JATIMTIMES - Era 1980-an adalah masa keemasan bagi para penikmat kuliner di Yogyakarta. Pada masa itu, Jogja bukan hanya terkenal dengan keindahan Candi Prambanan dan keramaian Malioboro, tapi juga menyimpan jejak kenangan wisata kuliner yang tak lekang oleh waktu.
Hidangan seperti gudeg, angkringan sederhana, hingga jajanan di bioskop lokal, menjadi saksi hidup perjalanan kuliner yang akrab dan berkesan bagi banyak orang. Bagi para pengunjung, menikmati hidangan di angkringan atau restoran-restoran ikonis bukan sekadar memenuhi kebutuhan makan, melainkan menjadi perjalanan ke masa lalu yang penuh cerita.
Baca Juga : Pemkab Malang Siagakan Crane, Antisipasi Musibah di Musim Penghujan
Yogyakarta, atau yang lebih akrab disebut Jogja, memang tak pernah kehilangan pesonanya. Berjalan di sepanjang Jalan Malioboro, menyusuri alun-alun, dan mengunjungi sudut-sudut kotanya yang bersejarah selalu memberikan kehangatan tersendiri. Namun, bagi mereka yang pernah merasakan Yogyakarta di era 1980-an, kota ini menyimpan nostalgia yang lebih dalam—terutama dalam hal kuliner.
Di setiap sudut kota, makanan dan minuman khas Jogja menawarkan cerita, mulai dari masakan tradisional yang diwariskan turun-temurun hingga kuliner modern yang baru dikenal di tanah Jawa pada saat itu.
Kenangan Manis Gudeg dan Angkringan di Sudut Kota
Gudeg selalu menjadi ikon kuliner Jogja. Pada era 1980-an, gudeg dijual oleh para pedagang di emperan atau warung sederhana. Di pagi hari, aroma manis gurih dari nangka muda yang dimasak bersama santan dan gula merah menggugah selera.
Gudeg biasanya disajikan dengan nasi, ayam kampung, telur rebus, dan krecek yang pedas, menciptakan kombinasi rasa yang membuat siapa pun tergoda. Di masa itu, gudeg masih lebih mudah ditemukan di tempat-tempat sederhana, seperti di pasar atau dekat keramaian warga, dibandingkan dengan restoran seperti sekarang.
Selain gudeg, angkringan juga menjadi primadona. Di sinilah, para pengunjung bisa merasakan suasana kebersamaan sambil menikmati nasi kucing, sate usus, dan gorengan dengan harga yang sangat terjangkau. Suasana angkringan pada malam hari yang dipenuhi lampu minyak atau petromaks menambah kehangatan, membuat siapa saja betah berlama-lama, mengobrol dengan penjual atau sesama pembeli. Angkringan pada era itu masih sangat sederhana, dengan menu yang berfokus pada makanan kecil yang ramah kantong.
Eksplorasi Resto Ikonis di Tengah Kota Jogja
Pada tahun 1980-an, Jogja mulai dipenuhi dengan tempat makan yang menjadi ikon. Salah satu yang terkenal adalah Ayam Goreng Mbok Berek di Kalasan, tempat yang selalu ramai oleh warga lokal dan wisatawan. Ayam gorengnya yang renyah dengan bumbu khas menjadi salah satu sajian favorit yang tak terlupakan. Sementara itu, di sekitar Jalan Imogiri Timur, sate klathak menjadi primadona bagi pecinta daging kambing. Dengan tusukan jeruji besi yang unik, sate ini hanya diberi bumbu garam dan lada sehingga menghasilkan rasa natural dan gurih.
Tidak jauh dari kawasan tersebut, di seputar Hotel Quality (kini area Mirota), terdapat Soto Nayan yang tak kalah populer. Soto dengan kuah kaldu yang kaya rempah ini menjadi sajian sempurna di pagi hari bagi para pelancong dan penduduk sekitar. Di tempat ini, pengunjung dapat menikmati soto dengan aneka pilihan lauk yang khas dan cita rasa yang sudah melekat di lidah banyak orang.
Bakpia Pathok dan Oleh-Oleh Khas Jogja
Bakpia Pathok menjadi buah tangan khas yang tak boleh dilewatkan jika berkunjung ke Jogja. Di tahun 1980-an, bakpia hanya memiliki satu varian rasa, yaitu kacang hijau yang manis. Rasa sederhana ini mencerminkan kuliner Jogja yang apa adanya namun tetap menggugah selera. Para pengunjung yang berbelanja bakpia biasanya akan disambut dengan aroma manis yang menguar dari setiap toko di sekitaran Jalan Pathok, kawasan yang terkenal dengan pembuatan bakpia.
Kejutan Kuliner Modern Pertama: KFC dan Kentang Goreng di Pertigaan IAIN
Salah satu yang paling berkesan bagi banyak orang di tahun 1980-an adalah kehadiran KFC di Yogyakarta. Lokasinya di pertigaan IAIN (kini UIN Sunan Kalijaga), tepat di bawah Supermarket Galael yang saat itu merupakan tempat belanja modern. Restoran cepat saji ini memperkenalkan konsep ayam goreng tepung yang belum pernah dikenal sebelumnya. Lebih mengejutkan lagi, ayam goreng ini disajikan bersama kentang goreng dan jagung rebus, kombinasi yang unik bagi banyak orang yang masih asing dengan konsep restoran cepat saji ala Amerika. Bagi sebagian besar orang, ini adalah pengalaman pertama mencoba ayam goreng tepung yang menjadi sensasi baru di Jogja.
Tempat Hiburan dan Jajanan di Bioskop
Baca Juga : Hujan Angin Terjang 3 Desa di Malang: 5 Bangunan Rumah dan Warung Rusak, Kerugian Rp 60 Juta
Bioskop juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan di Jogja pada masa itu. Bioskop Mitra dan Bioskop Rahayu di kawasan perempatan Galleria, misalnya, menawarkan hiburan sekaligus menjadi tempat favorit untuk menikmati jajanan khas bioskop. Di sini, pengunjung bisa menikmati bakmoy, bakso, hingga limun Hercules yang menyegarkan. Bioskop lain, seperti President Theatre, yang memiliki lantai dua dengan game center, menjadi tempat berkumpulnya anak muda. Sementara itu, di kawasan Kleringan yang baru dibuka, Taman Garuda masih menjadi tempat berjualan aneka makanan dan bunga yang menarik perhatian para pengunjung.
Poci Corner dan Lesehan Kopi Joss di Sudut Kridosono
Di pertigaan Jalan Suroto dan Jalan Sabirin, Poci Corner menjadi tempat kongkow populer. Tempat ini terkenal dengan teh poci-nya yang disajikan dalam poci tanah liat, memberikan rasa dan aroma khas yang nikmat. Tidak jauh dari sana, lesehan kopi joss di dekat Pakualaman juga menjadi tempat favorit anak muda untuk menikmati kopi yang unik. Kopi joss ini disajikan dengan tambahan arang panas di dalam gelas, menciptakan sensasi “joss” yang disukai banyak orang. Lesehan yang sederhana dengan tikar sebagai alas, menjadikan tempat ini penuh kenangan, terutama bagi mahasiswa yang mencari tempat nongkrong murah.
Tradisi Kuliner di Pasar dan Lesehan Malam
Di depan pasar Kranggan, ada jajanan khas bernama “rondo kemul,” yaitu gorengan dengan isian tape yang manis dan kenyal. Sementara itu, lesehan malam yang tersebar di kawasan Malioboro hingga Alun-Alun Utara, seperti sate ayam Pak Udin, sate kambing Pak Amat, dan rujak cingur di Gayam, menawarkan suasana makan malam yang ramai dengan harga terjangkau. Di malam hari, Malioboro penuh dengan para penjual lesehan yang menjajakan gudeg, nasi rames, hingga nasi goreng, menciptakan atmosfer yang hangat dan khas.
Jogja di Tahun 1980-an: Antara Resto, Radio, dan Kebersamaan
Era 1980-an bukan hanya soal kuliner, tapi juga dipenuhi kenangan kebersamaan. Di setiap restoran dan angkringan, ada cerita yang terjalin. Toko-toko besar di Malioboro seperti Ramai dan Samijaya menjadi tempat berbelanja favorit, sedangkan Gardena di Jalan Solo menyediakan segala kebutuhan keluarga. Setiap akhir pekan, anak muda Jogja berkumpul untuk mendengarkan lagu-lagu The Beatles di Radio Unisi yang tayang setiap Minggu pagi, sementara malam Rabu dipenuhi dengan alunan rock and roll dari Rolling Stones.
Hingga saat ini, kenangan kuliner Jogja tahun 1980-an tetap hidup dalam benak banyak orang. Beberapa tempat masih bertahan, seperti warung-warung kecil yang tetap setia menjual soto, sate, dan gudeg. Sementara tempat lain mungkin telah berubah atau tak lagi ada, namun kenangannya terus dihidupkan oleh cerita-cerita yang beredar. Bagi yang pernah mengalami masa itu, kuliner Jogja bukan sekadar makanan, melainkan bagian dari perjalanan hidup, di mana rasa dan aroma yang khas akan selalu mengingatkan mereka pada Jogja yang damai dan sederhana.