JATIMTIMES- Pada 4 September 1948, sebuah peristiwa penting dalam sejarah Belanda tercatat dalam tinta emas: Ratu Wilhelmina memutuskan untuk turun takhta setelah memerintah selama hampir enam dekade. Keputusan tersebut bukan hanya mencerminkan kondisi fisiknya yang sudah menua dan sakit-sakitan, tetapi juga tanda dari sebuah era yang mulai berakhir.
Melansir berbagai sumber, Wilhelmina, yang memimpin Belanda selama 57 tahun 286 hari, menurunkan tongkat kekuasaannya kepada putri tunggalnya, Juliana. Meskipun belum siap, Juliana harus menerima kenyataan bahwa takhta kerajaan kini berada di pundaknya.
Baca Juga : Kaleidoskop Polres Malang 2024: Angka Kriminalitas Turun 13,7 Persen Hingga Bongkar Pabrik Sabu
Bagi Wilhelmina, yang sejak usia 10 tahun telah menjadi ratu setelah kematian ayahnya, Raja William III, pengunduran dirinya adalah bentuk pelarian dari derita panjang yang dia rasakan. Dalam perjalanan panjang pemerintahannya, ia tidak hanya harus menghadapi Perang Dunia I dan II.
Dia juga berjuang dengan krisis ekonomi besar pada tahun 1933. Dan lebih berat lagi, kehilangan Indonesia — sebuah wilayah yang sejak abad ke-17 menjadi pundi-pundi kekayaan Belanda. Kehilangan Indonesia sebagai koloni pada masa pasca-Perang Dunia II memberikan pukulan emosional yang mendalam bagi sang ratu, yang melihatnya sebagai hilangnya simbol kejayaan kolonial Belanda.
Keputusannya untuk turun takhta
Keputusan Wilhelmina untuk menyerahkan takhta kepada Juliana datang setelah bertahun-tahun mengalami beban emosional yang berat. Ketika Perang Dunia II berakhir, Belanda yang sempat hancur akibat pendudukan Nazi Jerman, kini harus menghadapi kenyataan pahit dari akhir kejayaannya sebagai kekuatan kolonial. Indonesia, yang selama berabad-abad memberikan kekayaan bagi Belanda melalui rempah-rempah dan hasil bumi, kini berada di ambang kemerdekaan.
Sebagai seorang monarki yang memerintah di tengah pusaran sejarah yang tak menentu, Wilhelmina merasakan beban berat. Dalam keadaan kesehatan yang buruk, ditambah tekanan politik internasional, ia akhirnya memutuskan untuk mundur.
Meski putrinya, Juliana, yang saat itu berusia 39 tahun, setengah hati menerima takhta, Wilhelmina tidak bisa dibujuk. Dalam upacara penyerahan takhta di Dam Square, Amsterdam, sang ratu berusaha meyakinkan rakyat untuk mendukung monarki baru yang dipimpin oleh Juliana, meskipun dia tahu bahwa ini adalah akhir dari sebuah era.
Kehilangan Indonesia dan Perang Dunia II
Indonesia, sebagai bagian dari Hindia Belanda, memiliki peranan penting dalam sejarah kekuasaan Belanda. VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), perusahaan dagang Belanda yang memonopoli perdagangan rempah-rempah di Asia, membawa Belanda pada kejayaan ekonomi yang luar biasa. Namun, setelah VOC dibubarkan pada awal abad ke-19 dan digantikan oleh pemerintah Belanda, Indonesia tetap menjadi aset utama bagi kerajaan ini, terutama setelah penemuan cadangan minyak yang sangat besar pada paruh pertama abad ke-20.
Namun, semua itu mulai runtuh seiring dengan meningkatnya semangat nasionalisme di Indonesia dan kedatangan Jepang selama Perang Dunia II. Ketika Jepang menyerbu Hindia Belanda pada 1942, Belanda kehilangan kendali atas Indonesia untuk pertama kalinya. Setelah Jepang kalah dalam perang, Indonesia mengumumkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dan meskipun Belanda berusaha untuk merebut kembali kekuasaannya, tekanan internasional dan perjuangan kemerdekaan Indonesia akhirnya memaksa Belanda untuk menyerah pada 1949.
Bagi Wilhelmina, kehilangan Indonesia merupakan salah satu penderitaan terbesar yang dialaminya. Indonesia adalah pilar ekonomi dan simbol kejayaan kolonial Belanda selama berabad-abad. Keputusan politik yang diambil oleh Ratu Wilhelmina dalam merespons pergerakan kemerdekaan Indonesia menjadi salah satu aspek penting yang menggambarkan dilema seorang monarki di tengah gejolak zaman.
Peran Wilhelmina dalam sejarah dan citra rakyat
Meskipun pengaruh Wangsa Oranje-Nassau berkurang setelah penurunan takhta Wilhelmina, citra sang ratu tetap tercatat dalam sejarah sebagai simbol keteguhan hati bangsa Belanda. Selama pendudukan Nazi di Belanda, meskipun raja dan ratu berada di pengasingan di Inggris, Wilhelmina tetap menjadi simbol perlawanan. Obituari New York Times mengingatkan akan peranannya yang tak terlupakan dalam mempertahankan semangat perlawanan rakyat Belanda terhadap penjajahan Nazi.
Salah satu kisah yang paling mengharukan terjadi di kota kecil Huizen, di mana meskipun larangan dari Jerman untuk merayakan ulang tahun ratu, warga tetap merayakan dengan menyanyikan lagu kebangsaan Belanda. Peristiwa ini menjadi simbol semangat juang rakyat Belanda yang tetap memandang Ratu Wilhelmina sebagai lambang kekuatan dan kebebasan mereka.
Baca Juga : ThinkTank Indonesia Bahas Polemik Kenaikan PPN 12%, Apa Dampaknya Buat Program Makan Bergizi?
Meskipun setelah turun takhta, Wilhelmina memilih untuk menyepi di Istana Het Loo, jauh dari sorotan publik, namanya tetap dihormati dan dikenang. Ketika bencana banjir Laut Utara menghantam Belanda pada 1953, Wilhelmina, yang telah lama tidak muncul di depan publik, kembali menjadi pemersatu bagi rakyat Belanda. Ini menunjukkan bahwa meskipun pengaruh politiknya telah pudar, nilai-nilai kebangsaan yang dibawa oleh sang ratu tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Belanda.
Miliarder Pertama di Dunia
Selain kontribusinya dalam sejarah politik Belanda, Ratu Wilhelmina juga dikenal sebagai perempuan pertama yang berstatus miliarder dalam dolar AS. Kekayaannya, yang berasal dari warisan tanah jajahan Indonesia, menjadikannya salah satu wanita terkaya di dunia pada masanya. Pendapatan yang diperoleh Belanda dari Indonesia, terutama dalam bentuk minyak, memberikan kontribusi signifikan terhadap kekayaan kerajaan ini. Sebagai negara eksportir minyak terbesar keempat dunia pada saat itu, Belanda memanfaatkan sumber daya alam Indonesia untuk memperkuat ekonomi mereka, meskipun pada saat yang sama menekan rakyat Indonesia dengan sistem kolonial yang keras.
Pewarisan Takhta: Juliana dan Generasi Berikutnya
Ketika Wilhelmina menyerahkan takhta kepada putrinya, Juliana, ini menandai transisi penting dalam sejarah monarki Belanda. Juliana, yang lahir pada 30 April 1909, menjadi ratu kedua Belanda setelah ibunya. Meskipun pada awalnya ragu, Juliana kemudian memimpin Belanda melalui masa pasca-perang yang penuh tantangan, termasuk penataan kembali negara setelah pendudukan Jerman dan konflik kolonial dengan Indonesia.
Generasi penerus monarki Belanda, seperti Beatrix dan Willem-Alexander, juga mencatatkan nama mereka dalam sejarah negara ini. Namun, mereka tidak pernah menghilangkan jejak Wilhelmina sebagai ratu yang memimpin Belanda melewati masa-masa sulit dan yang, meskipun menderita karena kehilangan Indonesia, tetap dihormati sebagai simbol keteguhan dan persatuan bagi rakyatnya.
Wilhemina: Ratu kebanggaan rakyat Belanda
Sakit dan merana karena kehilangan Indonesia serta beban berat yang harus ditanggungnya selama Perang Dunia II, Ratu Wilhelmina turun takhta pada 1948, menyerahkan takhta kepada putrinya, Juliana. Namun, meskipun lengser dari posisi kekuasaannya, Wilhelmina tetap menjadi simbol keteguhan dan kebanggaan rakyat Belanda. Sejarah mencatatnya sebagai seorang perempuan yang tak hanya kaya, tetapi juga memiliki jiwa pemimpin yang kuat di tengah cobaan zaman. Perjuangannya melalui masa perang, krisis ekonomi, dan kehilangan tanah jajahannya, membuatnya dikenang sebagai ratu yang tidak hanya memimpin, tetapi juga menjadi simbol harapan dan persatuan bagi rakyat Belanda.