JATIMTIMES- Harga diri lebih tinggi daripada emas, kehormatan tak bisa dibeli dengan sekantung uang.
Pagi itu di Dalem Kepatihan Kraton Kartasura, seorang pemuda berdiri dengan penuh harap. Raden Mas Said—yang kelak dikenal sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A.) Mangkunagara I—datang menghadap Patih untuk memohon kenaikan pangkat.
Baca Juga : Kabar Duka, Aktor Senior Joshua Pandelaki Meninggal Dunia
Harapannya, pangkat Mantri Gandek yang disandangnya dirasa tak sepadan dengan darah biru yang mengalir dalam dirinya, cucu dari Amangkurat IV. Namun, bukannya penghormatan, RM Said justru diberi sekantung uang dan disuruh pergi.
Peristiwa ini menjadi titik balik yang menggurat luka dalam batinnya—kehinaan yang akhirnya membakar tekadnya untuk mengangkat kembali harga dirinya dan rakyat yang terpinggirkan.
RM Said terlahir pada 7 April 1725 di Kraton Kartasura, masa yang ditandai dengan ketidakstabilan politik dan gejolak internal yang tak berkesudahan. Sebagai cucu Amangkurat IV, darah kebangsawanan mengalir kental dalam dirinya. Namun, takdir seolah tidak berpihak.
Ayahnya, KPA Mangkunegara Kartasura, difitnah oleh Patih Danureja dan diasingkan ke Srilanka. Ibunya meninggal dunia ketika RM Said masih kecil, meninggalkan ia dan dua adiknya, RM Ambiya dan RM Sabar, hidup dalam keterlantaran. Mereka diperlakukan bak rakyat jelata meskipun darah raja mengalir di tubuh mereka.
Peristiwa besar yang mengubah nasib Kartasura terjadi pada Oktober 1740, dikenal sebagai “Geger Pecinan”. Bangsa Tionghoa, dipicu ketidakadilan VOC dan pemerintahan Pakubuwana II, memberontak dan menduduki kraton. Seorang keturunan Amangkurat III, Mas Garendi, dilantik sebagai raja dengan gelar Sunan Kuning.
RM Said, di tengah kekacauan ini, berhasil menyelamatkan keris pusaka Kyai Bedudak—simbol kehormatan dan perlawanan. Namun, Sunan Kuning hanya bertahan sembilan bulan. VOC kembali merebut Kartasura dan menempatkan Pakubuwana II kembali di tahtanya, sementara RM Said tetap berada di bawah bayang-bayang ketidakadilan.
Perlawanan di Nglaroh: Kebangkitan Sang Pemimpin
Penghinaan di Dalem Kepatihan mendorong RM Said mencari perlindungan ke Nglaroh, wilayah nenek moyangnya. Dengan dukungan Kyai Wiradiwangsa dan sahabat setianya, Raden Sutawijaya III, RM Said mulai membangun kekuatan.
Di Nglaroh, ia menghimpun rakyat jelata, melatih mereka dalam strategi perang dan olah kanuragan. RM Said bukan hanya sekadar pemimpin; ia adalah simbol perlawanan rakyat kecil yang terpinggirkan oleh kraton dan VOC.
Pada 1741, RM Said memproklamirkan dirinya sebagai pemimpin pasukan perlawanan, dibantu oleh tokoh-tokoh kepercayaannya seperti Rangga Panambang (Raden Sutawijaya III) dan Kyai Ngabehi Kudanawarsa. Empat puluh punggawa setia diberi nama dengan awalan “Jaya”—lambang kemenangan yang diimpikan. Dari Nglaroh, kekuatan RM Said semakin besar dan menyebar.
Ketika Sunan Kuning bergabung dengan pasukan di Randulawang, RM Said datang membawa 300 prajurit dari Nglaroh. Keberaniannya di medan tempur membuatnya diangkat sebagai senopati dengan gelar Kanjeng Pangeran Prangwadana.
Namun, perpecahan di tubuh pasukan anti-VOC dan serangan bertubi-tubi dari Kartasura dan VOC membuat RM Said terdesak. Meskipun demikian, perlawanan RM Said tak pernah padam.
Membangun Aliansi: Bersama Pangeran Mangkubumi
Situasi politik Jawa semakin pelik ketika Pangeran Mangkubumi, pamannya, turut keluar dari Kraton Surakarta pada 1746. Sinuhun Pakubuwana II yang tunduk pada VOC semakin kehilangan legitimasi di mata para bangsawan Jawa. Di Sukowati, Pangeran Mangkubumi dan RM Said sepakat untuk bersatu melawan VOC. Keduanya menyusun strategi dan menggalang dukungan rakyat.
Namun, VOC bukan lawan yang mudah ditaklukkan. Mereka mengejar RM Said hingga ke pegunungan. Dalam satu pengepungan di Gunung Sewu, Mayor Hogendorp menembaknya, namun peluru gagal mengenai sasaran. RM Said lolos dengan penuh penderitaan—berhari-hari di hutan, hidup hanya dari umbi-umbian. Perjuangan ini menjadi kisah heroik tentang ketangguhan fisik dan mental seorang pemimpin yang tak kenal menyerah.
Restu Leluhur dan Titik Balik
Baca Juga : Rayakan Ulang Tahun ke-29, Sunpride Bantu Poktan Lumajang Alat Pertanian
Dalam pelariannya, RM Said menjalani laku spiritual yang keras. Ia bersembunyi di berbagai tempat, termasuk di hutan dan desa-desa terpencil. Di desa Druju, RM Said menitipkan keluarganya dan melanjutkan perjalanan untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Wangsit yang diterimanya membawa ia ke arah timur laut, menandakan bahwa perjuangannya akan menemukan titik terang.
Aliansi RM Said dan Pangeran Mangkubumi membawa hasil signifikan. Mereka berhasil mengalahkan pasukan VOC dalam beberapa pertempuran besar, meskipun kemenangan itu tidak datang tanpa pengorbanan. Namun, VOC tak tinggal diam. Lewat politik devide et impera, mereka akhirnya memecah persatuan antara kedua pemimpin Jawa itu. Pada 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani, membagi Mataram menjadi dua: Kesultanan Yogyakarta di bawah Pangeran Mangkubumi dan Kasunanan Surakarta di bawah Pakubuwana III.
Mangkunegaran: Sebuah Akhir dan Awal Baru
Setelah perjanjian Giyanti, RM Said—yang kini dikenal sebagai Pangeran Suryokusumo—melanjutkan perjuangannya. Pada 1757, VOC dan Kasunanan Surakarta akhirnya mengakui eksistensi RM Said sebagai penguasa wilayah tersendiri melalui Perjanjian Salatiga. RM Said resmi mendirikan Kadipaten Mangkunegaran dan bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I. Mangkunegaran menjadi simbol perlawanan rakyat kecil yang berakhir dengan kompromi politik.
Di Mangkunegaran, RM Said membangun sebuah pemerintahan yang kuat dan mandiri. Dengan prinsip “Tri Darma”—mulat sarira hangrasa wani (berani karena benar), melu handarbeni (ikut memiliki), dan memayu hayuning bawana (menjaga keharmonisan dunia)—ia membawa Mangkunegaran menjadi pusat kebudayaan dan perlawanan intelektual terhadap kolonialisme.
Warisan Sejarah Pangeran Suryokusumo
Perjuangan RM Said bukan hanya tentang perebutan kekuasaan, tetapi juga tentang martabat dan keadilan. Dalam catatan sejarah, RM Said dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat, seorang ksatria yang memilih perjuangan meskipun harus kehilangan kemewahan kraton. Kisah hidupnya adalah bukti bahwa semangat perlawanan tidak pernah padam, bahkan di tengah pengkhianatan, keterasingan, dan pengorbanan pribadi yang mendalam.
Di akhir hidupnya, K.G.P.A.A Mangkunagara I meninggalkan warisan berharga berupa nilai-nilai kepemimpinan yang egaliter dan berlandaskan keadilan. Mangkunegaran, sebagai bentuk legitimasi perjuangannya, tetap berdiri tegak hingga kini, menjadi simbol keteguhan seorang pangeran yang melawan ketidakadilan—sebuah perjuangan yang akan terus dikenang dalam sejarah Jawa.
Sebagaimana pernah dikatakan, “Bila kehormatan seorang pemimpin diinjak, maka itu bukan hanya kematian baginya, melainkan bagi rakyat yang mempercayainya.” RM Said membuktikan, bahwa kehormatan adalah nyawa bagi seorang pemimpin, dan nyawa itu ia pertaruhkan demi sebuah masa depan yang lebih adil.