JATIMTIMES - Sejarah Kabupaten Blitar tidak dapat dipisahkan dari dinamika politik dan administrasi Jawa Timur pada abad ke-19. Salah satu titik penting dalam sejarah ini adalah penghapusan Kabupaten Srengat dan pembentukan Kabupaten Blitar.
Kabupaten Srengat, yang pernah berjaya di bawah kepemimpinan bupati seperti R. Ngabehi Suro Lenggowo dan R. Ngabehi Mertokusuma, akhirnya menghadapi penurunan status menjadi distrik pada tahun 1834. Langkah ini merupakan bagian dari strategi kolonial Belanda untuk menata ulang administrasi wilayah setelah Perang Diponegoro.
Baca Juga : Lautan Manusia Penuhi Duduksampeyan Gresik Bersholawat
Sebagai bagian dari upaya restrukturisasi ini, Belanda membentuk Residentie baru, yang menggabungkan wilayah Kabupaten Srengat dan Kabupaten Hantang untuk membentuk Kabupaten Blitar. Proses ini tidak hanya sekedar penggabungan wilayah, tetapi juga mencerminkan transformasi dari struktur pemerintahan tradisional ke bentuk administrasi yang lebih terpusat di bawah kendali kolonial.
Pembentukan Kabupaten Blitar ini menandai awal babak baru dalam sejarah lokal, dengan Ronggo Hadi Negoro sebagai tokoh kunci di pusat perubahan tersebut.
Munculnya Ronggo Hadi Negoro sebagai Bupati Pertama Blitar
Sejarah penghapusan Kabupaten Srengat dan terbentuknya Kabupaten Blitar mencerminkan perubahan mendasar dalam peta kekuasaan Jawa Timur pada abad ke-19. Pada masa kejayaannya, Srengat, yang dipimpin oleh Adipati Nilasuwarna dan kemudian R. Ngabehi Suro Lenggowo, menjadi pusat kekuasaan setelah kemunduran Blitar. Blitar, yang sebelumnya dipimpin oleh Arya Balitar, mengalami penurunan signifikan setelah kematiannya, menyisakan kekosongan yang tidak segera diisi oleh Kesultanan Demak.
Setelah Perjanjian Giyanti pada 13 Februari, Srengat diambil alih oleh RMT Reksokusumo, putra Sultan Hamengkubuwono I dari Kesultanan Yogyakarta. Namun, seiring berjalannya waktu setelah berakhirnya Perang Diponegoro, Mertodiningrat II, yang kemudian memimpin Srengat, menolak rencana Belanda untuk mengambil alih wilayah kekuasaan keraton di Mancanegara. Keteguhan sikapnya ini menyebabkan pemecatannya, dan akhirnya, Srengat diubah statusnya menjadi distrik di bawah pengawasan Belanda
Belanda kemudian melantik R. Ngabehi Mertokusuma sebagai Bupati Srengat yang baru. Namun, ia dipaksa turun dari jabatannya karena diduga melindungi eks-pasukan Diponegoro. Pada tahun 1834, Kabupaten Srengat dibekukan, dan wilayah ini diubah statusnya menjadi distrik dengan wedana sebagai pejabat tertinggi. Ndoro Tedjo Kusumo dari Ponorogo ditunjuk sebagai wedana pertama Srengat.
Blitar, yang sempat mengalami masa kejatuhan, mulai bangkit kembali. Dengan dihapuskannya Kabupaten Srengat, Blitar mengambil alih peran penting dalam administrasi wilayah. Belanda menyadari pentingnya kepemimpinan lokal yang kuat dan membentuk kembali Kabupaten Blitar, dengan Mas Bei Partowijoyo sebagai bupati persiapan pertama. Setelah dua tahun, posisinya digantikan oleh Raden Ario Adi Kusumo hingga tahun 1863.
Pada 1 April 1863, status Onder Regentschap Blitar dihapus, menjadikan Blitar sebagai kabupaten penuh. Di bawah kepemimpinan Raden Toemenggoeng Ario Adhi Negoro, atau Ronggo Hadi Negoro, Blitar mulai berkembang dengan pembangunan masjid besar, pengembangan infrastruktur kota, dan penataan alun-alun. Ibukota Kabupaten Blitar yang pertama berada di daerah yang kini dikenal sebagai Kelurahan Blitar. Pengukuhan Ronggo Hadi Negoro sebagai bupati menandai berakhirnya masa persiapan dan menegaskan kembali posisi Blitar sebagai kabupaten yang berdaulat di bawah administrasi kolonial Belanda.
Kisah penghapusan Kabupaten Srengat dan terbentuknya Kabupaten Blitar bukan hanya sekadar perubahan administratif, tetapi juga mencerminkan dinamika politik dan sosial yang telah membentuk identitas wilayah tersebut. Meskipun Srengat kini hanya berstatus sebagai kecamatan dalam wilayah administratif Kabupaten Blitar, warisan sejarah dan budayanya tetap hidup, sementara Blitar terus berkembang sebagai kabupaten yang berdaulat.
Di bawah kepemimpinan Ronggo Hadi Negoro, Kabupaten Blitar mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitannya kembali setelah masa kemunduran yang panjang pasca wafatnya Adipati Arya Balitar di tangan Adipati Nilasuwarna. Peristiwa tragis ini terjadi pada awal abad ke-16 di Sungai Brantas, sebuah insiden yang mengakhiri masa kejayaan Blitar di bawah Arya Balitar dan menandai awal dari pengaruh Srengat yang kemudian berkembang pesat.
Ronggo Hadi Negoro adalah tokoh penting yang membawa Blitar keluar dari masa kelam dan kembali ke peta kekuasaan di Jawa Timur. Pengangkatannya sebagai bupati pertama setelah kematian Arya Balitar di tangan Nilasuwarna, yang telah terjadi lebih dari tiga abad sebelumnya, menandai sebuah babak baru dalam sejarah Blitar.
Pemerintahan Ronggo Hadi Negoro juga menjadi fondasi bagi perkembangan Blitar di masa-masa selanjutnya, di mana kota ini tumbuh menjadi pusat administrasi dan ekonomi yang penting di Jawa Timur. Kembalinya Blitar sebagai kabupaten penuh tidak hanya mencerminkan kebangkitan dari keterpurukan, tetapi juga menegaskan identitas dan kedudukan Blitar sebagai wilayah yang bersejarah dan berpengaruh di Jawa Timur. Ronggo Hadi Negoro, sebagai bupati pertama Blitar pasca masa kelam, dikenang sebagai pemimpin yang membawa Blitar kembali ke jalur kejayaan, melanjutkan warisan Arya Balitar dengan cara yang baru dan relevan untuk zamannya.
Sebelum ditunjuknya Ronggo Hadi Negoro, Blitar telah memiliki struktur pemerintahan tradisional dengan pemimpin daerah bergelar Panji. Namun, struktur ini dianggap kurang memadai oleh Belanda, yang kemudian memilih Hadi Negoro untuk memimpin dan membangun kembali wilayah Blitar.
Hadi Negoro, yang memiliki latar belakang aristokrat dari Surakarta, dianggap sebagai pilihan yang tepat oleh Belanda untuk menavigasi kebutuhan dualitas antara kepentingan lokal dan kekuasaan kolonial. Sebagai seorang pemimpin, ia diakui karena kemampuannya menjembatani kepentingan finansial kerabat Keraton Surakarta dengan kaum pemodal Eropa. Hal ini tercermin dalam kebijakan-kebijakannya yang sering kali melibatkan sewa tanah kepada perkebunan Belanda, yang memberi keuntungan bagi kedua belah pihak.
Selain itu, Hadi Negoro juga memainkan peran penting dalam mengelola sistem tanam paksa atau cultuurstelsel, yang diterapkan oleh Belanda untuk memaksimalkan keuntungan dari sektor perkebunan. Meskipun sistem ini secara luas dikritik karena penindasannya terhadap petani lokal, Hadi Negoro berhasil memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat posisi Blitar dalam hierarki kolonial. Ia menjadi tokoh yang diperhitungkan, baik oleh pemerintah kolonial maupun oleh elit lokal.
Kontroversi dan Tuduhan Korupsi
Namun, kepemimpinan Ronggo Hadi Negoro tidak luput dari kontroversi. Beberapa sumber menyebutnya sebagai penguasa korup yang memanfaatkan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi.
Vicente L. Rafael dalam "Figures Of Criminality In Indonesia" menggambarkan Hadi Negoro sebagai 'The Godfather' para bandit desa yang mengendalikan wilayah dengan tangan besi. Ia diduga menggunakan jago atau bandit lokal untuk menegakkan aturan dan mengeksploitasi sumber daya setempat.
Baca Juga : Eri Cahyadi Ngevlog di IKN, Surabaya Jadi Penopang Utama bagi Ibukota Baru
Kees Groenboer dalam penelitiannya juga menyoroti Hadi Negoro sebagai sosok yang terlibat dalam praktik korupsi dan penindasan. Dalam bukunya, "Mythe In Lebak Werkelijkheid in Blitar", Groenboer menggambarkan bagaimana Hadi Negoro mengendalikan sistem perbudakan dan manipulasi politik desa untuk memperkuat kekuasaannya.
Meskipun ada upaya dari pemerintah kolonial untuk menindak perbuatannya, Hadi Negoro jarang menghadapi hukuman yang serius. Ia bahkan berhasil mengajukan pensiun secara sukarela setelah kasus korupsinya mencuat.
Ironisnya, Hadi Negoro hampir tidak pernah dihukum secara hukum, bahkan ketika kasusnya mulai mencuat. Pemerintah kolonial tidak sanggup atau tidak mau menangani kasus tersebut dengan tegas. Upaya untuk menghukum Hadi Negoro hanya berujung pada pengasingan beberapa pejabat setempat, sementara Hadi Negoro sendiri hanya dipecat dan diizinkan untuk pensiun setelah tiga tahun kasusnya terungkap.
Namun, ada sumber yang menyebut bahwa Hadi Negoro mengajukan pensiun secara sukarela. Hal ini menunjukkan sulitnya mencari pengganti yang dapat diandalkan dan ditakuti oleh rakyat dalam konteks sistem kolonial yang membutuhkan legitimasi tanpa harus membenarkan kekejaman imperialisme yang diterapkannya.
Selain itu, berdasarkan tulisan B.I. Mardiono, pengunduran diri Kanjeng Bupati R.M Aryo Ronggo Hadinegoro setelah 35 tahun memerintah Blitar juga menyoroti sulitnya mencari pengganti yang sesuai. Hal ini menunjukkan bahwa sistem kolonialisme tidak hanya membutuhkan kesetiaan dan ketaatan, tetapi juga ketakutan dari penguasa lokal untuk memperkuat legitimasi tanpa harus menanggung tanggung jawab atas kekejaman yang dilakukan.
Kehidupan Pribadi dan Asal Usul Ronggo Hadi Negoro
Asal usul dan kehidupan pribadi Ronggo Hadi Negoro juga penuh dengan misteri dan spekulasi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ia memiliki kekerabatan dengan Keraton Kasunanan Surakarta, sementara sumber lain, seperti Kees Groenboer, mengisyaratkan bahwa ia mungkin berasal dari latar belakang yang lebih sederhana, bahkan mungkin dari keluarga Arab atau Bengali. Groenboer juga mencatat bahwa Hadi Negoro awalnya bekerja sebagai pembantu di istana Gubernur Raffles sebelum memulai karirnya di pemerintahan kolonial.
Hadi Negoro juga dikenal karena perannya dalam menciptakan harmoni antara komunitas Islam dan Kristen di wilayah Blitar. Buku "Mededeelingen Van Wege Het Nederlandsche Zendelinggenootschap" tahun 1861 mencatat kontribusinya dalam mendukung komunitas Kristen GKJW Maron di Distrik Srengat. Di tengah situasi yang penuh ketegangan antara agama-agama pada masa itu, Hadi Negoro dianggap berhasil menjaga kedamaian dan kerukunan di antara warganya.
Pada masa itu, di Maron, terdapat sebuah komunitas Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) yang berperan sebagai jemaat induk dengan empat pepanthan yang tersebar di luar Desa Maron. Jemaat induk ini terbagi lagi menjadi empat kelompok kecil, yang dinamai menurut injil: Mateus, Markus, Lukas, dan Yohanes. Komunitas ini memiliki sekitar 732 jiwa, yang tersebar di jemaat induk maupun pepanthan.
Gereja tersebut, yang terletak di Barat Daya, didirikan sekitar tahun 1850-an oleh seorang penginjil pribumi bernama Kyai Matheus. Gereja ini menjadi salah satu jemaat Kristen tertua di wilayah bekas Karisidenan Kediri. Sejak awal, Jemaat Kristen GKJW Maron hidup berdampingan dengan penduduk desa lainnya yang mayoritas beragama Islam, menciptakan harmoni di tengah-tengah perbedaan keyakinan.
Warisan dan Pengaruh Hadi Negoro di Blitar
Warisan Ronggo Hadi Negoro tetap terasa di Blitar hingga hari ini. Pendopo Agung Ronggo Hadinegoro, yang kini menjadi rumah dinas resmi Bupati Blitar, dinamai untuk menghormati kontribusinya sebagai bupati pertama. Meskipun ada kontroversi seputar namanya, pendopo ini merupakan simbol penting dari sejarah pemerintahan dan arsitektur tradisional Blitar. Pembangunan dan penataan kota yang dimulai pada masa Hadi Negoro juga telah meninggalkan jejak yang kuat dalam perkembangan Blitar sebagai pusat administrasi dan perdagangan di Jawa Timur.
Ronggo Hadi Negoro adalah tokoh yang kompleks dan kontroversial dalam sejarah Kabupaten Blitar. Sebagai bupati pertama, ia memainkan peran kunci dalam membangun kembali Blitar dari masa ketidakjelasan administratif menjadi pusat administrasi yang penting di bawah kendali kolonial Belanda. Meskipun ia sering dikritik karena praktik korupsinya dan hubungannya dengan jago desa, kepemimpinannya juga membawa stabilitas dan perkembangan bagi Blitar.
Dengan segala kebijakan dan langkah yang diambilnya, Hadi Negoro tidak hanya meninggalkan jejak dalam bentuk infrastruktur fisik tetapi juga dalam struktur sosial dan politik Blitar. Namanya tetap terpatri dalam sejarah sebagai salah satu bupati paling berpengaruh dan kontroversial yang pernah memimpin Blitar, sebuah warisan yang terus dikenang dan diperdebatkan hingga hari ini.