free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Jejak Pangeran Purbaya: Antara Pengorbanan dan Kehormatan Keluarga Kerajaan Mataram

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

28 - Oct - 2024, 10:54

Placeholder
makam Pangeran Purbaya, tempat peristirahatan terakhir seorang bangsawan Mataram yang diwarisi legenda dan kebijaksanaan. (Foto: Ist/Jejak Sejarah Mataram)

JATIMTIMES - Kisah perjalanan hidup Pangeran Purbaya, putra Panembahan Senopati, adalah rangkaian kisah penuh pengorbanan dan nilai-nilai luhur keluarga kerajaan Mataram. 

Dari pernikahan tak sempurna hingga tragedi pengorbanan ibunya, Niken Purwasari, Pangeran Purbaya meniti jalan penuh ujian dalam usahanya memahami dan menjalankan takdirnya. 

Baca Juga : Isi Lengkap Ikrar Sumpah Pemuda dan Maknanya

Perjalanan tersebut tidak hanya membentuk dirinya sebagai seorang ksatria, tetapi juga mewariskan jejak pengabdian yang menjadi bagian dari sejarah Mataram.

Pada masa kejayaan Mataram, sebuah wahyu yang disebut “Wahyu Gagak Emprit” muncul sebagai pertanda. Ki Ageng Pemanahan, ayah dari Danang Sutawijaya, merasa bahwa putranya perlu mendapat pendamping yang sesuai dengan jalan spiritual yang telah digariskan oleh wahyu tersebut. 

Maka, diputuskanlah untuk menjodohkan Danang Sutawijaya, yang kelak dikenal sebagai Panembahan Senopati, dengan Niken Purwasari atau Rara Lembayung, putri dari Ki Ageng Giring III. Namun, Danang Sutawijaya tidak memiliki ketertarikan yang mendalam pada Niken Purwasari. 

Meski demikian, pernikahan tetap dilangsungkan di kediaman Ki Ageng Giring III, menandai awal dari kisah tragis yang melibatkan cinta, pengorbanan, dan ikatan keluarga.

Beberapa minggu setelah pernikahan tersebut, Danang Sutawijaya memutuskan untuk kembali ke Pajang dan meninggalkan Niken Purwasari dengan sebuah keris tanpa sarung. 

Sebuah benda yang kelak akan menjadi simbol bukti dirinya sebagai ayah dari anak yang akan lahir dari Niken Purwasari. Tak lama setelah itu, Niken Purwasari melahirkan seorang putra yang diberi nama Jaka Umbaran, yang diasuh dan dibesarkan oleh sang ibu dan kakeknya, Ki Ageng Giring III. 

Dalam asuhan keluarga besar Giring, Jaka Umbaran tumbuh menjadi sosok yang ingin tahu akan identitas ayahnya.

Ketika Jaka Umbaran beranjak dewasa, ia mulai mempertanyakan asal-usulnya dan menanyakan sosok ayahnya kepada sang ibu. Meski enggan, Niken Purwasari akhirnya mengakui bahwa ayah Jaka Umbaran adalah seorang bangsawan besar di Kotagede. 

Berbekal keris tanpa sarung yang ditinggalkan oleh ayahnya, Jaka Umbaran berangkat ke Kotagede untuk mencari sosok yang telah mengikat dirinya dalam keluarga besar Mataram. 

Setibanya di Kotagede, Jaka Umbaran berhasil bertemu dengan Panembahan Senopati, yang saat itu telah menjadi Raja Mataram. Namun, sang ayah enggan menerima Jaka Umbaran begitu saja sebagai putranya.

Panembahan Senopati memberikan syarat yang harus dipenuhi oleh Jaka Umbaran jika ingin diakui sebagai anaknya. Syarat tersebut adalah membuat sarung keris yang harus terbuat dari kayu khusus bernama Purwasari, sebuah kayu yang ternyata memiliki makna mendalam. 

Jaka Umbaran kembali ke Sodo di Gunungkidul dan menyampaikan syarat yang diajukan oleh ayahnya kepada ibunya, Niken Purwasari. Mendengar permintaan tersebut, sang ibu langsung memahami maksud Panembahan Senopati. 

Kayu Purwasari sebenarnya merujuk pada dirinya sendiri sebagai pendamping yang sah bagi Panembahan Senopati. Dalam suatu tindakan penuh pengorbanan, Niken Purwasari atau Rara Lembayung mengambil keris peninggalan suaminya dan menusukkannya ke perutnya sendiri, sebuah tindakan yang menggambarkan cinta dan kesetiaannya sebagai seorang ibu.

Setelah wafat, Rara Lembayung dimakamkan di Sodo Paliyan, memenuhi keinginan terakhirnya untuk dimakamkan di tempat yang mulia. Jaka Umbaran, dengan hati yang sedih, kembali ke Kotagede untuk menyampaikan kematian tragis ibunya kepada Panembahan Senopati.

Baca Juga : Latar Belakang Mira Hayati, Ratu Emas yang Kini Bisnisnya Sedang Menjadi Sorotan

Mendengar cerita tersebut, Panembahan Senopati terdiam dan merasakan penyesalan mendalam. Dalam keheningan itu, Panembahan Senopati akhirnya mengakui Jaka Umbaran sebagai putranya, dan memberinya nama kehormatan Raden Purbaya atau Pangeran Purbaya. 

Sebagai bentuk penghormatan kepada mendiang istrinya, Panembahan Senopati juga memberikan gelar anumerta kepada Niken Purwasari sebagai Kanjeng Ratu Giring.

Di Kraton Mataram, Pangeran Purbaya menerima pendidikan keras dalam seni bela diri, ilmu agama, dan berbagai ilmu kehidupan lainnya. Ia dikenal sebagai sosok pemberani dan terampil di medan perang, bahkan beberapa kali mendampingi Panembahan Senopati dalam berbagai pertempuran. 

Salah satu pertempuran besar yang ia ikuti adalah melawan penguasa Madiun, Pangeran Timur, yang dikenal dengan sebutan “Bedhah Madiun.” Perang tersebut menandai ketangguhan Pangeran Purbaya sebagai ksatria yang mewarisi semangat perjuangan ayahnya.

Meski Pangeran Purbaya adalah putra sulung Panembahan Senopati, takdirnya tidak menempatkannya sebagai pewaris takhta Mataram. Ia menerima kenyataan tersebut dengan lapang dada, dan terus mengabdi pada kerajaan. Namun, garis keturunannya kelak berperan penting dalam sejarah Mataram, di mana salah satu keturunannya pada generasi kelima diangkat sebagai raja Mataram dengan gelar Susuhunan Pakubuwana I.

Sebagai seorang yang menjunjung tinggi nilai keluarga dan amanah, Pangeran Purbaya tidak melupakan pesan terakhir ibunya. Beberapa tahun kemudian, ia memutuskan untuk menepati pesan tersebut dan memindahkan makam ibunya ke tempat yang lebih mulia. 

Dengan penuh kesabaran dan bakti, ia menggali makam ibunya di Sodo Paliyan dan memasukkan tulang belulang ibunya ke dalam sebuah peti. Pangeran Purbaya kemudian berkelana mencari tempat yang dianggapnya mulia untuk memakamkan sang ibu.

Suatu malam, dalam perjalanan tersebut, ia melihat cahaya terang yang turun dari langit. Mengikuti cahaya itu, ia berjalan hingga sampai di suatu tempat di mana cahaya tersebut jatuh dan menghilang. 

Tempat itu diyakini oleh Pangeran Purbaya sebagai lokasi yang dimaksudkan ibunya. Dengan penuh khidmat, ia memakamkan kembali tulang belulang ibunya di sana dan memberi nama tempat tersebut “Wot Galeh.”

Perjalanan hidup Pangeran Purbaya menggambarkan kisah penuh pengorbanan, kehormatan, dan cinta seorang anak terhadap orang tuanya. Meski lahir dalam ikatan pernikahan yang penuh konflik, ia berhasil menjadi bagian dari sejarah besar Mataram. Perjalanan hidupnya memberikan pelajaran tentang pentingnya menghormati amanah dan menjaga kehormatan keluarga.

Pangeran Purbaya dikenang bukan hanya sebagai putra Panembahan Senopati, tetapi juga sebagai ksatria yang memegang teguh nilai-nilai luhur. 

Namanya abadi dalam sejarah dan legenda Mataram, sementara Wot Galeh menjadi simbol pengabdian dan penghormatan terakhirnya kepada ibunya, Kangjeng Ratu Giring.


Topik

Serba Serbi pangeran purbaya kerajaan mataram



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana