JATIMTIMES - Pada masa peperangan suksesi di Jawa, Pangeran Sambernyawa adalah gambaran hidup yang dipenuhi dengan kegemerlapan keduniawian. Setiap kemenangan yang diraih dalam pertempuran selalu diiringi dengan pesta pora yang meriah, minuman keras mengalir deras dan tarian riang menggema hingga larut malam. Namun, siapa yang dapat memprediksi bahwa di akhir hayatnya, Sambernyawa akan menjadi sosok yang saleh dan mencintai Al-Qur'an?
Dalam masa perang Suksesi Jawa Ketiga yang mengguncang Jawa, Pangeran Sambernyawa menghadapi momen pahit ketika ia terpaksa mengirimkan surat kepada Pangeran Mangkubumi, mengakui kekalahan yang dideritanya dalam pertempuran.
Baca Juga : Deutsch Club SAC Jerman Corner: Belajar Bahasa Jerman lewat Pengalaman Seru di Dunia Belanja
Respons dari Mangkubumi menjadi sebuah cerminan kebijaksanaan dan keprihatinan yang mendalam. Dalam surat balasannya, Mangkubumi menasihati Sambernyawa agar meninggalkan gaya hidup pesta pora yang melibatkan gadis-gadis penari. Baginya, kesenangan duniawi semacam itu dapat menghalangi Sambernyawa dari petunjuk agama dan pertolongan ilahi dalam pertempuran yang akan datang.
Namun siapa yang menyangka, pada akhir hayatnya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, yang dikenal dengan julukan Pangeran Sambernyawa, meninggalkan jejak kesalehan yang luar biasa. Meskipun masa mudanya diliputi oleh kemenangan dalam pertempuran yang dirayakan dengan pesta, transformasi spiritualnya menjadi sorotan terbesar.
Pangeran ini, yang merupakan pendiri Pura Mangkunegaran dan Pahlawan Nasional Indonesia, telah menunjukkan cinta yang mendalam pada Al Quran di akhir kehidupannya.
Lahir dengan nama Raden Mas Said pada tanggal 7 April 1725, Pangeran Sambernyawa dikenal akan ketangguhannya dalam medan pertempuran. Nama "Sambernyawa" diberikan oleh Nicholas Hartingh, perwakilan Gubernur VOC untuk Pantai Timur Jawa, yang mengagumi keberanian dan kemampuannya untuk membawa kematian bagi musuh-musuhnya dalam berbagai pertempuran.
Kesalehan Pangeran Sambernyawa tidak hanya tercermin dari peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah, tetapi juga melalui catatan harian pribadinya yang memperlihatkan sisi spiritualnya di penghujung kehidupannya. Buku harian itu bukan hanya sekadar kumpulan kata-kata, tetapi sebuah cahaya yang menerangi pemahaman kita tentang kehidupan Mangkunegara I.
Dari catatan-catatan itu, kita bisa merasakan varian Islam yang dipeluknya, sebuah religiositas pribadi yang khas. Di Jawa, corak Sintesis Mistik Islam mendominasi, terutama di kalangan elite, seperti yang ditemukan dalam sumber-sumber sejarah sezaman. Namun, corak ini juga meresap hingga ke lapisan masyarakat lainnya.
Dalam penulisan bab ke-7 buku harian itu, Pangeran Sambernyawa menegaskan tiga karakteristik penting dari keyakinannya: pertama, identitas Islam yang kuat; kedua, ketaatan pada lima rukun Islam, termasuk pelaksanaan syahadat, salat lima waktu, zakat, puasa Ramadan, dan haji; dan ketiga, penerimaan terhadap kekuatan spiritual lokal.
Namun, perlu dicatat bahwa kepercayaan lokal ini tidak serta merta bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya, Pangeran Sambernyawa dan sesama pemimpin bersemangat dalam mempertahankan kepercayaan lokal mereka sambil tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.
Contohnya, larangan Al-Qur'an terhadap minuman memabukkan sering kali dilawan, begitu pula larangan atas perjudian yang dilanggar melalui kegiatan seperti sabung ayam dan pertarungan hewan lainnya.
Melalui catatan harian Pangeran Sambernyawa, kita tidak hanya melihat sejarah, tetapi juga perjalanan spiritual seorang pahlawan yang mengabdi pada agama dan tanah airnya dengan penuh kesalehan.
Di penghujung kehidupan Mangkunegara I, kita menyaksikan perpaduan unik antara kemegahan dunia dan kesalehan spiritual yang dalam. Catatan dari buku harian mengungkap momen penting di mana sang pangeran menghadiri sebuah resepsi di Residensi VOC di Surakarta. Acara tersebut diramaikan dengan perayaan minum-minum dan penembakan meriam sebagai bentuk penghormatan.
Ketika malam menjelang, Pangeran Sambernyawa, yang usianya telah mencapai puncaknya, kembali ke istananya dengan kereta kuda, dalam keadaan agak mabuk, ditemani oleh pasukan berkuda Kompeni. Namun, di balik kegemerlapan acara tersebut, di istananya, senandung lembut gamelan menjadi teman tidurnya, menciptakan suasana yang penuh ketenangan dan refleksi spiritual.
Kesalehan dan ketaatan spiritual Pangeran Sambernyawa tercermin dengan jelas. Pada sebuah Jumat-Paing di bulan Mulud, pada tanggal 17 Januari 1785, ia menghadiri shalat berjamaah di masjid. Dalam kenduri yang diselenggarakan, terdapat 19 piring nasi dan 140 apem yang disusun dengan rapi. Sebanyak 400 orang berkumpul untuk melakukan shalat bersama, menunjukkan ketaatan mereka pada agama, dengan tambahan 35 orang lagi.
Dalam cerita ini, kita melihat bagaimana Pangeran Sambernyawa menjalani kehidupannya dengan campuran antara kemegahan dunia dan kepatuhan spiritual yang kokoh. Sebuah perjalanan yang menunjukkan bahwa bahkan dalam puncak kejayaan, keikhlasan dan keagungan batin tetaplah menjadi prioritasnya.
Dalam kesalehannya, Pangeran Sambernyawa menginspirasi bentuk-bentuk kesalehan yang beragam, salah satunya adalah tradisi membaca Al-Qur'an bersama-sama, dari awal hingga akhir, dalam satu malam. Praktik ini dikenal sebagai khataman Al-Qur'an, di mana kelompok-kelompok Santri akan terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, dengan setiap anggota membaca satu bagian secara bergiliran, menciptakan harmoni suara yang penuh dengan kesalehan.
Dalam salah satu acara khataman Al-Qur'an pada tahun 1791, Mangkunegara I mengumpulkan 376 santri yang membaca 12 salinan Al-Qur'an, sementara 100 santri lainnya membaca setengah Al-Qur'an pada tengah hari. Setelah kegiatan tersebut, mereka menyelenggarakan pertunjukan wayang Wong, menciptakan suasana keagamaan dan seni yang menyatu.
Praktik membaca dan mempelajari Al-Qur'an bersama-sama (ngaji Al-Qur'an) tercatat dalam buku harian istana, demikian juga sesi zikir berjamaah, sebuah praktik Sufi yang melibatkan pengulangan formula suci Allah dan gerakan tubuh untuk mencapai ekstase mistik.
Pada perayaan ulang tahun Mangkunegara I yang ke-61 pada tanggal 12 Juni 1785, bentuk-bentuk kesalehan Islam dan budaya Jawa digabungkan dengan gemerlapnya acara pertunjukan kepangeranan Jawa. Di awal pagi, 460 santri berkumpul untuk membaca Al-Qur'an secara serentak. Mereka juga melaksanakan zikir di pelataran istana, dimulai dari tengah malam hingga menjelang matahari terbit.
Gemuruh meriam dan suara gamelan Munggang bergabung menciptakan suasana yang sarat dengan spiritualitas dan keindahan seni, mencerminkan kebesaran dan kesalehan sang pangeran serta keagungan tradisi Islam dan budaya Jawa.
Baca Juga : 4 Bagian Tubuh Anak yang Harus Sering Dicium Orang Tuanya
Praktik keagamaan pribadi Pangeran Sambernyawa tidak hanya terbatas pada kunjungan ke masjid dan pelaksanaan rukun Islam, tetapi juga mencakup kegiatan membuat salinan Al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa dia memiliki kemampuan yang cukup dalam bahasa Arab untuk melaksanakan tugas keagamaan yang bernilai ibadah ini.
Referensi tentang aktivitas ini dapat ditemukan dalam Serat Babad Pakunegaran, yang menyebutkan bagaimana pada sekitar tahun 1755, Sambernyawa telah mulai menyalin Al-Qur'an. Buku harian istana mencatat bahwa pada bulan Oktober 1787, sementara pasukannya menari diiringi oleh bunyi gamelan, dia tidak pernah berhenti menyalin Al-Qur'an. Selain itu, dia juga membuat "buku-buku panduan" dalam bahasa Jawa dan Arab, yang mungkin berisi penjelasan tentang cara membaca Al-Qur'an dalam bahasa Jawa, serta menulis salinan penuh Al-Qur'an dengan terjemahan dalam bahasa Jawa.
Catatan dari buku harian juga menunjukkan bahwa pada tanggal 5 Maret 1788, Mangkunagara berhasil menyelesaikan salinan keenamnya dari Al-Qur'an. Dengan kesetiaan yang tak tergoyahkan pada tugas keagamaannya, dia menegaskan komitmennya dalam memelihara dan menyebarkan ajaran Islam.
Dalam catatan buku harian pada tanggal 24 Maret 1789, cucu laki-laki Pangeran Sambernyawa, yang kemudian menjadi penerusnya, Pangeran Prangwadana, mengunjungi tempat pemakaman yang telah dipilih untuk Mangkunagara di desa Mangadeg. Lokasinya berada di daerah yang tinggi di lereng barat Gunung Lawu.
Kehadirannya secara implisit menunjukkan tanggung jawabnya untuk mengawasi pekerjaan yang sedang berlangsung di sana. Prajurit sedang sibuk membangun sebuah masjid agar salat Jumat bisa dilaksanakan. Pada malam Jumat, 27 Maret, para prajurit dan komunitas keagamaan Suranatan berzikir bersama. Pada tengah malam, mereka mengadakan perayaan, diikuti dengan salat berjamaah dan perjamuan makan yang bersifat ritual di pagi harinya. Secara total, ada 461 orang yang berdoa untuk kesejahteraan Mangkunegara I.
Pada akhir bulan Agustus 1789, Masjid Mangadeg selesai dibangun dan salat Jumat mulai diselenggarakan di sana. Seorang pejabat ditempatkan di makam Mangkunagara untuk mengawasinya. Pada bulan Maret 1790, Mangkunegara I memberikan hadiah kepada para pekerja yang membangun makamnya. Dua penghulu masjid diberi dua keris agung, sementara yang lain menerima wayang. Tujuh orang mendapatkan salinan-salinan sebuah babad, mungkin berupa "Sejarah dari Nabi Adam hingga Raja-raja Jawa" yang ditulis oleh Mangkunegara I pada tahun 1769, dan pendampingnya "Sejarah Asal-usul Seluruh Raja Tanah Jawa" dari tahun 1770-1771.
Di masjid Mangadeg, Sambernyawa juga menempatkan sebuah salinan Al-Qur'an yang dijilid dalam 15 jilid, yang ditulis olehnya sendiri, dan 200 tasbih di masjid. Al-Qur'an ini merupakan salinan yang dijilid dalam juz-juz, sehingga masing-masing jilidnya mungkin berisi dua juz, siap untuk dibaca secara serentak oleh 15 kelompok santri sepanjang malam dalam sebuah kegiatan ibadah yang bernilai tinggi.
Pada akhir tahun 1795, tepatnya tanggal 28 Desember, langit Jawa menyaksikan peristiwa penting dalam sejarah. Pangeran Sambernyawa atau yang lebih dikenal dengan KGPPA Mangkunegara I, menghembuskan nafas terakhirnya di usia yang mencapai 70 tahun. Begitu banyak kisah perjuangan dan pengabdian yang telah ditorehkan olehnya selama hidupnya, dan saat itu tiba, setiap jejaknya menjadi bukti kebesaran jiwa dan spiritualitas yang membanggakan.
Jasadnya dihormati dan disemayamkan dengan penuh kekhidmatan di Astana Mangadeg, sebuah tempat yang kini menjadi lambang dari perjalanan spiritual yang legendaris. Astana Mangadeg tidak hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga menjadi saksi bisu atas dedikasi dan keimanan yang teguh dari sang pangeran.
Perjalanan hidup Pangeran Sambernyawa dipenuhi dengan babak-babak perjuangan yang memikat dan penuh warna. Segalanya bermula dari masa-masa sulit peperangan suksesi Jawa III, ketika Mataram terbelah oleh pertikaian yang melibatkan kekuatan kolonialisme Belanda dan pihak-pihak lokal yang bertahan untuk kemerdekaan.
Pada perang tersebut, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa, yang kemudian bergelar Mangkunegara I, bersatu untuk melawan penjajahan.
Namun, meski Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 membagi Mataram menjadi dua, semangat perjuangan Pangeran Sambernyawa tidak padam. Dengan keyakinan yang teguh, ia melanjutkan perjuangannya bahkan melawan keluarganya sendiri. Meskipun Pangeran Mangkubumi adalah mertuanya, dalam pandangan Sambernyawa, beliau dianggap berkhianat dan terlalu dekat dengan pihak VOC.
Selama 16 tahun, Laskar Pangeran Sambernyawa menggelar sebanyak 250 pertempuran, mempertahankan wilayah dan martabatnya dengan gagah berani. Namun, akhirnya, semoga perdamaian yang diharapkan dapat tercapai.
Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 menandai akhir dari berbagai konflik. Dalam perjanjian itu, Pangeran Sambernyawa diangkat sebagai Adipati Miji, dengan gelar KGPAA Mangkunegara I. Wilayah kekuasaannya, yang dikenal sebagai Kadipaten Mangkunegaran, menjadi tanda dari perjalanan panjang dan tegarnya jiwa pejuang yang legendaris.
Dengan tutupnya babak perjuangan ini, kita mengenang sosok Pangeran Sambernyawa tidak hanya sebagai pejuang yang gagah berani, tetapi juga sebagai seorang pemimpin yang mengabdikan hidupnya untuk kemerdekaan dan kehormatan bangsa. Semoga perjalanan hidupnya menjadi inspirasi bagi kita semua untuk tidak pernah menyerah dalam menghadapi rintangan, dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keberanian, keadilan, dan keimanan.