JATIMTIMES - Pada awal abad ke-17, Kesultanan Mataram berada di puncak kekuasaannya di bawah pimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Ambisi besar Sultan Agung adalah menaklukkan Batavia, pusat kekuasaan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang saat itu menguasai sebagian besar perdagangan di Nusantara.
Serangan terhadap Batavia pada tahun 1628 dan 1629 menjadi puncak dari usaha Mataram untuk mengusir kekuasaan Belanda dari tanah Jawa. Namun, kegagalan serangan tersebut tidak hanya berdampak pada wilayah kekuasaan, tetapi juga pada nasib para panglima perang Mataram yang terlibat dalam ekspedisi militer tersebut.
Baca Juga : Viral Video Mesum Diduga di Kantor Dinas Pendidikan Jombang
Untuk memahami konteks hukuman terhadap para panglima yang gagal dalam penyerangan Batavia, penting untuk terlebih dahulu memahami latar belakang dua ekspedisi besar yang dilakukan oleh Mataram terhadap Batavia, yaitu serangan pertama pada tahun 1628 dan serangan kedua pada tahun 1629. Kedua ekspedisi ini menunjukkan ambisi besar Sultan Agung untuk menaklukkan Batavia, yang pada saat itu dikuasai oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Belanda.
Serangan Pertama Mataram ke Batavia (1628)
Serangan pertama Mataram terhadap Batavia dilancarkan pada tahun 1628. Sultan Agung mengirimkan pasukan besar yang dipimpin oleh beberapa panglima penting, di antaranya Tumenggung Baureksa yang memimpin pasukan dari Kendal dan bertindak sebagai panglima angkatan laut.
Bersamanya, ada pula Tumenggung Sura Agul-Agul, Tumenggung Mandurareja, dan Tumenggung Upa Santa. Mereka memimpin pasukan yang sangat besar, dengan jumlah prajurit yang mencapai 10.000 orang.
Meskipun persiapan yang dilakukan sangat matang, serangan ini berakhir dengan kegagalan. Batavia, yang telah dipertahankan dengan baik oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, berhasil menghalau serangan-serangan dari pasukan Mataram.
Salah satu penyebab utama kegagalan adalah logistik yang buruk; pasukan Mataram kekurangan persediaan makanan dan amunisi. Setelah beberapa bulan bertempur, pasukan Mataram terpaksa mundur. Tumenggung Baureksa sendiri gugur dalam pertempuran ini, bersama kedua putranya, pada 21 Oktober 1628.
Serangan Kedua Mataram ke Batavia (1629)
Tak gentar dengan kegagalan pertama, Sultan Agung kembali mengirimkan ekspedisi militer untuk menyerang Batavia pada tahun 1629. Dalam serangan kedua ini, Mataram kembali mengerahkan pasukan besar yang dipimpin oleh panglima-panglima yang lebih berpengalaman dan dekat dengan keluarga kerajaan.
Pangeran Mandurareja, Tumenggung Purbaya, dan Kiai Adipati Puger memimpin pasukan dari tiga arah berbeda: barat, timur, dan selatan. Namun, serangan kedua ini juga mengalami nasib yang sama dengan serangan pertama. Pertahanan Batavia yang kuat, ditambah dengan penyakit dan kelaparan yang melanda pasukan Mataram, menyebabkan kegagalan total. Pasukan Mataram kembali mundur dengan kerugian besar.
Pengepungan Batavia pada tahun 1628 dan 1629 melibatkan beberapa panglima perang terkemuka dari Mataram. Di antara mereka adalah Tumenggung Baureksa, Pangeran Mandurareja, dan Penembahan Purbaya. Tumenggung Baureksa adalah penguasa Kendal sekaligus panglima angkatan laut Mataram.
Ia memimpin pasukan dalam pengepungan pertama terhadap Batavia pada tahun 1628. Pangeran Mandurareja, yang merupakan pemimpin bawahan Tumenggung Baureksa, juga terlibat dalam serangan tersebut. Sementara itu, Penembahan Purbaya turut memimpin pasukan pada pengepungan kedua yang terjadi pada tahun 1629.
Sumber-sumber Jawa dan Belanda mencatat nama-nama panglima ini dengan versi yang sedikit berbeda. Dalam surat-suratnya, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen menyebutkan bahwa panglima tertinggi dalam pengepungan pertama adalah Tumenggung Sura Agul-Agul dengan 10.000 prajurit, diikuti oleh Tumenggung Mandurareja dan Tumenggung Upa Santa.
Pada pengepungan kedua, muncul nama-nama seperti Kiai Adipati Juminah, Kiai Adipati Puger, dan Kiai Adipati Purbaya. Ketiganya merupakan pangeran keturunan raja, yang diberikan tugas untuk memimpin pasukan Mataram dalam serangan tersebut.
Namun, peran para pangeran ini lebih bersifat simbolis, untuk meningkatkan semangat prajurit, sementara komando sebenarnya berada di tangan para panglima bawahan mereka. Misalnya, Kiai Adipati Juminah didampingi oleh Tumenggung Singaranu, Raden Aria Wira Natapada, dan Tumenggung Madiun. Kiai Adipati Puger dibantu oleh Kiai Adipati Sumenep. Kombinasi antara kepemimpinan bangsawan dan panglima militer profesional inilah yang menjadi tulang punggung dari serangan Mataram ke Batavia.
Meskipun upaya pengepungan telah dilakukan dengan persiapan yang matang dan melibatkan ribuan prajurit, serangan terhadap Batavia mengalami kegagalan yang signifikan. Pada pengepungan pertama tahun 1628, pasukan Mataram tidak mampu menembus pertahanan kuat yang dibangun oleh VOC di Batavia. Selain itu, logistik yang tidak memadai dan penyakit yang menyebar di antara prajurit Mataram menyebabkan serangan ini berakhir dengan kekalahan besar.
Pada pengepungan kedua tahun 1629, Mataram mencoba lagi untuk merebut Batavia. Kali ini, Sultan Agung mengirim lebih banyak pasukan dengan persiapan yang lebih baik. Namun, sekali lagi, pertahanan VOC yang kuat, ditambah dengan taktik sabotase oleh Belanda yang menghancurkan lumbung padi Mataram di Cirebon dan Tegal, membuat serangan ini kembali gagal. Batavia tetap berada di bawah kekuasaan VOC, dan ambisi Sultan Agung untuk menguasai Batavia tidak tercapai.
Hukuman terhadap Para Panglima
Kegagalan dua serangan besar ini membawa konsekuensi yang berat bagi para panglima yang terlibat. Sultan Agung, yang sangat ambisius dan tidak mentoleransi kegagalan, memerintahkan hukuman mati bagi para panglima yang dianggap bertanggung jawab atas kegagalan tersebut.
Tumenggung Sura Agul-Agul, yang memimpin serangan pertama, diperintahkan untuk mengeksekusi dua panglima bawahan lainnya, yakni Adipati Mandurareja dan Kiai Adipati Upa Santa. Keduanya diikat dan dibunuh atas perintah langsung dari Sultan Agung, dengan alasan bahwa mereka telah gagal merebut Batavia dan mempertahankan kehormatan Mataram.
Hukuman ini sangat menarik karena baik Mandurareja maupun Upa Santa adalah keturunan dari Patih Adipati Mandaraka, seorang tokoh legendaris dan pembantu utama Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram.
Eksekusi ini menimbulkan keresahan di kalangan istana, karena mereka yang dihukum bukanlah prajurit biasa, melainkan cucu-cucu dari salah satu patih yang paling terkenal dan dihormati dalam sejarah Mataram. Berita tentang eksekusi ini menyebar luas, menimbulkan kegelisahan baik di dalam maupun di luar istana. Sultan Agung sendiri kemudian tampaknya menyesali tindakan tersebut, karena ia menyatakan bahwa yang seharusnya dihukum bukanlah Mandurareja dan Upa Santa, melainkan para prajurit mereka.
Sura Agul-Agul, sebagai pelaksana hukuman yang kontroversial ini, akhirnya juga harus menanggung akibat dari kekeliruannya. Ia, bersama dengan beberapa bangsawan lainnya, dihukum mati oleh Sultan Agung. Hukuman ini dijatuhkan karena mereka semua dianggap gagal dalam mencapai kemenangan. Hukuman mati terhadap Tumenggung Sura Agul-Agul dilaksanakan pada 1 Desember 1628.
Baca Juga : Putusan Terbaru MK Dinilai Untungkan Demokrasi, Partai jadi Bebas Usung Calon Sendiri
Berbeda dengan nasib para panglima dalam ekspedisi pertama, para panglima yang selamat dari ekspedisi kedua pada tahun 1629 mengalami nasib yang sedikit lebih baik. Tumenggung Singaranu, yang memimpin pasukan pada ekspedisi kedua, berhasil kembali ke Mataram dengan membawa sisa pasukannya.
Namun, ketika mengetahui bahwa Sultan Agung telah memerintahkan agar semua panglima yang pulang harus dieksekusi, ia memutuskan untuk mengambil langkah drastis. Dengan membawa pasukannya, ia menembus semua pos penjagaan dan kembali ke wilayahnya sendiri, di mana ia berlindung di balik tembok-tembok benteng yang kuat.
Dalam upaya untuk mendapatkan pengampunan dari Sultan Agung, Tumenggung Singaranu mengirimkan istri, selir, dan anak-anaknya kepada Sultan sebagai tanda penyerahan diri dan permohonan ampun.
Sultan Agung, yang dikenal memiliki sisi belas kasih, akhirnya memberikan pengampunan kepada Singaranu. Ia diizinkan untuk tetap memegang jabatannya, namun dengan syarat bahwa selama tiga tahun ia tidak diizinkan untuk menghadap Sultan.
Raden Aria Wira Natapada, seorang pejabat istana yang cerdas dan juga terlibat dalam ekspedisi kedua, berhasil lolos dari segala hukuman. Ia adalah tokoh yang sangat dekat dengan Sultan Agung dan dikenal sebagai pencipta gelar "Susuhunan" bagi raja. Kedekatannya dengan Sultan tampaknya menjadi faktor utama yang menyelamatkannya dari hukuman.
Van Goens mencatat bahwa ia masih menjumpai Wira Natapada di istana pada tahun 1654, menunjukkan bahwa Wira Natapada berhasil mempertahankan posisinya meskipun kegagalan dalam ekspedisi militer tersebut.
Panembahan Juminah adalah salah satu bangsawan sekaligus panglima yang berhasil selamat dari hukuman mati oleh Sultan Agung, sebuah keistimewaan yang tidak banyak dimiliki oleh para tokoh Mataram lainnya, terutama setelah kegagalan serangan ke Batavia. Keistimewaan ini mungkin tidak lepas dari fakta bahwa Juminah bukan hanya kerabat jauh, tetapi juga paman sekaligus ayah tiri Sultan Agung.
Terlahir dengan nama Raden Mas Bagus, Juminah adalah putra dari Panembahan Senopati dan Retno Dumilah. Ia sempat diharapkan menjadi putra mahkota, namun akhirnya ia diangkat sebagai Bupati Madiun dengan gelar Pangeran Adipati Juminah Petak atau Adipati Mangkunegara I. Juminah menjabat Bupati Madiun selama 13 tahun, dari 1601 hingga 1613, dan selama itu pula ia dikenal sebagai salah satu bangsawan yang dihormati di Mataram.
Sebagai seorang panglima, Juminah terlibat dalam banyak pertempuran besar, termasuk perang melawan Tuban pada 1619 dan dua kali serangan ke Batavia pada 1628 dan 1629. Meski terlibat dalam pertempuran besar ini, peran Juminah lebih bersifat simbolis karena ia tidak berada di garis depan sebagai panglima perang yang diandalkan. Kegagalan serangan ke Batavia yang berujung pada hukuman mati bagi banyak tokoh Mataram, tak menyentuh Juminah. Posisi dan kedudukannya tetap aman di Keraton Mataram.
Juminah menikah dengan Ratu Mas Hadi, ibu Sultan Agung, dan dari pernikahan ini, mereka memiliki beberapa anak, termasuk Pangeran Adipati Balitar dan Raden Ayu Kajoran. Sebagai paman sekaligus ayah tiri Sultan Agung, Juminah bukan hanya seorang bangsawan yang dihormati, tetapi juga menjadi penasihat terpercaya Sultan Agung. Salah satu tugas penting yang dipercayakan kepadanya adalah pembangunan makam di atas bukit yang kelak akan menjadi tempat peristirahatan Sultan Agung dan keturunannya.
Namun, sebelum pembangunan makam itu selesai, Panembahan Juminah meninggal dunia. Sebagai bentuk penghormatan, Sultan Agung memerintahkan agar jasad sang paman sekaligus ayah tirinya itu dimakamkan di bukit yang sedang dibangun, yang kemudian dikenal sebagai Makam Giriloyo. Kekuatan hubungan keluarga yang begitu erat dalam sejarah Mataram terlihat jelas dalam kisah Juminah, yang meskipun tidak berada di garis depan pertempuran, tetap menjadi salah satu tokoh yang dihormati dan diabadikan dalam sejarah kerajaan.
Dampak Hukuman Terhadap Kekuasaan Mataram
Hukuman keras yang dijatuhkan oleh Sultan Agung terhadap para panglimanya menunjukkan betapa seriusnya konsekuensi dari kegagalan militer dalam pandangan Sultan. Namun, tindakan ini juga menimbulkan dampak yang signifikan terhadap stabilitas internal Mataram. Ketegangan di kalangan bangsawan dan panglima perang meningkat, mengingat mereka bisa menjadi korban berikutnya jika mengalami kegagalan dalam tugas-tugas militer di masa depan.
Selain itu, hukuman terhadap panglima-panglima yang dianggap gagal juga memperlihatkan betapa besarnya tekanan yang dialami oleh Sultan Agung dalam ambisinya untuk menaklukkan Batavia. Kegagalan ini bukan hanya kegagalan militer, tetapi juga kegagalan politik yang mempengaruhi reputasi Sultan di mata rakyat dan bangsawan Mataram.
Namun, di sisi lain, tindakan tegas Sultan Agung juga memperlihatkan kemampuannya untuk mengontrol dan menjaga otoritasnya di tengah-tengah kegagalan. Meskipun serangan terhadap Batavia tidak berhasil, Sultan Agung berhasil menjaga kekuasaannya dan tetap dihormati sebagai pemimpin yang kuat dan tegas. Kemampuannya untuk memberikan pengampunan, seperti yang terjadi pada Tumenggung Singaranu, menunjukkan bahwa meskipun tegas, Sultan Agung juga mampu menunjukkan kemurahan hati yang strategis.
Kegagalan serangan terhadap Batavia pada tahun 1628 dan 1629 meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah Mataram. Hukuman berat yang dijatuhkan oleh Sultan Agung terhadap para panglimanya mencerminkan betapa seriusnya dampak kegagalan tersebut.
Namun, tindakan tegas ini juga memperlihatkan kompleksitas kepemimpinan Sultan Agung, yang tidak hanya mampu menegakkan disiplin dengan tangan besi, tetapi juga menunjukkan kemurahan hati yang strategis untuk menjaga stabilitas kekuasaannya. Dalam konteks yang lebih luas, peristiwa ini menjadi salah satu contoh bagaimana kekuasaan dan politik di Jawa pada abad ke-17 dipertaruhkan dalam upaya untuk menguasai wilayah strategis seperti Batavia.