungan luas dari masyarakat dan sejarawan.Pemkot Blitar menekankan pentingnya museum ini sebagai bagian dari rekonstruksi sejarah Indonesia yang lebih lengkap.
"Selama ini, narasi tentang PETA sering kali hanya disinggung sekilas dalam buku pelajaran. Padahal, tanpa pemberontakan PETA, terutama di Blitar, momentum kemerdekaan bisa jadi berbeda. Museum ini harus menjadi pusat edukasi yang kuat bagi generasi mendatang," ujar Santoso.
Sebuah Narasi yang Tak Boleh Luntur
Pementasan drama kolosal Pemberontakan PETA Blitar tahun ini bukan sekadar hiburan. Ini adalah pengingat bahwa kemerdekaan bukan hadiah, tetapi hasil dari pengorbanan yang luar biasa.
Di antara sorotan lampu dan tepuk tangan penonton, terselip pesan yang mendalam: bahwa sejarah adalah akar identitas bangsa. Dan selama api perjuangan masih menyala dalam ingatan, Indonesia akan tetap berdiri tegak, menghormati para pahlawan yang telah mengorbankan segalanya demi kemerdekaan.
Sebagaimana kata Supriyadi dalam salah satu adegan dramatis malam itu:
"Lebih baik mati melawan daripada hidup dijajah!"
Dan malam itu, Kota Blitar kembali mengenang bukan dengan air mata, tetapi dengan kebanggaan yang membakar dada.