free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Yosodipuro I, Sang Pujangga dan Penjaga Perdamaian Surakarta-Yogyakarta

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

01 - Nov - 2024, 13:20

Placeholder
Makam Yosodipuro I di Pasarean Pengging, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. (Foto: Jejak Sejarah Mataram)

JATIMTIMES- Di balik kemegahan Keraton Surakarta, sosok bijaksana bernama Raden Ngabehi Yosodipuro I, atau yang lebih dikenal dengan nama Yasadipura I, tercatat dalam sejarah sebagai pujangga besar dan pembawa kedamaian di tengah pusaran konflik kerajaan. 

Dari asal-usulnya yang penuh makna hingga perannya dalam meredam pertikaian antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, perjalanan hidup Yosodipuro menggambarkan pengabdian tanpa batas kepada tanah Jawa. Ia hadir bukan hanya sebagai penulis, melainkan sebagai seorang pemimpin pemikiran yang membantu menyatukan dua kekuatan besar di Jawa. Inilah kisah yang tertulis dengan tinta kebijaksanaan seorang pujangga yang mengukir sejarah untuk masa depan.

Baca Juga : Harga BBM Non Subsidi Naik Per-1 November 2024, Pertamax Masih Stabil

Awal Kehidupan: Sebuah Cahaya dari Pengging
Lahir pada Jumat Pahing, 30 September 1729, di Pengging, Jawa Tengah, Yosodipuro I terlahir dengan nama kecil Bagus Subuh atau Bagus Banjar. Ia adalah putra dari Raden Tumenggung Padmanegara, seorang bangsawan yang berasal dari garis keturunan Kerajaan Pajang dan Mataram, dan Siti Maryam, putri dari seorang ulama besar, Kholifah Khorib. 

Sejak kecil, Bagus Banjar menunjukkan tanda-tanda keistimewaan—sebuah ndaru, cahaya kehormatan berwarna hijau dengan semburat putih, tampak masuk ke rumah keluarganya sesaat sebelum kelahirannya.

Tanda keistimewaan ini makin terlihat saat ia hanya menyukai pisang ambon hingga usia lima tahun dan kerak nasi (intip) sesudahnya. Pada usia delapan tahun, Bagus Banjar diantar ayahnya untuk belajar di perguruan Kyai Honggoboyo di Bagelen, Kedu. 

Di sana, ia mendalami ilmu agama, bahasa Jawa dan Arab, serta sastra, sekaligus memperkuat ilmu kebatinan melalui puasa mutih, ngrowot, dan ngebleng. Setelah menyelesaikan pendidikannya dengan cepat, Bagus Banjar kembali ke Pengging, siap mengabdi untuk Mataram.

Mengabdi di Tengah Konflik Kerajaan
Pada usia 14 tahun, Bagus Banjar menghadap Sunan Pakubuwono II di Ponorogo saat Mataram tengah dilanda Geger Pacinan, pemberontakan besar yang menghancurkan Keraton Kartasura. Saat itu, Sunan dan para pengikutnya terpaksa mengungsi ke Desa Kentheng. Bagus Banjar diterima sebagai prajurit dan menjadi bagian dari "Kuda Pengawe," yang bertugas merawat pusaka keraton, termasuk Kiai Cakra. Perannya ini memperkenalkannya pada adat dan tata cara keraton, hingga kemudian diangkat menjadi Carik Keraton dengan gelar Raden Ngabehi Yosodipuro I.

Garis Keturunan Raden Ngabehi Yosodipuro

Raden Ngabehi Yosodipuro I tidak hanya dikenal karena pengabdiannya yang besar di Keraton Surakarta, tetapi juga karena keturunan dan garis leluhur yang mulia. Yosodipuro merupakan keturunan kedelapan dari Sultan Hadiwijaya, atau yang lebih dikenal sebagai Raden Jaka Tingkir, pendiri Kerajaan Pajang. 

Garis keturunannya yang mulia ini dimulai dari Sultan Hadiwijaya yang kemudian menurunkan Pangeran Adipati Banawa, dan dilanjutkan ke Pangeran Emas, Adipati Pajang. Selanjutnya, keturunan tersebut diteruskan ke Pangeran Arya Prabuwijaya, Pangeran Arya Wiramanggala dari Kajoran, Pangeran Adipati Wiramanggala di Cengkal Sewu, dan Kanjeng Pangeran Arya Danupaya. 

Pada generasi berikutnya, garis ini dilanjutkan oleh Raden Tumenggung Arya Padmanagara yang bertempat di Pekalongan sebelum akhirnya menurunkan Raden Ngabehi Yosodipuro I, sang pujangga besar Keraton Surakarta.

Dengan garis keturunan ini, Yosodipuro tidak hanya membawa darah kebangsawanan, tetapi juga keilmuan dan kebijaksanaan yang diwariskan dari leluhur-leluhurnya. Kedudukannya di Keraton Surakarta sebagai pujangga pun menjadi lebih bermakna, karena ia dianggap sebagai penerus tradisi kebudayaan dan keilmuan yang telah lama berkembang sejak era Pajang. 

Garis leluhur Yosodipuro turut memberi pengaruh dalam perannya membangun perpustakaan keraton serta melestarikan sastra Jawa, termasuk menerjemahkan karya-karya penting dari bahasa Jawa Kuno ke dalam bahasa Jawa baru, sehingga dapat diakses dan dipahami lebih luas oleh masyarakat Jawa.

Peran dalam Pembangunan Keraton Surakarta
Ketika Sunan Pakubuwono II memutuskan memindahkan keraton dari Kartasura ke Surakarta setelah kerusakan akibat Geger Pacinan, Yosodipuro berperan penting dalam pembangunan keraton baru. Pembangunan dimulai di daerah Sala, sekitar Rawa Kedungkul, namun menemui hambatan besar saat air rawa tidak dapat dikeringkan. 

Yosodipuro bersama Pangeran Wijil melakukan tapa-brata selama tujuh hari tujuh malam. Melalui laku spiritual ini, Yosodipuro mendapat petunjuk untuk memenuhi syarat-syarat spiritual—sebuah gong sekar delima, tumpukan daun lumbu, dan korban simbolis waranggana.

Setelah kendala rawa teratasi, pembangunan keraton dilakukan dengan peran Yosodipuro dan beberapa tokoh lainnya, termasuk Mayor Hogendorp, Adipati Pringgalaya, dan Tumenggung Tirtawiguna sebagai pelaksana konstruksi. Yosodipuro dan Kiai Tohjoyo bertanggung jawab atas aspek perlambang dan keindahan bangunan, memastikan keraton tidak hanya megah namun sarat akan nilai-nilai simbolik budaya Jawa.

Menyelesaikan Persoalan dalam Keluarga Kerajaan
Raden Ngabehi Yosodipuro juga dikenal atas kebijaksanaannya dalam menangani persoalan keluarga kerajaan. Ketika jenazah Sunan Pakubuwono II sulit dimakamkan di Astana Laweyan, Yosodipuro mendapatkan petunjuk spiritual bahwa sang Sunan menginginkan untuk dimakamkan di Imogiri. 

Permasalahan ini akhirnya diselesaikan dengan janji pemindahan jenazah Sunan ke Imogiri jika situasi kerajaan sudah kondusif. Permintaan tersebut dipenuhi pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono III, yang akhirnya memindahkan jenazah ke Pajimatan Imogiri.

Meredakan Konflik Antara Kasunanan dan Kasultanan Yogyakarta
Pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono III, konflik panjang antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta mencapai puncaknya. Sultan Hamengkubuwono I menginginkan pernikahan antara putranya dan Raden Ajeng Sentul, putri dari Sunan PB III, namun lamaran ini tak kunjung ditanggapi dengan jelas. Merasa diremehkan, Sultan HB I menyatakan bahwa ia akan memusuhi siapapun yang menjadi suami R.A. Sentul.

Yosodipuro kemudian diminta Sunan PB III untuk menyelesaikan masalah ini. Dengan kebijaksanaan dan pemahamannya akan ikatan keluarga, Yosodipuro menyarankan agar R.A. Sentul dinikahkan dengan keturunan KPH Hadiwijaya yang merupakan tokoh yang pernah berjasa besar pada Sultan HB I. Akhirnya, Raden Sumawijaya dari keluarga KPH Hadiwijaya dinikahkan dengan GBRAy Sentul, yang sekaligus mengakhiri ketegangan di antara kedua kerajaan.

Atas jasa besar Yosodipuro dalam mendamaikan hubungan antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Sultan HB I memberikan berbagai hadiah sebagai ungkapan terima kasih. Yosodipuro memilih tanah di Pengging Ngaliyan, yang nantinya akan menjadi tempat pemakamannya dan keturunannya. Hingga akhir hayatnya, Yosodipuro terus dihormati sebagai figur bijaksana yang membawa harmoni dalam konflik, baik melalui syair, pemikiran, maupun tindakan nyata.

Konflik Keraton Surakarta: Pengepungan oleh Belanda dan Kasultanan Yogyakarta

Baca Juga : Sosok Habib Nizar Tegalrejo, Pendakwah Muda yang Digerebek Warga di Rumah Istri Orang

Pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono IV, Keraton Surakarta mengalami krisis politik yang melibatkan kekuatan asing, yakni Belanda dan Kasultanan Yogyakarta. Konflik ini bermula dari keengganan Sunan Pakubuwono IV untuk menyerahkan sejumlah abdi dalem sekaligus gurunya kepada Belanda. Kelima tokoh tersebut, yaitu Kiai Bahman, Kiai Nur Soleh, Tumenggung Wirowirejo, Tumenggung Sujonopuro, dan Tumenggung Prawirodigdo, diketahui memberikan nasihat-nasihat yang mempengaruhi keputusan Sunan dan menimbulkan keresahan bagi pihak Belanda serta Yogyakarta.

Para guru Sunan ini dikenal sering melancarkan fitnah terhadap tokoh-tokoh istana yang dianggap menghalangi tujuan mereka, termasuk Tumenggung Mangkuyuda dan Tumenggung Pringgalaya, yang akhirnya diberhentikan dari jabatan tanpa alasan yang jelas. Mereka bahkan berambisi untuk mengembalikan Kasultanan Yogyakarta ke bawah kekuasaan Surakarta.

Sunan Pakubuwono IV yang masih berusia 23 tahun saat itu, belum memiliki kewibawaan yang cukup stabil sebagai pemimpin. Pengaruh kuat dari para guru ini menyebabkan ia kerap menyerahkan berbagai urusan kraton kepada mereka, hingga mereka bertindak mendahului titah sang raja.

Akibatnya, Belanda melihat ketidakstabilan ini sebagai ancaman. Setelah beberapa kali permintaan Belanda untuk menyerahkan kelima guru tersebut tidak diindahkan, Belanda bersama Kasultanan Yogyakarta memutuskan untuk mengepung Keraton Surakarta.

Saat pengepungan berlangsung, Sunan meminta nasihat dari Raden Ngabehi Yosodipuro, seorang pujangga keraton yang dihormati. Yosodipuro menyarankan agar Sunan menyerahkan kelima tokoh yang diminta. Demi menjaga stabilitas kerajaan, Sunan akhirnya mengikuti nasihat tersebut dan menangkap kelima guru tersebut, menyerahkannya kepada Belanda. Keputusan ini menandai pemulihan hubungan antara Surakarta, Yogyakarta, dan Belanda, serta membawa stabilitas kembali ke Keraton Surakarta.

Raden Ngabehi Yosodipuro I: Pujangga dan Penjaga Sastra Keraton

Raden Ngabehi Yosodipuro I memiliki jasa besar bagi Keraton Surakarta, terutama dalam melestarikan karya sastra. Sebagai pujangga keraton, ia bertanggung jawab menjaga, memelihara, dan menyebarluaskan karya sastra Jawa kuno. 

Ia membangun perpustakaan keraton dan menerjemahkan teks-teks Jawa kuno ke bahasa Jawa baru agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat luas. Kontribusinya di bidang sastra Jawa terbagi dalam dua kategori utama: "mbangun" dan "serat-serat enggal."

Di antara karya "mbangun" Yosodipuro adalah Bharatayuda, Ramayana, Dewa Ruci, Serat Tajussalatin, dan Serat Paniti Sastra. Kategori serat enggal mencakup teks sejarah seperti Babad Giyanti, Babad Pacinan, dan Babad Gabolek. Berkat dedikasinya, sastra Jawa dapat dinikmati dan dipahami oleh masyarakat, sekaligus memperkaya warisan budaya keraton.

Penolakan Yosodipuro atas Jabatan Patih Kraton

Sunan Pakubuwono IV sangat menghargai jasa-jasa besar Raden Ngabehi Yosodipuro I, terutama dalam perannya sebagai pujangga utama Keraton Surakarta. Keberhasilan Yosodipuro dalam melestarikan dan mengembangkan karya sastra Jawa membuatnya menjadi tokoh terhormat di lingkungan keraton. Sunan Pakubuwono IV, yang mengagumi dedikasinya, berniat mengangkat Yosodipuro sebagai Patih Keraton Surakarta. Namun, Yosodipuro menolak jabatan tinggi ini dengan halus. Usianya yang sudah lanjut menjadi salah satu alasan utama ia menolak tanggung jawab besar tersebut, dan ia merasa lebih nyaman melanjutkan perannya sebagai pujangga yang mengabdikan diri di bidang sastra.

Sebagai bentuk penghormatan atas keputusan Yosodipuro, Sunan Pakubuwono IV berkenan mengangkat tiga putra Yosodipuro sebagai abdi dalem di lingkungan kraton. Ketiga putra ini adalah Raden Tumenggung Sastranagara, yang diberi gelar Yasadipura II dan diangkat sebagai Bupati Carik; Raden Tumenggung Yasadipura III, yang diangkat sebagai Bupati Kadipaten; dan Raden Tumenggung Amongpraja, yang diangkat sebagai Bupati Jaksa. 

Dengan keputusan ini, Sunan Pakubuwono IV berharap nilai-nilai luhur yang dijalankan Yosodipuro dalam kehidupan keraton dapat diteruskan oleh keturunannya.

Raden Ngabehi Yosodipuro I bukan sekadar pujangga, tetapi simbol kebijaksanaan yang mampu melampaui sekat-sekat kekuasaan. Keahlian sastranya, yang kemudian membuatnya dikenal sebagai Pujangga Anom, terus dikenang hingga kini sebagai bagian dari warisan budaya Keraton Surakarta. Keberhasilannya dalam memadukan laku spiritual, seni, dan kebijaksanaan politik menjadi warisan bagi generasi penerus.

Sosoknya menjadi teladan bagi Jawa, tidak hanya karena karya sastra yang ia ciptakan, tetapi karena kedalaman pengabdian yang ia tunjukkan sepanjang hidupnya.

Raden Ngabehi Yosodipuro I meninggal pada hari Senin Kliwon, 20 Dulkangidah, tahun Wawu 1728 (26 April 1802), dalam usia 74 tahun. Ia dimakamkan di Pasarean Pengging, di belakang Masjid Ciptamulya. Warisannya, terutama dalam bentuk karya sastra, tetap dihormati dan menjadi fondasi bagi kesusastraan Jawa hingga kini.


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya Keraton Surakarta Raden Ngabehi Yosodipuro I Sejarah Indonesia



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Sri Kurnia Mahiruni