JATIMTIMES - Kapten Kasihin adalah nama seorang pahlawan pejuang kemerdekaan RI asal Tulungagung. Kapten Kasihin lahir pada tahun 1922 dari pasangan Moesahab Toemoedihardjo dan Markinah yang tinggal di Desa Kalangbret Kecamatan Kauman Kabupaten Tulungagung. Dia merupakan putra nomor sepuluh dari total sebelas bersaudara.
Perjuangan Kapten Kasihin, seorang pahlawan dari Tulungagung, menjadi teladan heroik dalam sejarah perlawanan melawan penjajah di Indonesia pasca kemerdekaan. Pria yang sejak muda telah mengabdikan dirinya di dunia militer ini menunjukkan jiwa patriotisme yang sangat tinggi.
Baca Juga : Besok, 790 Cyclist Ramaikan Pedalling for Freedom
Namun, pengorbanannya untuk membela Tanah Air harus dibayar dengan nyawanya sendiri. Kapten Kasihin gugur di usia yang sangat muda, meninggalkan kisah perjuangan yang menginspirasi generasi selanjutnya.
Pria yang memiliki nama lengkap Kasihin Hadi Soetomo, yang kemudian dikenal sebagai Kapten Kasihin, menunjukkan komitmen yang luar biasa terhadap bangsa dan negara Indonesia. Kecintaannya pada Tanah Air menjadi alasan utama mengapa ia memilih untuk mengabdikan dirinya sebagai tentara angkatan darat (AD).
Dengan tekad yang kuat dan kemampuan militer yang mumpuni, kariernya di dunia militer berkembang pesat. Pada usia yang baru menginjak tiga puluh tahun, Kasihin sudah mencapai pangkat kapten, sebuah pencapaian yang menunjukkan dedikasi dan keberaniannya dalam membela negara.
Puncak dari perjuangan Kapten Kasihin terjadi saat ia bertugas di Nganjuk, tepatnya di Desa Kedungombo, Kecamatan Tanjunganom pada bulan April 1949. Tempat ini dipilih sebagai markas Batalyon 22/Sriti, di mana Kapten Kasihin menjabat sebagai Komandan Kompi III.
Desa Kedungombo menjadi daerah basis militer yang ada di sebelah barat Sungai Brantas. Beberapa kesatuan lain seperti Seorti CPM, Yon 38 Resimen 34 Surabaya (Marinir), Barisan M, Barisan Rahasia (BARA), dan Batalyon Pancawati (tidak menetap) juga menetapkan Kedungombo sebagai pusat strategi.
Mereka menempati rumah-rumah penduduk setempat yang memungkinkan mereka tempati sebagai markas perjuangan. Sementara Kapten Kasihin, Letnan Siswohandjojo dan Letnan Joesoef di rumah Bapak Poerwodiharjo.
Pejabat pemerintahan Kabupaten Nganjuk ketika itu juga ada disana seperti Bupati Nganjuk Mr. Gondowardojo dan Patih Djojokoesoemo di rumah Bapak H. Nur. Wedana Anam di rumah Bapak Dipo dan Camat Afandi di Rumah Bapak Djojosoemarto.
Selama perang gerilya perbekalan sangat sulit untuk dikirim dari markas ke tempat perjuangan. Termasuk di Desa Kedungombo juga tidak pernah dikirimi perbekalan. Oleh sebab itu semua kebutuhan dicukupi penduduk setempat, termasuk bahan makanan dan pakaian.
Baca Juga : Ajak Hidup Sehat, Pak Mbois Senam Bareng Warga Ciptomulyo
Sedangkan amunisi dan bahan peledak tetap dikirim dari kesatuan. Peran penduduk sangat menentukan dalam perjuangan bangsa. Mereka tidak hanya menyediakan tempat dan makanan, tetapi juga menjadi pelaku langsung dalam setiap perjuangan. Hal ini dibuktikan bahwa yang gugur dalam pertempuran di Kedungombo tidak hanya yang tercatat sebagai tentara resmi, tetapi juga penduduk sipil setempat.
Sekitar pukul 09.00 WIB Kapten Kasihin bersama dengan pengawalnya yang bernama Susah berjalan dari selatan (Tawangrejo) menuju ke arah utara. Baru berjalan beberapa ratus meter mendapat laporan dari seorang mata-mata republik, bahwa Belanda sudah berada di Balai Desa (berjarak lebih kurang 600 meter dari tempatnya). Mendapat laporan demikian Kasihin tidak menghiraukannya dan terus berjalan ke arah utara.
Beberapa menit kemudian terdengar beberapa kali tembakan di pertigaan gang utara SDN Kedungombo I dan tembakan tersebut mengenai Kapten Kasihin. Dengan kondisi terluka akibat tembakan, Kapten Kasihin berusaha lari ke arah timur sekitar 1 km dan masuk ke dalam rumah seorang penduduk di Tawangsari (rumah Bapak Rasio).
Di rumah ini Kapten Kasihin mendapat perawatan tuan rumah sekitar 30 menit, sebelum Belanda menemukannya. Belanda yang mengetahui Kapten Kasihin dalam kondisi tertembak terus mengejarnya dan akhirnya menemukannya. Kapten Kasihin kemudian gugur di lokasi tersebut sekitar pukul 09.30 WIB.
Kini, lokasi pertempuran di mana Kapten Kasihin gugur telah dijadikan sebuah prasasti untuk mengenang pengorbanannya. Kapten Kasihin gugur pada usia yang relatif masih muda yakni saat usianya menginjak 32 tahun. Kisah Kapten Kasihin adalah pengingat akan besarnya harga yang harus dibayar untuk kemerdekaan.
Sebagai seorang pahlawan yang rela mengorbankan hidupnya demi negara, perjuangan dan pengorbanan Kapten Kasihin menjadi teladan abadi bagi generasi-generasi berikutnya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Demi menghargai jasa dan pejuangan Kapten Kasihin, monumennya diabadikan hingga kini di alun-alun Nganjuk, Jawa Timur.