JATIMTIMES - Pada tahun 1719, Kesultanan Mataram mengalami gejolak besar dengan wafatnya Susuhunan Pakubuwana I. Peristiwa ini memicu konflik internal yang memuncak dalam Perang Suksesi Jawa Kedua, sebuah konflik yang melibatkan beberapa pangeran dan tokoh berpengaruh dari kerajaan tersebut. Amangkurat IV, yang terlahir dengan nama Raden Mas Suryanata, diangkat sebagai pengganti ayahnya, namun keputusan ini ditentang oleh dua kakaknya, Pangeran Purbaya (Raden Mas Sasongko) dan Pangeran Blitar (Raden Mas Sudhomo), serta beberapa pangeran dan bangsawan lainnya.
Pangeran Blitar, Putra Kesayangan Ratu Mas Blitar dari Madiun
Pangeran Blitar adalah putra kesayangan Ratu Mas Blitar, seorang bangsawan terkemuka dari Madiun. Keturunan Panembahan Juminah, bekas bupati Madiun yang memiliki gelar Blitar, turut menurunkan Pangeran Blitar sebagai pemimpin dalam Perang Suksesi Jawa II. Gelar Blitar, yang diwariskan kepada Pangeran Blitar, menunjukkan kedalaman hubungan keluarganya dengan sejarah dan kekuasaan di tanah Jawa.
Baca Juga : AHY Serahkan Rekomendasi Mas Ibin-Elim, Demokrat Kota Blitar Resmi Tinggalkan PDIP
Ratu Mas Blitar, yang juga dikenal sebagai Ratu Pakubuwono, adalah salah satu sosok terkemuka dalam sejarah Madiun dan Kesultanan Mataram. Nama Retno Dumilah, leluhur dari Ratu Mas Blitar, dikenal luas di Madiun sebagai Bupati perempuan pertama dan seorang bangsawan yang sangat berpengaruh. Retno Dumilah adalah putri dari Pangeran Timur, pendiri Madiun, dan bupati kedua Madiun yang menjabat sebelum Panembahan Senopati, pendiri Kesultanan Mataram menaklukkan wilayah tersebut.
Ratu Mas Blitar, yang merupakan istri dari Sunan Pakubuwono I, menduduki posisi penting dalam dinasti Mataram. Nama Ratu Mas Blitar mungkin kurang dikenal di Madiun, namun bagi trah keraton di Solo dan Yogyakarta, dia adalah teladan dan tokoh penting. Sebagai Ratu Pakubuwono, ia turut berperan dalam melahirkan generasi raja yang memimpin Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman yang bertahta hingga hari ini.
Di lingkup keraton Kartasura, Ratu Mas Blitar memiliki pengaruh yang mendalam, terutama pada awal hingga pertengahan abad ke-18. Meskipun masa jabatannya sebagai Bupati Madiun hanya singkat, pengaruhnya sangat besar dalam lingkup keraton. Ia tidak hanya dikenal sebagai seorang bangsawan terhormat, tetapi juga sebagai penulis karya-karya sufistik seperti Carita Iskandar, Serat Yusuf, dan Kitab Usulbiyah.
Ratu Mas Blitar, melalui Serat Iskandar, menyuarakan kritik terhadap ketundukan elite politik Mataram terhadap kekuatan kompeni Belanda. Serat ini merupakan bentuk protes terhadap kemerosotan moral dan etika para ksatria Jawa akibat pengaruh VOC. Karya ini menegaskan pandangan Ratu Pakubuwono bahwa Islam harus dijadikan sebagai landasan untuk mengembalikan kejayaan Mataram.
Ratu Mas Blitar meninggal dunia pada 5 Januari 1732 dalam usia 75 tahun dan dimakamkan di kompleks makam Nitikan, Kelurahan Sorosutan, Kapanewon Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Makamnya terletak berdampingan dengan makam putra kesayangannya, Pangeran Blitar. Situs pemakaman ini menjadi simbol kekuatan dan pengaruh keluarga Mataram yang tetap dikenang hingga saat ini.
Pangeran Blitar dan Munculnya Ketidakpuasan
Pangeran Blitar, atau dikenal dengan nama asli Raden Mas Sudhomo, adalah putra kesebelas dari Pakubuwana I dan Ratu Mas Blitar. Ia merasa tidak puas dengan pengangkatan adiknya sebagai penguasa baru Mataram. Bersama dengan Pangeran Purbaya, ia menyerang Keraton Kertasura yang didukung oleh kalangan agamawan dan beberapa pangeran lainnya seperti Pangeran Arya Mataram dan Pangeran Arya Mangkunegara, putra sulung dari Amangkurat IV. Pada tahun 1719, pemberontakan ini mengakibatkan perpecahan besar di dalam kerajaan dan memicu serangkaian pertempuran sengit yang melibatkan berbagai pihak.
Di sisi lain, Pangeran Arya Dipanegara (Mas Papak), yang saat itu sedang dalam tugas menangkap pemberontak dari Surabaya, Arya Jayapuspita, juga bergabung dalam pemberontakan. Ia mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Panembahan Herucakra di Madiun, sebuah tindakan yang menambah kompleksitas situasi politik saat itu. Arya Jayapuspita sendiri adalah sosok pemberontak yang memulai perlawanan terhadap Kertasura pada tahun 1714, menolak menghadap ke istana sebagai bentuk protes atas kematian saudaranya, Jangrana.
Pada tahun 1717, gabungan pasukan VOC dan Kartasura menyerang Surabaya untuk menumpas pemberontakan Jayapuspita. Namun, Jayapuspita mendapat dukungan dari Bali dan berhasil mempertahankan posisinya meskipun harus mundur ke desa Japan pada tahun 1718 setelah adiknya, Ngabehi Jangrana, gugur dalam pertempuran.
Di Kartasura, Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya, dengan dukungan para tokoh agama, melancarkan serangan terhadap istana. Namun, serangan tersebut berhasil dipukul mundur oleh Garnisun VOC, memaksa para pemberontak mundur dari Kartasura. Pangeran Blitar kemudian mengangkat dirinya sebagai Sultan Ibnu Mustafa Paku Buwana dan mendirikan kerajaan di Karta Sekar, bekas istana Sultan Agung.
Pangeran Arya Mataram, paman dari Amangkurat IV, memilih untuk mengungsi ke pesisir utara dan memproklamirkan dirinya sebagai penguasa pesisir. Ia menguasai wilayah Grobogan, Warung, Blora, dan Sesela, namun kekuatan gabungan Kartasura dan VOC berhasil menumpas pemberontakan ini. Arya Mataram akhirnya ditangkap dan dihukum gantung di Jepara.
Pada bulan Mei dan Juni 1723, sisa-sisa pemberontak lainnya, termasuk Pangeran Purbaya, Surengrana, dan Pangeran Arya Dipanagara, menyerah. Kecuali Pangeran Purbaya yang dibawa ke Batavia sebagai cadangan pengganti Amangkurat IV jika hubungan dengan VOC memburuk.
Pangeran Blitar dan Akhir Tragis Pemberontakan
Pangeran Blitar meninggal pada tahun 1721 akibat wabah penyakit di Malang, sementara Pangeran Purbaya terus melanjutkan perjuangan dengan merebut Lamongan. Namun, kekuatan musuh yang jauh lebih besar membuat mereka akhirnya terdesak. Pada tahun 1723, perang akhirnya berhenti dengan tertangkapnya para pemberontak. Pangeran Purbaya dibuang ke Batavia, dan kemudian meninggal di sana pada akhir tahun 1726.
Pangeran Arya Dipanegara Herucakra juga dibuang, namun bukan ke Sri Lanka seperti yang lainnya, melainkan ke Tanjung Harapan di ujung selatan benua Afrika. Dalam perjalanan ke pengasingan, ia kehilangan seluruh anggota keluarganya yang menyertainya.
Pada tahun 1723, Perang Tahta Jawa Kedua berakhir dengan kemenangan VOC dan penangkapan para pemberontak, termasuk Pangeran Arya Mangkunegara, putra Amangkurat IV. Setelah kekalahan tersebut, Arya Mangkunegara diasingkan ke Srilanka pada tahun 1728, dipulangkan ke Jawa dan kemudian diasingkan lagi ke Cape Town, Afrika Selatan.
Dipengasingan, Arya Mangkunegara hidup dalam keterasingan bersama istrinya, Raden Ayu Wulan, yang merupakan putri dari Pangeran Blitar. Jalur ini kemudian melahirkan Pangeran Sambernyawa, yang melanjutkan perjuangan mereka di kemudian hari. Arya Mangkunegara wafat di Cape Town pada tahun 1738, namun jasadnya dipulangkan ke Jawa dan dimakamkan di Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri, atas permintaan Sunan Pakubuwono III kepada VOC.
Dampak dan Warisan Perang Suksesi Jawa Kedua
Perang Suksesi Jawa Kedua menyebabkan terpecahnya Kesultanan Mataram menjadi beberapa kubu, dengan rakyat Jawa terbelah antara pendukung Amangkurat IV dan para pemberontak. Konflik ini juga memperlihatkan campur tangan VOC dalam urusan internal kerajaan, sebuah pola yang akan terus berlanjut dalam sejarah Jawa.
Baca Juga : Pencalonan Abah Anton di Pilkada Kota Malang Dinilai Tabrak Aturan
Tokoh-tokoh seperti Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang dianggap tidak sah, meskipun upaya mereka pada akhirnya tidak berhasil. Pangeran Blitar, khususnya, dikenang sebagai figur inspiratif bagi perjuangan tokoh-tokoh pemberontak di masa-masa berikutnya, termasuk Pangeran Sambernyawa.
Perang Tahta Jawa Kedua adalah salah satu periode paling kompleks dan berdarah dalam sejarah Kesultanan Mataram. Konflik ini tidak hanya melibatkan pertarungan kekuasaan di antara anggota keluarga kerajaan tetapi juga menunjukkan dinamika kekuasaan yang melibatkan pihak luar seperti VOC. Meskipun para pemberontak seperti Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya pada akhirnya kalah, perlawanan mereka tetap menjadi bagian penting dari narasi sejarah Jawa yang kaya dan penuh warna.
Pangeran Sambernyawa, putra Arya Mangkunegara dan RAy. Wulan, kelak menjadi tokoh sentral dalam pemberontakan melawan kekuasaan Belanda. Dikenal dengan nama asli Raden Mas Said, Pangeran Sambernyawa mewarisi semangat perjuangan keluarganya dan terlibat dalam perlawanan melawan kekuasaan kolonial dan keraton Surakarta.
Pada akhirnya, ia mendirikan Kadipaten Mangkunegaran dan memperoleh gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara I, melanjutkan garis keturunan dan perjuangan yang dimulai oleh ayahnya, Arya Mangkunegara dan kakeknya, Pangeran Blitar.
Pangeran Sambernyawa: Penerus Perjuangan Pangeran Blitar
Raden Mas Said, yang dikenal dengan nama Pangeran Sambernyawa, adalah sosok yang menjadi legenda dalam sejarah Mataram. Ia memperoleh julukan tersebut karena keberaniannya di medan perang, yang membuat musuh-musuhnya ketakutan seolah-olah menghadapi "penyambar nyawa." Julukan ini diberikan oleh Belanda, yang mengakui kegigihan dan kepiawaian Sambernyawa dalam strategi perang, meskipun ia bertubuh pendek.
Perjuangan cucu Pangeran Blitar ini semakin dikenal ketika ia bergabung dengan Pangeran Mangkubumi. Koalisi ini menjadi ancaman besar bagi pasukan gabungan Keraton Surakarta dan Belanda. Dalam kurun waktu 16 tahun, Raden Mas Said terlibat dalam 250 pertempuran melawan kekuatan gabungan tersebut, menunjukkan taktik perang yang brilian dan tak mudah ditaklukkan.
Konflik panjang antara koalisi Mangkubumi-Raden Mas Said dengan Keraton Surakarta dan Belanda akhirnya berujung pada Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Perjanjian ini membagi Kerajaan Mataram menjadi dua entitas: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwono I, penguasa pertama Kesultanan Yogyakarta.
Namun, Perjanjian Giyanti tidak sepenuhnya menyelesaikan konflik. Pangeran Sambernyawa merasa tidak puas dengan pembagian wilayah dan memilih untuk melanjutkan perjuangannya. Ia kemudian melawan tiga kekuatan: Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, dan Belanda.
Perlawanan Sambernyawa baru berakhir pada tahun 1757 melalui Perjanjian Salatiga. Perjanjian ini, yang melibatkan VOC dan Pakubuwono III, mengakui Raden Mas Said sebagai Adipati Mangkunegaran, dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara I. Dengan demikian, ia diberi status pangeran merdeka dan memimpin wilayah Kadipaten Mangkunegaran yang meliputi Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara, dan Kedu.
Hingga saat ini, Kadipaten Mangkunegaran masih eksis, meski tidak lagi memiliki kekuasaan politik atas rakyatnya. Tugas dan fungsi Kadipaten Mangkunegaran saat ini adalah merawat dan menjaga kebudayaan Jawa, menjaga warisan leluhur agar tetap hidup di tengah masyarakat modern.