JATIMTIMES- Syekh Siti Jenar merupakan salah satu ulama paling kontroversial dalam sejarah Islam Nusantara abad ke-15 dan ke-16. Namanya melekat dengan kisah pembangkangan, ajaran mistik, dan tragedi yang berujung pada hukuman mati oleh Dewan Walisongo atas perintah Kesultanan Demak. Meski demikian, warisan pemikiran dan ajaran Syekh Siti Jenar telah menginspirasi banyak orang, baik sebagai legenda maupun wacana keagamaan.
Artikel ini menyelami perjalanan hidupnya yang penuh warna, dari asal-usul yang diperdebatkan hingga kontribusinya dalam penyebaran Islam di Jawa dan sekitarnya.
Kelahiran dan Asal-Usul yang Didebatkan
Baca Juga : Parlemen Prancis Tumbangkan Pemerintahan dalam Mosi Tak Percaya, Krisis Politik Terus Berlanjut
Babad Tanah Jawi dan Babad Demak, dua naskah klasik yang menjadi rujukan utama kisah Syekh Siti Jenar, memuat cerita fantastis tentang kelahirannya. Ia disebut lahir dari seekor cacing yang secara ajaib berubah menjadi manusia setelah mendengar wejangan Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga. Narasi ini memuat tendensi negatif, mencitrakan Syekh Siti Jenar sebagai makhluk hina sejak lahir hingga kematiannya yang digambarkan berubah menjadi anjing kurap.
Namun, penelitian sejarah kontemporer seperti yang dilakukan oleh Mulkhan dan Sholikhin memberikan gambaran lebih rasional. Berdasarkan naskah Keraton Cirebon, Syekh Siti Jenar, yang bernama asli Abdul Jalil, adalah sepupu Syekh Nurjati, pelopor Islam di Cirebon. Ia lahir pada tahun 1425 dari pasangan Datuk Shaleh, seorang ulama Malaka, dan istrinya yang menetap di Cirebon untuk berdakwah. Setelah ayahnya wafat pada 1426, Abdul Jalil diasuh oleh Syekh Nurjati, Ki Gedang Alang-Alang, dan Pangeran Cakrabuana, tiga tokoh penting yang membentuk karakter intelektualnya.
Perjalanan Intelektual ke Timur Tengah
Pada masa mudanya, Abdul Jalil dikenal haus ilmu. Setelah menimba ilmu di Pesantren Giri Amparan Jati, ia dikirim ke Timur Tengah atas inisiatif Pangeran Cakrabuana. Dalam perjalanan ini, ia mengunjungi Persia, Bagdad, Mekkah, dan Madinah. Selama 17 tahun di sana, ia mempelajari berbagai mazhab Islam, termasuk ajaran tasawuf dari Al-Hallaj, seorang sufi kontroversial yang dihukum mati karena keyakinannya.
Di Persia dan Bagdad, Syekh Siti Jenar menyerap konsep-konsep spiritual yang mendalam, seperti wahdatul wujud (kesatuan wujud), yang menjadi inti ajarannya kelak. Di kota suci Mekkah dan Madinah, ia melaksanakan ibadah haji dan mendalami tradisi Islam klasik. Pengembaraan intelektual ini memberikan bekal besar bagi Abdul Jalil dalam membangun pesantren dan menyebarkan Islam di Nusantara.
Kembali ke Nusantara dan Pendirian Pesantren Lemah Abang
Kepulangannya ke Cirebon pada 1463 menandai babak baru dalam hidup Syekh Siti Jenar. Ia langsung bergabung kembali dengan Pesantren Giri Amparan Jati untuk membantu gurunya, Syekh Nurjati. Setelah wafatnya Syekh Nurjati, ia bersama dewan guru, termasuk Sunan Gunung Jati, mengambil alih pengelolaan pesantren. Namun, Syekh Siti Jenar kemudian memilih mendirikan pesantren baru di Japura, yang dikenal sebagai Pesantren Lemah Abang.
Pesantren ini menjadi pusat pengajaran tasawuf dan menarik banyak santri dari berbagai wilayah. Metodologi pembelajaran yang mutakhir, mengadopsi pola pendidikan Timur Tengah, menjadikan Pesantren Lemah Abang unggul dibandingkan pesantren lain di zamannya. Bahkan, tokoh-tokoh seperti Ki Ageng Pengging dan beberapa penguasa Pajajaran menjadi muridnya.
Ajaran dan Konflik dengan Dewan Walisongo
Ajaran Syekh Siti Jenar yang menekankan pada spiritualitas dan kesatuan wujud dianggap bertentangan dengan syariat Islam yang diajarkan Dewan Walisongo. Ia mengajarkan bahwa manusia adalah bagian dari Tuhan, konsep yang mirip dengan ajaran Al-Hallaj. Pandangan ini memicu konflik ideologis dengan Walisongo dan Kesultanan Demak yang mengutamakan penyebaran Islam berbasis syariat.
Selain itu, Syekh Siti Jenar menolak struktur kekuasaan feodal yang didukung Kesultanan Demak. Ia menyuarakan kritik terhadap eksploitasi rakyat kecil oleh penguasa. Sikap dan ajarannya ini membuatnya dicap sebagai pembangkang.
Hukuman Mati dan Warisan yang Abadi
Baca Juga : Mengenal Apa itu Tradisi Makan 12 Anggur di Bawah Meja? Ini Ternyata Maknanya
Perselisihan antara Syekh Siti Jenar dan Dewan Walisongo mencapai puncaknya ketika ia dianggap menyebarkan ajaran sesat. Dalam sebuah sidang, ia dijatuhi hukuman mati. Namun, eksekusinya bukan akhir dari pengaruhnya. Kisah hidupnya terus diceritakan dalam berbagai naskah dan menjadi inspirasi bagi mereka yang memperjuangkan kebebasan berpikir dalam Islam.
Meluruskan Kematian Syekh Siti Jenar: Benarkah Bukan Karena Ajaran Sesat?
Kisah kematian Syekh Siti Jenar selalu menarik perhatian karena menyimpan banyak misteri, termasuk kemungkinan adanya intrik politik yang melibatkan Sultan Trenggana, penguasa Kesultanan Demak. Beberapa sumber sejarah menunjukkan bahwa kematian Syekh Siti Jenar bukan sekadar persoalan agama, tetapi juga menyangkut konflik kekuasaan yang terjadi di Jawa pada abad ke-16.
Syekh Siti Jenar, dikenal sebagai salah satu ulama kontroversial dalam sejarah Wali Songo, menyebarkan ajaran tasawuf dengan konsep manunggaling kawula Gusti. Ajaran ini, yang menyatakan penyatuan antara manusia dan Tuhan, dianggap menyimpang oleh sebagian ulama ortodoks. Namun, dugaan bahwa kematiannya disebabkan oleh ajaran sesat masih menjadi perdebatan.
Menurut sejumlah sumber, keterlibatan Syekh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging—seorang bangsawan yang dianggap memberontak terhadap Demak—menjadi faktor kunci. Ki Ageng Pengging, yang merupakan murid Syekh Siti Jenar, mendirikan kerajaan baru di Pengging. Langkah ini memicu kekhawatiran Sultan Trenggana, yang merasa terancam oleh potensi Pengging menjadi pesaing Demak.
Perintah eksekusi Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging oleh Sultan Trenggana, seperti yang tercatat dalam beberapa naskah seperti Nagara Kretabhumi, menunjukkan adanya dimensi politik dalam konflik ini. Eksekusi ini dipandang sebagai langkah untuk mempertahankan dominasi Demak dan mencegah fragmentasi kekuasaan.
Meski begitu, tidak semua sumber sepakat dengan narasi tersebut. Dalam beberapa versi, hukuman mati Syekh Siti Jenar dianggap murni sebagai langkah untuk melindungi ajaran Islam ortodoks. Namun, fakta bahwa ia memiliki banyak pengikut, termasuk bangsawan, menambah kompleksitas situasi dan menguatkan dugaan adanya motif politik di balik keputusan tersebut.
Dengan berbagai versi yang saling bertentangan, kematian Syekh Siti Jenar tetap menjadi salah satu misteri besar dalam sejarah Jawa. Apakah ia dieksekusi karena ajarannya, atau karena intrik politik, masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab hingga kini.