JATIMTIMES- Di balik rimbunnya hutan Alas Mentaok yang kini tinggal cerita, tersembunyi sejarah panjang yang menjadi landasan berdirinya kerajaan besar di tanah Jawa. Hutan ini menyimpan jejak-jejak peradaban yang terhubung dengan kejayaan Wangsa Sanjaya dan Syailendra, serta perjalanan tokoh-tokoh spiritual yang berpengaruh dalam perkembangan Islam di Nusantara. Dari situs ini pula, kelak Mataram Islam berdiri, menjadikan Alas Mentaok sebagai saksi bisu lahirnya sejarah baru di tanah Jawa.
Kemegahan Mataram Kuno dan Hilangnya Sebuah Kerajaan
Baca Juga : Disperindag Kabupaten Malang Luncurkan Titik Kedua Pasar Murah di Gedangan
Alas Mentaok, kini hanya dikenang sebagai hutan belukar yang ditumbuhi pohon-pohon liar, dulunya merupakan pusat dari sebuah kerajaan besar. Pada abad ke-8 hingga akhir abad ke-10, di sini berdiri Kerajaan Mataram Kuno.
Kerajaan ini menjadi rumah bagi dua dinasti terbesar di Jawa: Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu dan Wangsa Syailendra yang beragama Buddha. Kejayaan Mataram Kuno dibuktikan dari banyaknya prasasti dan candi-candi megah yang ditemukan di wilayah ini, menggambarkan era keemasan dua dinasti tersebut.
Namun, kejayaan itu mulai meredup ketika perang saudara mengguncang kerajaan, diperparah dengan bencana alam besar berupa letusan Gunung Merapi. Letusan ini menghancurkan istana dan pemukiman penduduk, membuat para penguasa Mataram Kuno harus mengambil keputusan berat untuk memindahkan ibu kota ke wilayah Jawa bagian timur. Sejak saat itu, Mataram Kuno menjadi kota mati, hanya menyisakan reruntuhan dan legenda yang tertutupi oleh lebatnya semak belukar Alas Mentaok.
Kedatangan Syech Jumadil Qubro dan Awal Syiar Islam
Berabad-abad setelah kerajaan Mataram Kuno runtuh, sekitar awal abad ke-13, sebuah perahu besar menepi di pinggiran Alas Mentaok. Dari perahu itu turun seorang tokoh yang akan mengubah sejarah tempat tersebut. Dia adalah Syech Jumadil Qubro, seorang ulama besar dari negeri seberang yang memiliki ilmu spiritual tinggi. Bersama dengan pengikutnya, Syech Jumadil Qubro mulai membuka hutan dan mendirikan bangunan tempat tinggal serta langgar untuk beribadah.
Alas Mentaok perlahan berubah menjadi pemukiman yang ramai. Banyak orang berdatangan ke tempat ini untuk melakukan transaksi jual beli dan mencari ilmu agama. Syech Jumadil Qubro mendirikan sebuah padepokan di mana para penduduk belajar agama Islam. Sebagai penghormatan atas perannya dalam membuka Alas Mentaok yang merupakan wilayah bekas kerajaan Mataram Kuno, beliau diberi gelar Ki Ageng Mataram I.
Namun, tidak lama kemudian, Syech Jumadil Qubro melanjutkan perjalanan dakwahnya ke daerah lain, meninggalkan Alas Mentaok yang telah berkembang sebagai pusat peradaban baru.
Jejak Sunan Kalijaga dan Pohon Beringin Penanda Masa Depan
Tokoh spiritual lainnya yang meninggalkan jejak di Alas Mentaok adalah Sunan Kalijaga, yang juga dikenal sebagai Syech Malaya. Sebagai seorang wali yang waskitho, ia dikenal memiliki kemampuan untuk membaca tanda-tanda masa depan. Di tepi sebuah sendang atau mata air di Alas Mentaok, Sunan Kalijaga menanam tiga pohon beringin sembari berujar, "Kelak daerah ini akan menjadi wilayah yang makmur."
Ternyata, ramalan itu bukan hanya sekedar kata-kata. Di kemudian hari, di tempat inilah berdiri Kerajaan Mataram Islam yang menjadi salah satu kerajaan terbesar di Jawa. Tiga pohon beringin itu menjadi simbol penting dari kemakmuran yang akan diraih wilayah ini, seperti yang telah diramalkan oleh Sunan Kalijaga.
Kedatangan Raden Djoyoprono: Pangeran yang Menolak Perebutan Kekuasaan
Pada masa akhir Kerajaan Demak, di tengah kekacauan politik dan perebutan kekuasaan, muncul seorang pangeran yang memilih jalan berbeda dari kerabatnya. Pangeran itu adalah Raden Djoyoprono, putra Sunan Prawata, raja terakhir Demak. Berbeda dengan keluarganya yang terlibat dalam konflik kerajaan, Raden Djoyoprono memilih jalur spiritual dan agama. Ia enggan terlibat dalam perebutan kekuasaan di Kraton Demak dan lebih memilih menjalankan syiar Islam, sebuah misi yang dipercayakan kepadanya oleh Para Wali.
Silsilah Raden Djoyoprono berasal dari garis keturunan bangsawan terhormat. Ayahnya, Sunan Prawata, adalah putra Sunan Trenggana, penguasa besar yang memimpin Kraton Demak pada puncak kejayaannya. Sunan Prawata menikah dengan Ratu Mas Panenggak, putri Panembahan Agung dari Surabaya, yang merupakan cucu Batara Katong, Adipati Ponorogo. Dari pernikahan ini lahirlah dua putra, yaitu Raden Djoyoprono dan Raden Wilasmoro, yang kelak dikenal sebagai Panembahan Wilasmoro di Kediri.
Raden Djoyoprono, yang kemudian dikenal dengan nama Ki Ageng Mataram II, memutuskan untuk meninggalkan intrik politik Demak dan menetap di Alas Mentaok. Di tempat ini, ia menemukan kedamaian dan kesempatan untuk menyebarkan ajaran Islam. Alas Mentaok sendiri, saat itu, masih berupa hutan belantara yang penuh dengan misteri dan jejak sejarah Mataram Kuno. Ki Ageng Mataram II mendirikan padepokan dan langgar, mengajarkan ilmu agama kepada penduduk sekitar. Kehadirannya membuat kawasan itu perlahan-lahan berkembang menjadi pusat spiritual yang ramai.
Baca Juga : Polres Blitar Kota Terapkan Tilang Manual dan Elektronik dalam Operasi Zebra Semeru 2024
Pada masa yang sama, Kesultanan Pajang sedang berada di puncak kekuasaan di bawah kepemimpinan Sultan Hadiwijaya. Salah satu orang kepercayaannya, Ki Ageng Pamanahan, berhasil mengalahkan Arya Penangsang, musuh besar Pajang, dan sebagai imbalannya diberikan sebidang tanah luas di Alas Mentaok. Ki Ageng Pamanahan, bersama keluarganya, meninggalkan Dukuh Manahan dan memulai perjalanan menuju Alas Mentaok untuk mengklaim hadiah dari Sultan.
Sesampainya di Alas Mentaok, Ki Ageng Pamanahan bertemu dengan Ki Ageng Djoyoprono, yang telah lama menetap di sana. Ki Ageng Pamanahan menjelaskan bahwa ia datang atas perintah Sultan Hadiwijaya untuk menguasai tanah tersebut. Namun, Ki Ageng Djoyoprono, yang telah lama tinggal di Alas Mentaok sebelum berdirinya Pajang, menyatakan bahwa ia berhak atas wilayah itu. Terjadi dialog yang mendalam di antara mereka, hingga akhirnya Ki Ageng Djoyoprono bersedia meninggalkan tempat itu dengan satu syarat: Ki Ageng Pamanahan harus menggendongnya dan memindahkannya sepuluh langkah dari tempat ia tinggal.
Ki Ageng Pamanahan menyetujui syarat itu. Namun, saat mulai menggendong Ki Ageng Djoyoprono, ia hanya mampu melangkah dua langkah sebelum merasa berat luar biasa, sebab tanpa sepengetahuannya, Ki Ageng Djoyoprono menggunakan kesaktiannya untuk menambah berat tubuhnya. Melihat kesulitan Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Djoyoprono pun mengizinkannya untuk tinggal di Alas Mentaok bersama keluarganya. Ki Ageng Djoyoprono kemudian pindah ke wilayah yang dinamakan Dukuh Djoyopranan dan mendirikan langgar serta padepokan di sana. Wilayah ini menjadi tempat tinggal barunya, dan langgar tersebut dikenal dengan nama Langgar Djoyopranan.
Hubungan antara Ki Ageng Pamanahan dan Ki Ageng Djoyoprono tidak berhenti di situ. Ki Ageng Pamanahan sangat menghormati Ki Ageng Djoyoprono, dan pada akhirnya ia diangkat menjadi guru spiritualnya. Sebagai bentuk penghormatan, Ki Ageng Pamanahan memberikan gelar Panembahan Djoyoprono kepada Ki Ageng Djoyoprono. Gelar tersebut menandakan kedudukan tinggi dalam dunia keagamaan dan spiritual.
Setelah wafatnya Panembahan Djoyoprono, ia dimakamkan di tempat yang sangat dihormati, yaitu di Dalem Pendopo Tajug, di sebelah kanan makam Nyai Ageng Henis di Astana Kotagede. Makam ini menjadi saksi bisu perjalanan spiritual dan peran besar Ki Ageng Djoyoprono dalam sejarah Mataram Islam, yang kelak akan berkembang menjadi salah satu kerajaan terbesar di tanah Jawa.
Dengan demikian, kisah Ki Ageng Djoyoprono tidak hanya menjadi bagian dari sejarah penyebaran Islam di Jawa, tetapi juga menjadi bagian penting dari fondasi awal berdirinya Dinasti Mataram Islam. Keberadaannya di Alas Mentaok dan interaksinya dengan Ki Ageng Pemanahan menjadi titik awal dari transformasi wilayah itu menjadi pusat kekuasaan yang besar, yaitu Kotagede, yang kelak menjadi ibu kota Kesultanan Mataram.
Kotagede: Awal Berdirinya Mataram Islam
Setelah berdamai dengan Ki Ageng Djoyoprono, Ki Ageng Pamanahan mulai mengembangkan Alas Mentaok sesuai dengan arahan dari Sunan Kalijaga. Di sekitar pohon beringin yang ditanam Sunan Kalijaga, ia mendirikan bangunan perdikan serta sendang yang dinamakan Sendang Seliran. Tak hanya itu, sebuah masjid juga didirikan sebagai pusat spiritual bagi penduduk yang mulai berdatangan.
Seiring waktu, wilayah ini berkembang pesat. Banyak pedagang dan pendatang yang menetap di sini, menjadikan Alas Mentaok sebagai pusat perdagangan dan agama. Wilayah ini kemudian dikenal dengan nama Kotagede ing Mataram, kota besar yang menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram Islam.
Ki Ageng Pamanahan, yang kelak dikenal sebagai Ki Ageng Mataram III, menjadi tokoh kunci dalam pendirian kerajaan ini. Peran besarnya tidak hanya sebagai seorang pemimpin, tetapi juga sebagai pelanjut dari tradisi spiritual dan keagamaan yang telah ditanamkan oleh para pendahulunya, termasuk Syech Jumadil Qubro dan Sunan Kalijaga.
Alas Mentaok bukan sekadar hutan yang penuh legenda, melainkan saksi bisu perjalanan panjang peradaban yang pernah berjaya di tanah Jawa. Dari kejayaan Mataram Kuno, kedatangan tokoh spiritual besar, hingga lahirnya Mataram Islam, setiap lapisan sejarahnya menyimpan cerita-cerita yang terus dikenang hingga hari ini. Kini, Kotagede berdiri megah di atas tanah yang dulu dikenal sebagai Alas Mentaok, mengingatkan kita bahwa dari reruntuhan dan hutan belantara, peradaban baru bisa lahir dengan kejayaan yang jauh lebih besar.