JATIMTIMES- Di tanah Jawa yang penuh misteri dan pesona, kisah kerajaan silih berganti, tak ubahnya alur sungai yang membelah lembah-lembah subur. Dalam latar sejarah yang kaya ini, berdiri sebuah kisah epik tentang Kraton Pengging Witaradya, sebuah kerajaan yang menyaksikan jatuh bangun kekuasaan, pergulatan ideologi, hingga akhirnya menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit.
Kisah ini diawali di Keraton Mamênang dan berlanjut hingga ke Pengging, saat penguasa-penguasa silih berganti memimpin dan mempertahankan takhta di tengah berbagai tantangan dan intrik politik.
Baca Juga : Transformasi Lanskap Game: GameFi dan Dampaknya
Era Awal Kraton Mamênang: Kepemimpinan Sri Bathara Aji Jayabaya hingga Prabu Kusuma Wicitra
Sejarah Pengging Witaradya bermula dengan naiknya Radèn Narayana ke takhta Keraton Mamênang Kadhiri. Dengan gelar Sri Bathara Aji Jayabaya, ia menjadi sosok yang dihormati pada tahun candrasangkala 839 atau dikenal dengan “têrusing gapura wolu.” Di bawah kepemimpinannya, Keraton Mamênang menjadi pusat pemerintahan yang kuat hingga akhirnya tampuk kekuasaan jatuh ke putranya, Prabu Jaya Hamijaya, pada tahun candrasangkala 883 atau “gunaning brahmana astha.”
Ketika Prabu Jaya Hamijaya wafat, putranya, Prabu Jayamisena, meneruskan warisan takhta pada tahun candrasangkala 890. Di bawah kepemimpinan Jayamisena, kerajaan ini terus berkembang. Namun, pada masa pemerintahan Prabu Kusuma Wicitra pada tahun candrasangkala 943, Keraton Mamênang mengalami musibah besar berupa banjir yang memaksa perpindahan pusat pemerintahan.
Pendirian Kraton Pengging Witaradya dan Pindahnya Pusat Pemerintahan
Prabu Kusuma Wicitra kemudian memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Mamênang ke Pengging. Pada tahun candrasangkala 953, ia mendirikan Kraton Pengging Witaradya, sebuah kerajaan baru yang diharapkan mampu menjaga stabilitas di tengah berbagai tantangan alam. Setelah memerintah di Pengging, Prabu Kusuma Wicitra wafat dan digantikan oleh putranya, Prabu Citrasoma, yang melanjutkan dinasti baru ini di tanah Pengging.
Para penguasa Pengging terus silih berganti, hingga pada era Prabu Anglingdriya. Prabu Anglingdriya, sebagai penerus tahta keempat di Pengging, menunjukkan kesetiaannya dalam mempertahankan wilayah kerajaan. Namun, dalam pergolakan politik, ia menyerahkan kekuasaan kepada menantunya, Prabu Darmamaya, setelah berhasil mengalahkan musuh kerajaan yang menyerang. Prabu Darmamaya akhirnya memimpin Pengging dan menjadi sosok yang dihormati oleh rakyatnya.
Serangan Majapahit dan Kekosongan Takhta
Namun, perjalanan kerajaan Pengging Witaradya tidak selalu mulus. Pada masa pemerintahan Prabu Madu Sumarma, kerajaan ini mengalami masa kelam ketika Majapahit, kerajaan yang sedang dalam puncak kejayaannya, menyerang dan menaklukkan Pengging. Sebagai akibatnya, Kraton Pengging Witaradya pun mengalami kekosongan pemerintahan dan jatuh di bawah kendali Majapahit.
Untuk beberapa waktu, Pengging berada dalam kekuasaan Majapahit. Namun, Prabu Brawijaya IV dari Majapahit kemudian menunjuk Arya Pandaya III sebagai Adipati di Pengging, yang dinikahkan dengan putrinya, Retno Mundri. Dengan demikian, Arya Pandaya III, atau yang dikenal juga dengan nama Arya Bubaran, memulai babak baru pemerintahan Pengging sebagai wilayah di bawah Majapahit.
Meniti Jejak Agung: Dari Adipati Handayaningrar hingga Kasultanan Pajang
Seiring berlalunya waktu, Kraton Pengging Witaradya memasuki era baru di bawah naungan Kerajaan Majapahit. Sepeninggal Arya Pandaya III, wilayah Pengging beralih kendali hingga pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya V. Sang prabu kemudian menikahkan putrinya, Retno Pembayun, dengan seorang pemuda bernama Jaka Sengoro. Perpaduan keluarga ini menandai titik penting dalam sejarah Pengging, karena Jaka Sengoro kemudian diangkat sebagai Adipati dengan gelar Adipati Handayaningrat. Setelah wafat, beliau dihormati dengan gelar anumerta Sri Makurung Prabu Handayaningrat, meninggalkan warisan yang akan membentuk garis keturunan berpengaruh.
Dari pernikahannya dengan Retno Pembayun, Adipati Handayaningrat menurunkan tiga anak: Ki Ageng Kebo Kanigoro, Ki Ageng Kebo Kenanga, dan Kebo Amiluhur. Putra kedua, Ki Ageng Kebo Kenanga atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging, melahirkan seorang putra bernama Mas Karebet yang kelak menorehkan sejarah tersendiri. Mas Karebet, seorang pemuda dari Dukuh Tingkir, dikenal akan keberanian dan karismanya. Keberaniannya tersebut membawanya ke takhta Kasultanan Pajang, di mana ia memerintah dengan gelar Sultan Hadiwijaya, atau biasa disebut dengan Kangjeng Sultan Hadiwijaya.
Kemunculan Sultan Hadiwijaya di Pajang pada tahun 1503 candrasangkala, “dahana muluk barat nêmpuh wani” menjadi simbol keberanian seorang perjaka yang menempuh jalan panjang hingga menduduki takhta. Kehadirannya sebagai raja tidak hanya menguatkan posisi Pajang, tetapi juga menjadi bukti perjalanan panjang darah Pengging yang berperan penting dalam percaturan sejarah tanah Jawa. Di sinilah, warisan Ki Ageng Pengging menemukan kemuliaannya, memperlihatkan bagaimana takdir dan sejarah menyatu dalam sosok seorang raja.
Ki Ageng Pengging dan Syekh Siti Jenar: Pengaruh dan Kontroversi
Pengging Witaradya bukan hanya tentang kekuasaan, namun juga pergulatan spiritual dan ideologis. Salah satu tokoh penting dalam sejarah ini adalah Ki Ageng Kebo Kenanga, yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Pengging. Setelah bertemu dengan Syekh Siti Jenar, seorang ulama kontroversial dari Wali Songo, Kebo Kenanga mendapatkan pengaruh ajaran Siti Jenar, yang mengajarkan konsep keberadaan Tuhan dalam segala ciptaan.
Baca Juga : Jadwal Tayang Squid Game 2 Beserta Daftar Pemainnya
Syekh Siti Jenar, yang kerap disebut juga dengan nama Syekh Lemah Abang, terkenal karena ajarannya yang berbeda dari pandangan ortodoks Islam kala itu. Kehadirannya menimbulkan kekhawatiran bagi Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak, yang merasa bahwa ajaran Siti Jenar, serta dukungannya terhadap Ki Ageng Pengging, dapat menjadi ancaman bagi Kesultanan Demak yang sedang tumbuh.
Dalam suasana politik yang tegang, Sultan Trenggana mengirimkan Sunan Kudus untuk menghadapi Ki Ageng Pengging. Menurut berbagai sumber, Ki Ageng Pengging akhirnya tewas di tangan Sunan Kudus setelah perdebatan sengit tentang ajaran spiritual mereka masing-masing. Peristiwa ini meninggalkan luka sejarah yang dalam, mengingat bahwa pembunuhan ini dianggap sebagai langkah politik untuk menjaga kekuatan Kesultanan Demak.
Dari Pengging Menuju Dinasti Mataram: Warisan Keturunan Ki Ageng Pengging
Meski Ki Ageng Pengging tewas, warisannya berlanjut melalui keturunannya yang kelak menjadi bagian penting dalam Dinasti Mataram. Putranya, yang dikenal dengan nama Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, mendirikan Kesultanan Pajang dan menjadi tokoh besar dalam sejarah Jawa. Silsilah ini terus berlanjut hingga cucunya, Pangeran Benowo, yang menjadi salah satu tokoh dalam sejarah Jawa dan mendirikan hubungan kekeluargaan dengan Panembahan Senopati, penguasa pertama Kerajaan Mataram Islam.
Kisah Ki Ageng Pengging tidak hanya sebatas kisah perlawanan dan spiritualitas, namun juga membentuk jaringan kekerabatan dengan kerajaan-kerajaan besar di Jawa, menjadikannya salah satu leluhur penting bagi Dinasti Mataram yang kemudian berkuasa di Jawa.
Situs Bersejarah dan Penghormatan Masa Kini
Hingga hari ini, warisan Pengging dan Ki Ageng Kebo Kenanga masih dapat ditemui di berbagai situs di Jawa, seperti Situs Tri Tingal di Dusun Centong, Desa Purworejo, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar. Situs ini dipercaya sebagai tempat pertemuan Ki Ageng Pengging, Syekh Siti Jenar, dan Sunan Kalijaga, yang juga merupakan sosok berpengaruh dalam Wali Songo. Situs-situs ini menjadi simbol penghormatan sekaligus saksi bisu dari sejarah panjang peradaban Jawa yang penuh liku.
Bagi masyarakat Jawa, kisah-kisah ini tidak hanya sejarah, namun juga bagian dari identitas mereka yang diwariskan dari generasi ke generasi. Masyarakat sekitar masih sering mengunjungi situs-situs ini, sebagai bentuk penghormatan sekaligus sarana refleksi atas sejarah yang membentuk tanah Jawa.
Kraton Pengging Witaradya dalam Pusaran Sejarah
Kraton Pengging Witaradya dan tokoh-tokoh yang pernah memimpin di sana menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Jawa. Mereka tidak hanya membangun pemerintahan, namun juga menyebarkan pengaruh budaya, spiritual, dan bahkan politik hingga ke generasi-generasi setelahnya. Dalam setiap peristiwa, baik konflik maupun perdamaian, kisah Pengging adalah cermin dari keteguhan, pengorbanan, dan ketidakabadian kekuasaan di muka bumi.
Warisan Pengging, dari Prabu Kusuma Wicitra hingga Ki Ageng Pengging, adalah bukti bahwa sejarah Jawa penuh dengan kompleksitas dan pelajaran berharga. Kini, kita sebagai penerus sejarah dapat menghargai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan menjadikannya cerminan untuk masa depan.