free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Pangeran Diponegoro: Surjan Mataraman atau Surban Ulama? Menelisik Busana Sang Pahlawan dalam Lintasan Sejarah

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

13 - Dec - 2024, 11:03

Placeholder
Sketsa Pangeran Diponegoro dalam balutan surjan Mataram, simbol kebangsawanan Jawa yang melekat erat pada dirinya

JATIMTIMES- Dalam lembaran sejarah Indonesia, sosok Pangeran Diponegoro telah lama menjadi ikon perjuangan melawan kolonialisme. Perang Jawa (1825-1830) yang ia pimpin bukan sekadar pertempuran, tetapi juga simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. 

Namun, di balik perjuangan tersebut, satu pertanyaan sering muncul. Apakah Pangeran Diponegoro mengenakan surjan Mataraman, busana khas bangsawan Jawa, atau surban, yang identik dengan seorang ulama? Sebuah perdebatan menarik yang membuka pintu bagi pemahaman mendalam tentang peran Diponegoro sebagai bangsawan sekaligus pemimpin spiritual.

Busana Surjan: Warisan Budaya Keraton Jawa

Baca Juga : Kucing Prabowo, Bobby Kertanegara Raih Penghargaan Top Trending Searches dari Google Indonesia

Sebagai putra Sultan Hamengkubuwono III dan cucu pendiri Nagari Ngayogyakarta, Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi), Diponegoro besar dalam tradisi dan adat Jawa Mataram. Ia tidak hanya dibesarkan di lingkungan keraton, tetapi juga berperan sebagai pengajar Sultan Hamengkubuwono IV—adik tirinya—serta wali bagi Sultan Hamengkubuwono V. Dalam konteks ini, sangat wajar jika Diponegoro mengenakan busana adat Jawa, seperti surjan dan blangkon, yang menjadi simbol kebangsawanan Mataram.

Pengesahan visual mengenai hal ini hadir dalam sketsa arang Diponegoro sebagai seorang pemuda. Lukisan ini diyakini dibuat sekitar tahun 1807 oleh seorang seniman keraton Yogyakarta, bertepatan dengan pernikahan Diponegoro dengan istri pertamanya, putri Bupati Panolan, Raden Tumenggung Notowijoyo II. Dalam sketsa tersebut, Diponegoro digambarkan mengenakan surjan Mataraman dan blangkon, lengkap dengan aura kebangsawanan Jawa yang kuat.

Sketsa ini menjadi satu-satunya gambaran Pangeran Diponegoro dalam busana Jawa autentik. Peter Carey, sejarawan terkemuka yang mendedikasikan hidupnya untuk mengkaji sosok Diponegoro, menyertakan sketsa ini dalam bukunya, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Fakta ini menegaskan bahwa sebelum terjun ke medan perang, Diponegoro sangat identik dengan busana keraton Jawa.

Ndalem Tegalrejo: Pondok Pesantren dan Busana Surban

Meski lahir dan tumbuh dalam lingkungan keraton, Diponegoro menghabiskan sebagian besar hidupnya di Ndalem Tegalrejo, kediaman neneknya, Ratu Ageng Tegalrejo, istri permaisuri Sultan Hamengkubuwono I. Ndalem ini bukan sekadar rumah tinggal, melainkan berfungsi sebagai pondok pesantren tempat Diponegoro menimba ilmu agama. Di lingkungan ini, Diponegoro juga mulai menanamkan nilai-nilai keislaman kepada para pengikutnya.

Sebagai seorang santri dan pemimpin spiritual, Diponegoro tentu tidak asing dengan busana surban atau imamah—kain yang dililitkan di kepala sebagai simbol ketaatan agama. Pemakaian surban ini lazim terjadi dalam momen-momen tertentu, seperti saat melaksanakan ibadah atau memberikan pengajaran agama kepada murid-muridnya.

Keberadaan Diponegoro sebagai figur religius tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan pesantren. Hal ini membentuk kepribadian ganda Diponegoro: seorang pemimpin spiritual sekaligus bangsawan Jawa yang berakar kuat pada adat leluhurnya.

Lukisan Jan Bik: Diponegoro dalam Surban dan Jubah

Pertanyaan seputar busana Pangeran Diponegoro semakin menarik ketika kita menengok sketsa karya Adrianus Johannes Jan Bik. Jan Bik, seorang hakim Belanda di Batavia, berkesempatan melukis Diponegoro pada tahun 1830, tidak lama setelah sang pangeran ditangkap secara licik oleh Belanda. Saat itu, Diponegoro ditahan di balai kota Batavia sebelum akhirnya diasingkan ke Manado dan kemudian Makassar.

Dalam lukisan Jan Bik, Diponegoro digambarkan mengenakan surban dan jubah putih, yang mempertegas identitasnya sebagai seorang pemimpin perang sekaligus ulama. Tidak seperti sketsa keraton yang menampilkan Diponegoro dalam surjan, lukisan ini lebih menonjolkan sisi religius sang pangeran. Jan Bik, yang melukis langsung di hadapan Diponegoro, dikenal sebagai seniman yang teliti dan detail.

Lukisan ini kemudian menjadi salah satu representasi visual Diponegoro yang paling ikonik dan autentik. Bertahun-tahun kemudian, lukisan tersebut diserahkan ke Rijksmuseum di Belanda dan disimpan sebagai artefak sejarah yang berharga.

Raden Saleh dan Interpretasi Seni

Baca Juga : Tamparan Selop untuk Sang Pengkhianat: Pangeran Diponegoro, Patih Danurejo IV, dan Krisis Moral Kraton Yogyakarta

Lukisan lain yang tak kalah fenomenal adalah karya Raden Saleh, pelukis pribumi pertama yang meraih pengakuan internasional. Dalam karyanya, Raden Saleh juga menggambarkan Diponegoro mengenakan jubah putih dan surban. Meski karya ini lebih berfokus pada aspek heroik dan emosional, lukisan Raden Saleh turut memperkuat gambaran Diponegoro sebagai pemimpin religius.

Namun, jika dibandingkan dengan karya Jan Bik, lukisan Raden Saleh lebih bersifat interpretatif dan simbolis, sementara Jan Bik lebih faktual karena dilukis secara langsung saat Diponegoro dalam masa tahanan. Dua karya ini, meskipun berbeda pendekatan, sama-sama memperlihatkan sisi spiritual Diponegoro di masa perjuangan.

Memadukan Dua Identitas: Kebangsawanan dan Keulamaan

Busana yang dikenakan Pangeran Diponegoro sebenarnya mencerminkan peran gandanya sebagai pemimpin perang sekaligus pemimpin spiritual. Sebagai bangsawan Jawa, ia tetap menjaga tradisi leluhurnya dengan mengenakan surjan dan blangkon dalam momen-momen formal. Namun, sebagai seorang ulama yang memiliki pengaruh besar di kalangan santri dan rakyat Jawa, Diponegoro juga mengenakan jubah dan surban dalam aktivitas keagamaan dan saat memimpin pasukannya di medan perang.

Dalam catatan sejarah, busana jubah dan surban ini menjadi lebih dominan setelah Diponegoro memulai Perang Jawa pada tahun 1825. Sebagai pemimpin perang yang juga menggalang semangat jihad melawan Belanda, Diponegoro menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk mempersatukan rakyat dan membangkitkan perlawanan.

Bukan kebetulan jika Diponegoro sering digambarkan mengenakan busana ala ulama. Hal ini sejalan dengan strategi perjuangannya yang menggabungkan identitas keislaman dengan tradisi Jawa untuk melawan penjajahan.

Kesimpulan: Surjan dan Surban, Dua Sisi Sejarah Diponegoro

Apakah Pangeran Diponegoro mengenakan surjan atau surban? Jawabannya adalah keduanya. Sebagai bangsawan keraton Yogyakarta, Diponegoro tumbuh dan besar dalam adat Jawa Mataram yang menjunjung tinggi busana seperti surjan dan blangkon. Namun, sebagai pemimpin spiritual dan panglima perang, ia juga mengenakan jubah putih dan surban sebagai simbol ketaatan religius dan semangat perjuangan.

Sketsa keraton tahun 1807, lukisan Jan Bik tahun 1830, dan karya Raden Saleh memberikan gambaran utuh tentang sosok Diponegoro. Dua identitas—kebangsawanan dan keulamaan—ini berpadu harmonis dalam diri Diponegoro, menjadikannya pemimpin yang disegani di medan perang dan dihormati dalam kehidupan spiritual.

Pangeran Diponegoro adalah sosok yang melampaui zamannya. Dengan dua identitas ini, ia berhasil menyatukan rakyat Jawa dalam perjuangan panjang melawan kolonialisme, meninggalkan warisan sejarah yang tak lekang oleh waktu.

Demikianlah jawaban dari perdebatan seputar busana Pangeran Diponegoro. Sejarah mencatatnya bukan hanya sebagai pahlawan perang, tetapi juga sebagai simbol harmoni antara adat dan agama, antara tradisi dan perjuangan.


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya pangeran diponegoro surjan mataraman surban



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri