JATIMTIMES - Sejarah kolonial Indonesia dipenuhi dengan berbagai kisah heroik, intrik, dan tragedi yang membentuk perjalanan bangsa hingga saat ini. Salah satu episode menarik dalam sejarah tersebut adalah pertemuan nasib antara Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC yang dikenal dengan kebijakan kerasnya dan Nyimas Utari Sandijayaningsih, seorang wanita Jawa berparas cantik yang berperan sebagai telik sandi atau mata-mata bagi Kesultanan Mataram Islam.
Kisah ini menggambarkan bagaimana strategi, keberanian, dan pengorbanan pribadi dapat mempengaruhi jalannya sejarah dan membuka mata kita terhadap kompleksitas hubungan antara penjajah dan pribumi pada masa itu.
Baca Juga : Menunggu Waktu, Kelak Lautan Akan Berubah Jadi MengerikanÂ
Serangan Sultan Agung ke Batavia: Latar Belakang Konflik
Pada awal abad ke-17, Nusantara menjadi medan perebutan kekuasaan antara berbagai kerajaan lokal dan kekuatan kolonial Eropa, terutama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang mewakili Belanda. Salah satu tokoh penting yang menentang dominasi VOC adalah Sultan Agung Hanyakrakusuma, penguasa Kesultanan Mataram Islam yang memerintah dari tahun 1613 hingga 1645.
Sultan Agung dikenal sebagai pemimpin yang ambisius dan visioner. Ia bercita-cita menyatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaannya dan menolak keras intervensi asing dalam urusan internal Nusantara. Pada tahun 1628 dan 1629, Sultan Agung melancarkan dua serangan besar-besaran ke Batavia, pusat kekuasaan VOC di Jawa yang didirikan oleh Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1619.
Serangan pertama pada tahun 1628 direncanakan dengan matang, namun menghadapi berbagai kendala di lapangan. Pasukan Mataram mengalami kesulitan logistik, kurangnya persediaan makanan, dan menghadapi pertahanan VOC yang kuat. Meskipun menunjukkan keberanian dan tekad yang tinggi, serangan ini akhirnya gagal mencapai tujuannya. Kekalahan ini tidak membuat Sultan Agung menyerah, justru semakin memotivasi dirinya untuk merencanakan serangan kedua dengan persiapan yang lebih baik.
Belajar dari kegagalan sebelumnya, Sultan Agung meningkatkan persiapan untuk serangan kedua pada tahun 1629. Strategi logistik diperbaiki, dan pasukan dilengkapi dengan persenjataan yang lebih baik. Selain itu, Sultan Agung juga mengerahkan jaringan intelijen yang lebih canggih untuk melemahkan pertahanan VOC dari dalam. Salah satu upaya intelijen tersebut melibatkan penyusupan telik sandi ke pusat kekuasaan VOC di Batavia, yang menjadi bagian penting dalam kisah ini.
Profil Jan Pieterszoon Coen: Arsitek Kekuasaan VOC di Nusantara
Jan Pieterszoon Coen lahir di Hoorn, Noord Holland, pada akhir abad ke-16. Ia memulai kariernya di VOC pada tahun 1607 dan dengan cepat menanjak dalam hierarki perusahaan dagang tersebut berkat kecerdasan, ketegasan, dan strateginya yang brilian namun kontroversial.
Pada tahun 1619, Coen memimpin pasukan VOC untuk merebut Jayakarta dari Kesultanan Banten. Setelah berhasil merebut kota tersebut, ia mendirikan Batavia di atas reruntuhan Jayakarta, yang kemudian menjadi pusat administrasi, militer, dan perdagangan VOC di Asia. Batavia berkembang pesat di bawah kepemimpinan Coen, menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan komoditas lainnya yang sangat menguntungkan bagi VOC.
Coen dikenal dengan kebijakan monopoli yang ketat terhadap perdagangan rempah-rempah, yang seringkali merugikan pedagang lokal dan menimbulkan ketegangan dengan kerajaan-kerajaan pribumi. Ia juga kerap menggunakan strategi politik adu domba untuk melemahkan kekuatan saingannya. Salah satu contohnya adalah upayanya untuk memecah belah kerajaan-kerajaan di Nusantara agar lebih mudah dikuasai dan dieksploitasi oleh VOC.
Kepemimpinan Coen tidak lepas dari tindakan kekerasan dan kontroversi. Ia dikenal tidak segan-segan menggunakan kekerasan ekstrem untuk mencapai tujuannya. Salah satu tindakan paling brutal yang dilakukannya adalah pembantaian massal di Kepulauan Banda pada tahun 1621, di mana hampir seluruh penduduk pulau tersebut dibunuh karena menolak monopoli VOC atas pala, komoditas berharga pada masa itu.
Nyimas Utari: Telik Sandi Cantik dari Mataram
Di tengah ketegangan antara Mataram dan VOC, muncul sosok Nyimas Utari Sandijayaningsih, seorang wanita Jawa berparas cantik yang memainkan peran penting dalam upaya Mataram untuk melemahkan VOC dari dalam. Lahir dari pasangan Bagus Wanabaya dan Roro Pembayun, Nyimas Utari tumbuh dalam lingkungan keluarga petinggi Mataram yang sarat dengan nilai-nilai patriotisme dan keberanian.
Keluarga Nyimas Utari bukanlah orang asing dalam dunia intelijen dan penyamaran. Ibunya, Roro Pembayun, pernah menjalankan misi penyamaran sebagai penari jalanan sekitar 50 tahun sebelumnya dalam upaya Mataram Kotagede menghancurkan Kerajaan Mangir. Warisan keberanian dan kecerdasan inilah yang kemudian diwariskan kepada Nyimas Utari.
Sebelum melaksanakan misi di Batavia, Bagus Wanabaya mengutus putrinya yang cantik untuk bergabung dengan para mata-mata dari Samudra Pasai. Nyimas Utari kemudian dinikahkan dengan Mahmudin, seorang intelijen dari Samudra Pasai yang terkenal cerdas dan mahir. Pernikahan mereka bukan sekadar ikatan cinta, melainkan bagian dari strategi Mataram untuk memperkuat jaringan intelijen. Pasangan ini kemudian dikirim ke Batavia dengan berbagai penyamaran untuk menjalankan misi rahasia yang berisiko tinggi.
Untuk mendekati target utama, yaitu Jan Pieterszoon Coen, Nyimas Utari dan Mahmudin menggunakan berbagai penyamaran yang cerdik. Nyimas Utari menyamar sebagai penyanyi di klub eksklusif tempat berkumpulnya para perwira VOC, sementara Mahmudin berkamuflase sebagai saudagar yang dipercaya dan dihormati. Kehadiran mereka di Batavia difasilitasi oleh Wong Agung Aceh, asisten pribadi Coen yang diam-diam bersimpati kepada perjuangan Mataram.
Dalam Babad Tanah Jawa, disebutkan bahwa pembunuhan terhadap Coen telah lama dirancang oleh pasukan intelijen Mataram yang dikenal dengan nama Dom Sumuruping Mbanyu. Rencana ini melibatkan infiltrasi, pengumpulan informasi, dan penyiapan kondisi yang tepat untuk mengeksekusi pembunuhan tanpa menimbulkan kecurigaan berlebihan.
Pada pertengahan September 1629, Jan Pieterszoon Coen mengalami tragedi pribadi yang mendalam. Istrinya, Eva Ment, bersama anak mereka meninggal dunia pada 16 September 1629. Kematian ini meninggalkan luka mendalam dan membuat Coen berada dalam keadaan emosional yang rapuh. Situasi ini dimanfaatkan oleh Nyimas Utari untuk mendekati Coen dan mengeksekusi rencana pembunuhan.
Baca Juga : Barang-barang yang Tidah Boleh Dicuci dengan Air Panas
Dalam duka mendalam dan kebingungan akibat kehilangan tersebut, JP Coen menjadi lengah, memberi peluang bagi Nyimas Utari untuk melancarkan serangan yang mematikan. Nyimas Utari, yang memiliki kedekatan dengan Eva Ment, menjalankan rencana yang cermat disusun oleh Bagus Wanabaya—ayah kandungnya. Bagus Wanabaya rela mempertaruhkan nyawa putrinya demi keberhasilan misi rahasia ini.
Eksekusi Misi: Racun Mematikan dan Pemenggalan Kepala
Pada 20 September 1629, Nyimas Utari berhasil mencampurkan racun arsenik ke dalam minuman Coen saat sebuah pertemuan di klub perwira VOC. Racun tersebut bekerja cepat, membuat Coen tewas dalam waktu singkat tanpa sempat mendapatkan pertolongan. Tidak berhenti di situ, Nyimas Utari kemudian memenggal kepala Coen sebagai bukti keberhasilan misinya dan simbol kemenangan bagi Mataram.
Potongan kepala JP Coen segera dilarikan keluar dari benteng VOC di Batavia dan diserahkan kepada Tumenggung Surotani, yang bersama Bagus Wanabaya, kemudian membawanya ke Mataram. Sesampainya di Mataram, Sultan Agung memerintahkan agar kepala JP Coen diawetkan. Beberapa waktu kemudian, kepala tersebut dikuburkan di tengah-tengah tangga menuju makam Sultan Agung di Imogiri.
Setelah berhasil mengeksekusi misi yang berbahaya tersebut, Nyimas Utari dan Mahmudin berusaha melarikan diri dari Batavia. Dengan kepala Coen dalam genggaman, mereka menghadapi tantangan besar untuk keluar dari kota yang kini berada dalam kondisi siaga tinggi. Sayangnya, dalam proses pelarian tersebut, Nyimas Utari tewas akibat tembakan meriam dari pasukan VOC yang mengejar mereka. Mahmudin, dengan hati yang hancur, membopong jenazah istrinya hingga tiba di Desa Keramat, tempat di mana Nyimas Utari kemudian dimakamkan dengan hormat.
Makam Nyimas Utari, yang kini dikenal sebagai Keramat Wali Mahmudin, menjadi saksi bisu atas pengorbanan dan keberanian pasangan ini dalam perjuangan melawan penjajah. Makam tersebut dinaungi oleh pohon beringin yang kokoh, simbol keteguhan dan perlindungan. Hingga kini, situs tersebut dihormati dan dikunjungi oleh banyak orang yang ingin mengenang dan menghormati jasa-jasa mereka.
Pembunuhan Jan Pieterszoon Coen oleh Nyimas Utari memiliki dampak signifikan terhadap dinamika kekuasaan di Nusantara. Kehilangan pemimpin yang strategis dan berpengaruh seperti Coen melemahkan posisi VOC untuk sementara waktu, memberikan kesempatan bagi Mataram dan kerajaan-kerajaan lain untuk memperkuat posisi mereka. Namun, VOC dengan cepat melakukan reorganisasi dan kembali mengkonsolidasikan kekuasaannya di wilayah tersebut.
Kisah pembunuhan Coen oleh Nyimas Utari menjadi bahan perdebatan di kalangan sejarawan. Beberapa sumber kolonial menyebut bahwa Coen meninggal akibat wabah penyakit, sementara sumber-sumber lokal dan catatan seperti Babad Jawa menceritakan versi yang melibatkan Nyimas Utari. Terlepas dari perbedaan tersebut, kisah ini tetap menjadi bagian penting dalam narasi sejarah perjuangan melawan kolonialisme di Indonesia.
Nyimas Utari: Simbol Keberanian dan Pengorbanan
Warisan Coen dalam sejarah Indonesia sangatlah kompleks. Di satu sisi, ia dianggap sebagai arsitek utama kekuasaan kolonial Belanda di Asia, dengan banyak infrastruktur dan kebijakan yang bertahan lama setelah kematiannya. Namun, tindakan-tindakan kejam dan kebijakan monopoli yang diterapkannya meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat lokal. Sindiran dan kebencian terhadap Coen bahkan muncul dalam budaya populer, seperti pantun-pantun rakyat Betawi yang mencerminkan perlawanan dan ketidakpuasan terhadap kekuasaannya.
Di sisi lain, Nyimas Utari dikenang sebagai simbol keberanian, kecerdasan, dan pengorbanan dalam perjuangan melawan penjajah. Kisah hidupnya menginspirasi banyak orang dan menjadi bukti bahwa peran wanita dalam sejarah perjuangan Indonesia sangatlah signifikan. Pengorbanannya bersama Mahmudin menunjukkan betapa besar tekad dan dedikasi mereka untuk membela tanah air dari penindasan dan eksploitasi.
Kisah akhir hidup Jan Pieterszoon Coen di tangan Nyimas Utari adalah refleksi dari kompleksitas sejarah kolonial Indonesia, di mana intrik, strategi, dan pengorbanan pribadi memainkan peran penting dalam membentuk jalannya peristiwa. Melalui pemahaman dan penghargaan terhadap kisah-kisah seperti ini, kita dapat lebih menghargai perjuangan dan dedikasi para pendahulu kita dalam membangun bangsa yang merdeka dan berdaulat. Semoga warisan dan pelajaran dari sejarah ini dapat terus menginspirasi generasi masa kini dan mendatang dalam menghadapi tantangan dan membangun masa depan yang lebih baik.