free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Sejarah 11 September 1680: Sunan Amangkurat II Bangun Ibu Kota Mataram di Kartasura

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

11 - Sep - 2024, 18:16

Placeholder
Ilustrasi kehidupan di Keraton Kartasura, menampilkan suasana dan aktivitas sehari-hari di luar istana pada masa lampau. (Foto: Dibuat dengan AI/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pada tanggal 11 September 1680, sejarah mencatat peristiwa penting yang menandai berdirinya Keraton Kartasura sebagai ibu kota baru Kerajaan Mataram. Keputusan ini diambil oleh Sunan Amangkurat II, putra sulung Sunan Amangkurat I yang merasa perlu membangun pusat pemerintahan baru setelah Keraton Pleret rusak parah akibat serangan Trunajaya pada 1677. 

Pilihan jatuh pada sebuah wilayah di Hutan Wanakerta, yang kemudian dikenal sebagai Kartasura, sebuah lokasi yang strategis dan subur untuk mendukung kemakmuran kerajaan. Inilah kisah awal dari berdirinya Keraton Kartasura Hadiningrat, ibukota yang diharapkan menjadi simbol keberanian dan kejayaan Mataram.

Baca Juga : Revitalisasi Pasar Kembang Dimulai, Target Rampung Akhir 2024

Pencarian Lahan Baru dan Pemilihan Lokasi

Setelah kehancuran Keraton Pleret, Sunan Amangkurat II menyadari bahwa pusat kerajaan lama tersebut telah kehilangan pamor dan tidak lagi layak sebagai ibukota. Ia kemudian memerintahkan Senopati Urawan untuk mencari lokasi baru. 

Ada tiga opsi yang dipertimbangkan: Logender di dekat Bledug Kuwu, Tingkir di Salatiga, dan Hutan Wonokerto di sekitar bekas Keraton Pajang. Setelah melalui berbagai pertimbangan, pilihan akhirnya jatuh pada Hutan Wanakerta, yang terletak di sebelah barat bekas Keraton Pajang.

Wilayah ini dipilih karena memiliki sejumlah keunggulan strategis. Letaknya terhubung langsung dengan jalur penting antara pesisir dan pedalaman, seperti Semarang, Surabaya, dan wilayah barat menuju Kotagede serta Pajimatan Imogiri. 

Selain itu, tanah di Wanakerta subur, cocok untuk pertanian, dan dikelilingi oleh sumber daya alam yang melimpah. Umbul Cakra dan Pengging, dua mata air penting, mengalir melewati Kartasura dan bersatu di Kali Larangan, sehingga memberikan pasokan air yang cukup untuk keperluan rakyat dan keluarga istana. Tak jauh dari sana, aliran Bengawan Solo juga menambah nilai strategis wilayah tersebut.

Di sisi utara, Kartasura menghadap ke makam para leluhur Mataram di Grobogan, seperti Raden Bondan Kejawan, Ki Ageng Tarub, dan Ki Ageng Selo. Sementara di sisi selatan terdapat Dlepih Kahyangan, sebuah kawasan yang dianggap suci oleh masyarakat Jawa. 

Di sisi timur, terdapat makam para leluhur kerajaan, termasuk Ki Ageng Henis dan Nyai Ageng Pathi, yang menjadi pelindung spiritual Mataram. Dengan semua keunggulan tersebut, Hutan Wanakerta dipandang sebagai lokasi yang ideal untuk menjadi pusat pemerintahan baru Kerajaan Mataram.

Pembangunan Keraton Kartasura

Pembangunan Keraton Kartasura dimulai dengan perintah Sunan Amangkurat II kepada Pangeran Nrang Kusuma untuk membuka Hutan Wanakerta dan menjadikannya pemukiman. Pembangunan kraton ini berlangsung selama tujuh bulan. Meskipun belum sepenuhnya selesai, Sunan Amangkurat II memutuskan untuk segera pindah ke kraton baru pada tanggal 11 September 1680, yang jatuh pada hari Rabu Pon, 27 Ruwah tahun Alip 1603 dalam penanggalan Jawa. Tanggal tersebut dipilih dengan seksama setelah Sunan Amangkurat II memohon restu kepada Panembahan Natapraja, keturunan Sunan Kalijaga, di Perdikan Kadilangu.

Keraton baru ini dinamakan Keraton Kartasura Hadiningrat, yang berasal dari dua kata: "Karta" yang berarti makmur dan "Sura" yang berarti berani. Nama ini mencerminkan harapan agar Kartasura menjadi pusat kekuasaan yang makmur dan penuh kejayaan.

Menurut catatan Babad Tanah Jawa, Keraton Kartasura pada awalnya dibangun dengan atap rumbia dan dinding bambu, namun seiring waktu, keraton ini berkembang menjadi bangunan yang megah. 

Pada tahun 1682, arsitek dari Singapura dan India diundang untuk membantu dalam perencanaan kota dan pembangunan keraton. Beberapa arsitek ini pernah terlibat dalam pembangunan Taj Mahal, sehingga gaya arsitektur Kartasura mencerminkan perpaduan antara seni bangunan lokal dan pengaruh luar. 

Keraton Kartasura dikelilingi oleh tembok baluwarti setinggi lima meter dan tebal dua setengah meter, yang dibangun untuk melindungi pusat pemerintahan dari serangan musuh. Tembok baluwarti ini melingkupi area seluas 16 hektar dan di dalamnya terdapat berbagai bangunan penting seperti Sitihinggil, Taman Balekambang, Segara Yasa, Gedong Obat, serta Gunung Kunci. Taman dan kolam di sekitar keraton menambah keindahan dan kemegahan tempat ini. Di sisi selatan keraton, sebuah alun-alun dibangun untuk menjadi pusat aktivitas kerajaan, tempat upacara, dan pertemuan penting.

Kehidupan di Kartasura dan Masa Pemerintahan Raja-Raja

Sejak dibangun dan menjadi pusat pemerintahan baru Mataram Islam, Keraton Kartasura perlahan mencapai puncak kejayaannya. Dilansir dari buku Sambernyawa karya M.C. Ricklefs, kehidupan masyarakat di Kartasura digambarkan penuh dengan kedamaian. 

Kejayaan kerajaan tidak hanya tercermin dalam kekuatan militer dan politik, tetapi juga dalam perayaan keagamaan dan kebudayaan yang memperkokoh identitas Islam di Jawa. Festival besar seperti Garebeg menjadi simbol kemakmuran dan kestabilan kerajaan.

Tiga kali dalam setahun, Garebeg diadakan dengan penuh kemegahan. Garebeg Mulud merayakan kelahiran Nabi Muhammad pada tanggal 12 bulan Mulud. Garebeg Puasa dilaksanakan untuk menandai akhir bulan Ramadan pada hari pertama Sawal, dan Garebeg Besar pada tanggal 10 bulan Besar, yang bertepatan dengan perayaan Idul Adha. 

Pada momen-momen ini, Keraton Kartasura menjadi pusat aktivitas yang memadukan spiritualitas dengan kesenian dan kebudayaan. Ribuan orang dari berbagai daerah berkumpul di Kartasura, dari para pangeran, pejabat tinggi, hingga penguasa daerah, semuanya hadir untuk memberikan penghormatan kepada raja.

Di alun-alun yang luas di depan istana, digelar berbagai ritual besar, turnamen prajurit, parade benda-benda suci kerajaan, serta pertunjukan musik dan teater yang dapat disaksikan oleh masyarakat umum. Harmoni ini tidak hanya menjadi ajang untuk memperlihatkan kekuatan kerajaan, tetapi juga sebagai simbol kemakmuran Kartasura. Dalam suasana ini, pasar malam yang ramai dan berbagai warung makan menjamur di sekeliling kota, menambah semarak perayaan.

Baca Juga : Aturan Naik Pesawat bagi Ibu Hamil, Benarkah Harus Memakai Jet Pribadi? 

Bagi kalangan elite, Garebeg bukan hanya tentang pesta dan perayaan. Ini adalah momen penting untuk menunjukkan loyalitas mereka kepada raja dan memperkuat posisi politik di hadapan publik. Namun, ada beban tersendiri bagi mereka, karena saat ini juga menjadi waktu untuk membayar pajak, yang jika diabaikan bisa menjadi tanda pemberontakan atau ketidakpatuhan. Seperti yang dijelaskan oleh M.C. Ricklefs, ketidakhadiran dalam Garebeg dapat dianggap sebagai ancaman serius terhadap kestabilan kerajaan.

Dalam masa damai ini, Kartasura menjadi surga bagi penikmat kebudayaan. Seni sastra, musik, tari, dan bahkan ilmu bela diri dipelihara dan berkembang di tengah masyarakat. Kehidupan di Kartasura pada masa kejayaannya tidak hanya diwarnai oleh urusan politik dan militer, tetapi juga oleh harmoni budaya yang memadukan tradisi lokal dengan pengaruh Islam. Kartasura menjadi pusat peradaban Jawa yang memancarkan kekayaan intelektual, spiritual, dan seni adikodrati, sebuah pencapaian yang menjadi kebanggaan Kerajaan Mataram.

Selama masa pemerintahannya, Sunan Amangkurat II berusaha memperkuat kedudukan Mataram di Kartasura. Ia memerintah hingga tahun 1703 dan digantikan oleh putranya, Sunan Amangkurat III. Setelah itu, tahta Kartasura silih berganti dikuasai oleh para penguasa Mataram berikutnya, termasuk Sunan Pakubuwana I (1704-1719), Sunan Amangkurat IV (1719-1727), dan Sunan Pakubuwana II (1727-1745). Meskipun pada akhirnya ibu kota kerajaan Mataram pindah ke Surakarta, Keraton Kartasura tetap menjadi bagian penting dalam sejarah Mataram sebagai pusat kekuasaan dan budaya.

Sunan Amangkurat II bukan hanya membangun pusat pemerintahan, tetapi juga memperkuat kehidupan sosial-ekonomi di sekitarnya. Wilayah Sukoharjo, yang berdekatan dengan Kartasura, berkembang menjadi daerah yang subur dan makmur. 

Dukungan irigasi yang baik membuat wilayah ini mampu memproduksi hasil bumi yang melimpah. Selain itu, masyarakat setempat juga mengembangkan berbagai usaha, seperti pembuatan makanan tradisional (nasi liwet, garangasem), minuman wedang ronde, dan pembuatan jamu di daerah Nguter. Bekonang menjadi pusat produksi gamelan, sementara Serenan dikenal dengan industri meubel.

Kejatuhan Kartasura dan Pindahnya Ibu Kota ke Surakarta

Raden Mas Garendi, cucu dari Sunan Amangkurat III, menjadi tokoh sentral dalam pemberontakan Geger Pecinan yang berlangsung pada awal 1740-an. Setelah pasukan gabungan Jawa-Tionghoa berhasil merebut Kartasura pada 30 Juni 1742, Garendi diangkat sebagai penguasa dengan gelar Susuhunan Amangkurat V. 

Pemberontakan ini merupakan bagian dari perlawanan etnis Tionghoa dan sekutunya terhadap kekuasaan VOC yang represif. Di bawah kepemimpinan Garendi, para pemberontak merencanakan serangan lebih lanjut terhadap pasukan VOC di Semarang, dengan mengirim 1.200 prajurit di bawah pimpinan Raden Mas Said dan Singseh (Tan Sin Ko). Namun, meskipun berhasil menguasai Kartasura, kekuatan pasukan pemberontak mulai memudar setelah serangan balasan dari Pakubuwana II yang bersekutu dengan VOC.

Pada November 1742, Pakubuwana II bersama pasukan Cakraningrat IV dari Madura dan pasukan VOC dari Ungaran dan Salatiga berhasil merebut kembali Kartasura, memaksa Amangkurat V dan pengikutnya melarikan diri ke selatan. Upaya Amangkurat V untuk mempertahankan kekuasaannya berakhir tragis ketika ia tertangkap di Surabaya pada Desember 1743. Setelah dibawa ke Batavia, Garendi diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka), di mana nasib akhirnya tidak pernah jelas, meskipun catatan Belanda menyatakan ia wafat dalam pembuangan.

Kehancuran Keraton Kartasura selama pemberontakan Geger Pecinan memaksa Pakubuwana II untuk mempertimbangkan pemindahan ibu kota Mataram. Menurut kepercayaan Jawa, sebuah keraton yang telah dirusak oleh perang dan pemberontakan dianggap kehilangan wahyu, atau keberkahan ilahi, yang menjadi sumber legitimasi kekuasaan. Kondisi Kartasura yang sudah hancur membuatnya tidak layak lagi menjadi pusat pemerintahan.

Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Pakubuwana II memilih Desa Sala sebagai lokasi baru untuk mendirikan keraton pengganti. Pada 17 Februari 1745, secara resmi Keraton Surakarta didirikan, menandai berakhirnya peran Kartasura sebagai pusat kekuasaan Mataram. Keputusan ini menjadi langkah penting dalam sejarah kerajaan, karena Keraton Surakarta kemudian berkembang menjadi pusat politik dan budaya yang baru, menggantikan kejayaan yang pernah dimiliki Kartasura.

Berdirinya Kraton Kartasura pada 11 September 1680 merupakan salah satu peristiwa besar dalam sejarah Kerajaan Mataram. Pembangunan keraton ini tidak hanya menandai perpindahan ibu kota, tetapi juga upaya untuk memulihkan kewibawaan Mataram setelah serangan Trunajaya. Kartasura dirancang sebagai simbol kemakmuran dan keberanian, dan meskipun akhirnya peran ibu kota berpindah ke Surakarta, kejayaan Kartasura tetap abadi dalam ingatan masyarakat Jawa.

Pada peringatan ke-344 berdirinya Kraton Kartasura, kita diingatkan kembali akan sejarah panjang yang melingkupi kerajaan ini, serta pentingnya warisan budaya dan sejarah yang tak ternilai bagi masyarakat Jawa dan Indonesia.

 


Topik

Serba Serbi sunan amangkurat ii keraton kartasura kerajaan mataram



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana