JATIMTIMES - Sejak berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1755, semangat patriotisme membara di kalangan para tokoh yang bertekad mengusir cengkeraman Belanda dari tanah Jawa.
Di antara para pahlawan yang dikenal karena keberanian dan dedikasinya, Ratu Ageng Tegalrejo berdiri sebagai sosok yang dihormati dan disegani. Ia adalah permaisuri dari Sri Sultan Hamengkubuwono I, pendiri Kesultanan Yogyakarta, dan dikenal sebagai wanita dengan semangat kepahlawanan yang tak pernah padam. Kisah hidupnya menjadi nyala api dalam sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro, cicitnya, yang kelak akan memimpin Perang Jawa (1825-1830).
Baca Juga : Penutupan MAW 2024, Arsitek Malang Didorong Tingkatkan Kompetensi dan Miliki Sertifikasi
Ratu Ageng, yang dikenal dengan nama asli Roro Juwati, lahir pada tahun 1732 dari keluarga terpandang di Kesultanan Mataram. Ia adalah putri dari Kiai Ageng Derpoyudo, seorang panglima perang terkemuka di Keraton Kasunanan Kartasura, dan adik tiri dari Raden Ronggo Prawirodirdjo I, bupati wedana Madiun. Nasab keluarganya menghubungkannya dengan tokoh-tokoh penting seperti Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang dan Raja Karaeng Nobo dari Bima.
Dalam latar belakang keluarga yang penuh dengan kehormatan dan keberanian ini, Ratu Ageng dibesarkan dan dididik dengan nilai-nilai luhur yang kelak akan membentuk dirinya sebagai sosok yang penting dalam sejarah Indonesia.
Warisan Keberanian dan Kecerdasan Ratu Ageng di Kesultanan Yogyakarta
Ratu Ageng bukan permaisuri biasa. Sebagai putri Ki Ageng Derpoyudo, ahli seni perang di Keraton Kasunanan Kartasura, Ratu Ageng tidak hanya dikenal sebagai seorang pendekar perempuan yang berperan penting dalam Perang Suksesi Jawa III, tetapi juga sebagai intelektual dan pendidik yang berpengaruh. Melalui Bregada Langen Kusuma, pasukan pengawal perempuan yang dia didik dan latih, serta karyanya dalam sastra dan pendidikan, Ratu Ageng meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah Kesultanan Yogyakarta.
Di awal berdirinya Kesultanan Yogyakarta, Bregada Langen Kusuma yang dikomandoi Ratu Ageng muncul sebagai salah satu unit pengawal yang paling istimewa dan menonjol. Pasukan ini, yang mayoritas anggotanya adalah perempuan, bisa dianggap sebagai pasukan pengamanan setara dengan paspampres pada masa kini. Anggota Bregada ini terdiri dari para putri pejabat daerah setingkat kecamatan atau kabupaten, yang terlatih dalam berbagai keterampilan tempur.
Pada Juli 1809, Keraton Yogyakarta menjadi saksi dari peristiwa bersejarah saat Marshall Herman Willem Daendels, pejabat kolonial Belanda, melakukan kunjungan resmi. Momen ini menjadi sorotan tidak hanya karena kedatangan Daendels, tetapi juga karena penampilan megah dari Bregada Langen Kusuma.
Di hadapan Daendels, Bregada Langen Kusuma menunjukkan keterampilan bertempur yang mengesankan. Anggota Bregada ini dikenal mahir dalam menggunakan berbagai senjata, termasuk busur dan panah beracun, tombak, serta senapan. Kemampuan mereka dalam pertempuran tidak hanya menggambarkan pelatihan fisik yang intensif tetapi juga dedikasi kepada nilai-nilai dan tradisi yang diajarkan oleh Ratu Ageng.
Kunjungan Daendels menjadi sebuah kesempatan bagi Bregada Langen Kusuma untuk menunjukkan tidak hanya kemampuan mereka dalam bertempur tetapi juga dedikasi mereka kepada sultan dan nilai-nilai Kesultanan Yogyakarta. Penampilan mereka dalam acara tersebut tidak hanya memukau tetapi juga menegaskan posisi mereka sebagai simbol kekuatan dan martabat perempuan dalam struktur kekuasaan Yogyakarta pada masa itu.
Sayangnya, Bregada Langen Kusuma dibubarkan setelah mengalami kekalahan dalam sebuah pertempuran pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono II, menandai akhir dari peran mereka di medan perang.
Bregada Langen Kusuma, dengan kemampuan tempur yang mengesankan dan kesetiaan pada nilai-nilai agama, mencerminkan perpaduan keberanian dan spiritualitas yang diajarkan oleh Ratu Ageng. Mereka menjadi simbol dedikasi dan perjuangan perempuan dalam melawan penjajahan, serta menunjukkan warisan keberanian dan kecerdasan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Namun, warisan Ratu Ageng Tegalrejo, sebagai pendiri dan pelatih Bregada Langen Kusuma, tidak hanya terbatas pada aspek militer. Ratu Ageng juga dikenal sebagai seorang intelektual dan penulis. Ratu Ageng adalah seorang penggemar sastra dan sufi, yang menulis Serat Menak Amir Hamzah. Karya ini, yang ditulis dalam aksara Pegon, merupakan manuskrip tunggal paling tebal dengan 1500 lembar dan menjadi salah satu aset berharga Keraton Yogyakarta yang dirampas oleh Raffles dan saat ini berada di British Library.
Di bidang pendidikan, Ratu Ageng diberi wewenang sebagai wali HB V dan berperan dalam mendidik Pangeran Diponegoro, menunjukkan perannya yang luas dalam perkembangan intelektual dan pendidikan di Kesultanan Yogyakarta.
Kepindahan ke Tegalrejo dan Peran sebagai Pembimbing
Setelah kematian suaminya, Sultan Hamengkubuwono I, pada tahun 1792, Ratu Ageng memutuskan untuk menepi dari kehidupan istana dan menetap di Tegalrejo, sebuah desa yang terletak tiga kilometer sebelah barat laut Keraton Yogyakarta. Antara tahun 1793 hingga 1803, ketika usianya telah memasuki era 60-an, Ratu Ageng memilih untuk menghabiskan masa tuanya dengan fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan kedekatannya dengan komunitas santri.
Di Tegalrejo, Ratu Ageng tidak hanya mendalami pengetahuan agama, tetapi juga membangun jaringan yang kuat dengan para ulama dan tokoh agama di Yogyakarta. Ia menyediakan ruang diskusi yang luas di kediamannya, di mana para ulama berkumpul dan berdiskusi. Salah satu tokoh yang sering diundangnya adalah Kiai Muhammad Bahwi, yang dikenal dalam sejarah Perang Jawa sebagai Muhammad Ngusman Ali Basah. Kehadiran tokoh-tokoh agama seperti Kiai Muhammad Bahwi dan Haji Badarudin, yang memiliki pengetahuan mendalam tentang sistem pemerintahan Turki Utsmani, menjadikan Tegalrejo sebagai pusat perbincangan yang memadukan pengetahuan agama, ilmu pengetahuan, dan kebijaksanaan pemerintahan dalam suasana yang penuh inspirasi.
Pendidikan Pangeran Diponegoro di Bawah Asuhan Ratu Ageng
Pangeran Diponegoro, yang lahir dengan nama Raden Mas Mustahar, merupakan cucu dari Sultan Hamengkubuwono I dan putra dari Sultan Hamengkubuwono III dengan istri selir Raden Ayu Mangkorowati. Sejak usianya baru mencapai tujuh tahun, Diponegoro telah berada di bawah asuhan langsung Ratu Ageng di Tegalrejo. Sultan Hamengkubuwono I, dengan intuisi spiritualnya yang tajam, menyadari keunikan yang dimiliki oleh cicitnya ini dan meramalkan bahwa Diponegoro kelak akan menjadi sosok yang penting dalam sejarah perjuangan melawan penjajah Belanda.
Di bawah pengasuhan Ratu Ageng, Diponegoro dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai keislaman yang mendalam. Ratu Ageng, yang sangat mengutamakan pendidikan agama, menanamkan kearifan Islam dalam diri Diponegoro sejak dini. Di samping itu, ia juga membekali Diponegoro dengan berbagai keterampilan militer, seperti menembak, memanah, dan berkuda, yang kelak sangat berguna dalam perjuangan Diponegoro di medan perang.
Dalam catatan sejarah Babad Dipanagara, yang dikutip oleh Oman Fathurahman dalam bukunya “Female Indonesian Sufis: Shattariya Murids in the 18th and 19th Centuries in Java” (2018:55), Pangeran Diponegoro mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada nenek buyutnya. Menurut Pangeran Diponegoro, nenek buyutnya telah mendidiknya dengan nilai-nilai Islam dan praktik spiritual Jawa, mendidik dengan penuh kasih sayang, meskipun kadang perintahnya membuatnya merasa ketakutan.
Ratu Ageng Tegalrejo, yang juga dikenal sebagai pengikut Syattariyah, merupakan tokoh penting dalam sejarah spiritual Jawa. Syattariyah adalah tarekat sufi yang didirikan oleh Syekh Sirajuddin Abdullah asy-Syattar dari India dan kemudian dibawa ke Nusantara oleh Syekh Abdurrauf as-Singkili. Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, salah satu murid Syekh Abdurrauf, memainkan peran penting dalam penyebaran tarekat ini di Tanah Jawa, termasuk di Keraton Yogyakarta. Kiai Muhammad Kastuba dari Pesantren Alang-Alang Ombo, Bagelen, adalah ulama yang membaiat Ratu Ageng Tegalrejo ke dalam tarekat Syattariyah.
Baca Juga : Tak Perlu ke Dukcapil, Begini Cara Cek Nomor Induk Kependudukan Terdaftar atau Tidak
Ratu Ageng Tegalrejo tidak hanya mempengaruhi Pangeran Diponegoro tetapi juga kehidupan di desa tempat tinggalnya. Pengaruhnya yang mendalam terlihat jelas dalam cara ia mengelola dan memajukan Tegalrejo. Kaum tani berdatangan untuk mencari nafkah, sementara para santri datang untuk mempelajari ilmu agama. Secara bertahap, kawasan tersebut berkembang menjadi kampung santri yang dikenal dengan kegiatan religius dan pertanian yang harmonis.
Dua bait syair dalam Babad Dipanagara menggambarkan suasana permai dan religius di tempat tinggal Ratu Ageng Tegalrejo:
Kangjeng Ratu winarni/
pan tetanen remenipun/
sinambi lan ngibadah/
kinarya namur puniki/
ampahira gen brongta marang Yang Sukma.
langkung kerta Tegalreja/
mapan kathah tiyang prapti/
samya angungsi tedhi/
ingkang santri ngungsi ngelmu/
langkung ramé ngibadah/
Selama berada di Tegalrejo, Diponegoro juga dididik oleh para ulama ternama seperti Syekh Taptojani, Kiai Hasan Besari, dan Syekh Abdul Ahmad bin Abdullah al-Ansari, seorang ulama asal Arab yang menikahi putri Pangeran Blitar I. Pengajaran para ulama ini membuat Diponegoro semakin mendalami ajaran Islam, terutama dalam bidang tasawuf, yang kemudian mempengaruhi pandangan hidup dan perjuangannya. Kitab Tuhfah, yang memuat ajaran sufisme tentang "tujuh tahap eksistensi," menjadi salah satu favoritnya. Ia juga mempelajari berbagai kitab lain seperti serat Anbiya, tafsir Alquran, Siratus Salatin, Tajussalatin, serta kitab-kitab hukum Islam seperti Taqrib, Lababul Fiqih, Muharrar, dan Taqarrub.
punapa déné wong tani.
(Bagaimana Ratu [Ageng]:
betapa ia senang bertani
bersama dengan tugas rohani
ia kerjakan tanpa pamrih
di jalan cintanya pada Hyang Sukma.
Tegalrejo jadi sangat sejahtera
karena banyak orang datang
semua mencari makan
sedang santri mencari ilmu
di sana banyak amal dan doa
terlebih pada petaninya.)
Dengan cara ini, Ratu Ageng Tegalrejo tidak hanya menjadi contoh spiritual dan pemimpin, tetapi juga seorang reformis sosial yang membawa kemakmuran dan kesejahteraan kepada komunitasnya, menggabungkan praktik spiritual dengan kebutuhan praktis masyarakatnya.
Warisan dan Pengaruh Ratu Ageng dalam Perjuangan Diponegoro
Ratu Ageng meninggal dunia pada tahun 1803, meninggalkan warisan besar berupa Tegalrejo dan nilai-nilai perjuangan yang telah ia tanamkan dalam diri Diponegoro. Sepeninggalnya, Diponegoro terus memegang teguh ajaran dan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh nenek buyutnya. Ia tidak hanya mewarisi kepemimpinan dan keberanian dari Sultan Hamengkubuwono I, tetapi juga semangat keagamaan dan moralitas yang kuat dari Ratu Ageng.
Pada tahun 1825, Pangeran Diponegoro memimpin sebuah perlawanan besar yang dikenal dengan nama Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Perang ini merupakan salah satu konflik paling dahsyat dan mematikan dalam sejarah Indonesia, berlangsung selama lima tahun dan menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi pemerintah kolonial Belanda. Lebih dari 8.000 serdadu Belanda dan 200.000 orang Jawa tewas dalam perang ini, sementara kerugian materi Belanda mencapai 25 juta Gulden, jumlah yang setara dengan sepuluh tahun pendapatan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu.
Selama perang, Diponegoro tidak hanya bertempur melawan penindasan politik dan militer Belanda, tetapi juga berjuang untuk mempertahankan nilai-nilai agama dan kebudayaan Jawa. Ia menjadi simbol perlawanan yang gagah berani dan keberanian dalam menghadapi penjajahan. Meskipun akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Makassar, warisan perjuangan Diponegoro tetap hidup dalam sejarah bangsa Indonesia. Namanya diabadikan sebagai pahlawan nasional yang menginspirasi generasi-generasi berikutnya untuk tidak pernah menyerah dalam menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.
Pengaruh Lingkungan Tegalrejo dalam Pembentukan Karakter Diponegoro
Tegalrejo, yang dibangun oleh Ratu Ageng, menjadi tempat yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter Pangeran Diponegoro. Di sini, Diponegoro tidak hanya mendapatkan pendidikan agama dan keterampilan militer, tetapi juga menyerap nilai-nilai luhur yang kelak akan membentuk sikap dan pandangan hidupnya. Lingkungan Tegalrejo yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk kehidupan istana memungkinkan Diponegoro untuk merenung dan memperdalam pemahaman tentang ajaran-ajaran Islam yang telah diajarkan oleh Ratu Ageng dan para ulama.
Selain itu, Ratu Ageng juga mengajarkan pentingnya pemahaman tentang watak dan karakter manusia, sebuah ilmu yang dikenal dalam budaya Jawa sebagai ngelmu firasat atau ilmu fisiognomi. Kemampuan ini sangat berguna bagi Diponegoro dalam memahami lawan dan kawan selama masa perjuangannya. Dengan ngelmu firasat yang tajam, Diponegoro mampu menganalisis ekspresi wajah seseorang untuk memahami niat dan tujuan mereka, sebuah keterampilan yang sangat berharga dalam strategi perang.
Ratu Ageng Tegalrejo adalah sosok yang berperan sentral dalam membentuk karakter dan perjuangan Pangeran Diponegoro. Melalui didikannya, Diponegoro tidak hanya menjadi seorang pemimpin militer yang tangguh, tetapi juga seorang yang berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan moralitas yang tinggi. Tegalrejo, tempat di mana Ratu Ageng mendidik Diponegoro, menjadi saksi bisu dari awal mula perjuangan yang kelak akan mengguncang pemerintahan kolonial Belanda dan menjadi salah satu babak paling heroik dalam sejarah Indonesia.
Perjuangan Diponegoro dalam Perang Jawa adalah cerminan dari nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh Ratu Ageng. Meskipun akhirnya Diponegoro harus menghadapi kekalahan dan pengasingan, semangat perjuangan yang diwariskan oleh Ratu Ageng tetap hidup dan menginspirasi generasi-generasi berikutnya untuk terus berjuang demi kemerdekaan dan kehormatan bangsa.