JATIMTIMES - Dalam periode November hingga Desember 2024, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur mencatat sebanyak 6.072 kasus penyakit mulut dan kuku (PMK) yang menyerang hewan ternak.
Dari jumlah tersebut, 282 ekor ternak dilaporkan mati. Kasus PMK ini juga ditemukan merata, dialami oleh peternak di 30 kabupaten/kota di Jawa Timur.
Baca Juga : Berapa Nilai 1 Koin Jagat? Ini Penjelasannya Beserta Panduan Bermainnya
Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, Indyah Aryani menjelaskan bahwa hewan ternak yang terjangkit PMK umumnya menunjukkan gejala lemah, pincang, air liur berlebihan hingga berbusa, dan sering berbaring karena kondisi tubuh yang lemas. Hal ini juga berdampak pada penurunan produksi susu pada sapi perah.
Menurut Indyah penyakit ini juga sangat merugikan secara ekonomi, terutama bagi peternak sapi perah.
Menurut Prof. drh. Teguh Budipitojo, M.P., Ph.D., dilansir dari laman UGM, PMK merupakan salah satu penyakit hewan yang sangat menular. Penyebarannya bisa melampaui batas wilayah negara dan memberikan dampak signifikan, seperti penurunan produksi daging dan susu, serta menghambat perdagangan hewan ternak dan produk turunannya.
Dalam sejarahnya, wabah PMK pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1887 akibat impor sapi perah dari Belanda. Setelah serangkaian program vaksinasi massal, Indonesia berhasil dinyatakan bebas PMK pada tahun 1986. Status ini diperkuat oleh pengakuan internasional melalui Resolusi OIE Tahun 1990. Namun, wabah PMK kembali terdeteksi di Indonesia pada April 2022, setelah 36 tahun bebas dari penyakit ini.
PMK disebabkan oleh virus dari genus Apthovirus dalam keluarga Picornaviridae. Virus ini memiliki tujuh serotipe berbeda, yaitu O, A, C, SAT 1, SAT 2, SAT 3, dan Asia 1. Perbedaan serotipe ini membuat satu jenis serotipe tidak memberikan kekebalan terhadap jenis lainnya.
Virus ini terutama menyerang hewan berkuku genap seperti sapi, kambing, kerbau, dan domba. Hewan lain seperti babi, unta, hingga beberapa spesies liar juga rentan terhadap infeksi. Bahkan, hewan laboratorium seperti tikus dan kelinci dapat tertular melalui infeksi buatan, meski tidak berperan signifikan dalam penyebaran alami virus.
Menurut drh. Teguh, upaya untuk melakukan pengendalian, penanggulangan, dan respon cepat terhadap kasus PMK di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai hal.
Baca Juga : Bus Pariwisata Rem Blong Angkut Wisatawan Asal Bali Tewaskan 4 Korban dan Belasan Luka-luka
"Bisa melalui pengamatan, pencegahan, serta pengamanan produk ternak termasuk strategi pengawasan dan identifikasi agen etiologis serta memberantas infeksi virus PMK pada hewan ternak, termasuk upaya untuk menjaga, merawat dan/atau mengobati hewan-hewan ternak yang sakit dan belum sembuh," jelasnya.
Adapun prinsip dasar pemberantasan wabah PMK, kata drh. Teguh adalah dengan mencegah kontak antara hewan peka dan virus PMK.
"Termasuk harus dilakukan upaya menghentikan produksi virus PMK oleh hewan yang sudah tertular, dan upaya untuk meningkatkan resistensi atau kekebalan hewan peka melalui tindakan vaksinasi," jelasnya.
"Apabila ketiga prinsip dasar dalam pemberantasan wabah PMK tersebut dapat dilakukan dengan baik, terkoordinasi dan melibatkan berbagai komponen bidang veteriner yang terintegrasi, maka niscaya tidak lama lagi Indonesia dapat kembali bebas dari PMK," pungkas drh. Teguh.